Indra Denni (dokpri)

Oleh: Indra Denni*)

Anemometer hembusan angin telah mencapai 50 km/jam menjelang perhelatan besar kontestasi pemilihan presiden tahun 2019 mulai terasa, gerakan masiv tanda pagar (tagar) antara para loyalis pendukung incumbent versus oposisi tervisual kasat mata.

Kekuatan magnet kontestasi pilpres 2019 terpusat di Jakarta Ibukota Negara sebagai “tuan rumah” pesta demokrasi rakyat, dari 261,1 juta rakyat Indonesia khusus-nya 196,5 juta pemilih dari Sabang hingga Merauke tersita perhatian melihat dinamika persiapan kontestasi pilpres 2019 tersebut.

Narasi yang terbentuk terdapat tiga kadindat calon presiden dan calon wakil presiden, Joko Widodo sebagai incumbent, Prabowo Subianto representasi dari partai oposisi dan Poros Ketiga yang kadindat-nya masih di dalam ruang kawah candradimuka Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang kemungkinan besar akan diusung oleh koalisi partai dari poros ketiga kelak.

Ada pepatah, ” Barangsiapa menguasai Jawa dapat menguasai Indonesia.” Pepatah ini rasional dan faktual bila melihat angka jumlah penduduk bahwa Pulau Jawa memiliki jumlah terbesar penduduk di Indonesia.

Melihat data terbaru jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk kontestasi pemilihan gubernur serentak tahun 2018 dan DPT pilgub DKI Jakarta 2017 serta DPT pilpres DI Jogyakarta tahun 2014, memperlihatkan suara pemilih nasional terbesar ada di Jawa.

Jawa Timur:

30.155.719 pemilih

Jawa Tengah:

27.068.125 pemilih

Jawa Barat:

31.735.133

DI Jogyakarta

2.723.621

DKI Jakarta:

7.925.279 pemilih

Total: 99.607.877 pemilih

Titik sentrum suara nasional pada kontestasi pilpres 2019 mendatang terbesar ada di Jawa dengan menguasai 50,70% suara nasional dengan asumsi jumlah pemilih pilpres mendatang mencapai 196,5 juta, sisa-nya 49,30% suara pemilih nasional untuk kontestasi pilpres 2019 tersebar pada 29 provinsi di Indonesia.

Melihat kebelakang di dalam perjalanan sejarah pemilihan presiden, terdapat 5 daerah “primadona” incaran para kadindat capres-cawapres untuk meraih kemenangan, yang antara lain; Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Sumatera Utara.

Bila terwujudnya Poros Ketiga pada kontestasi pemilihan presiden 2019 mendatang, tampilnya tiga pasangan calon presiden “denyut” dinamika peta skema dan strategi para kadindat untuk meraih simpatik rakyat sebagai pemilik syah suara menarik untuk dicermati.

Kelahiran tiga kadindat paslon tentu memberikan variant atau alternatif pilihan kepada rakyat untuk memilih para pemimpin yang terbaik. Diruang berbeda para kadindat capres dan cawapres tentu harus mempersiapkan strategi pemenangan yang jitu hingga cost logistik yang besar untuk dapat meraih suara terbanyak.

Skema dan strategi dua paslon head to head tentu berbeda dengan menghadapi tiga paslon pada pilpres 2019, ketika hanya dua kadindat capres misalkan hanya Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang tampil pemetaan dan strategi jauh lebih mudah dihadapi karena tidak jauh berbeda dengan pilpres 2014 lalu.

Tetapi ketika terdapat tiga kadindat capres “blueprint” strategi pemenangan pilpres 2014 telah usang untuk dipakai kembali. Capres dari incumbent, oposisi dan poros ketiga semua memiliki target yang sama untuk merebut suara terbanyak dari 5 provinsi primadona tersebut.

Pemilik suara 53,90% pemilih nasional tersebut akan terpecah menjadi tiga kekuatan yang mewakili para kadindat capres dan tentu tidak dapat terbagi merata karena ini wilayah pilihan “hati nurani” bukan semata hitungan angka-angka matematis.

Pintu menuju “dua putaran” bila ada tiga paslon capres-cawapres di dalam kontestasi pilpres 2019 peluang-nya besar, karena melihat data terakhir survei elektabilitas para kadindat masih dibawah abang batas aman minus 50% suara.

Kehadiran Poros Ketiga memantik kekuatiran incumbent maupun oposisi, karena diprediksi dapat menjadi “alat” pemecah suara rakyat dari dua kubu tersebut. Kegalauan yang berlebihan bila hal itu benar terjadi, kemunculan capres dari poros ketiga hakekat-nya menjawab “panggilan sejarah” dan antisipatif agar tidak terjadi “panen raya” suara golongan putih (golput) yang setiap pilpres mengalami kenaikan signifikan.

Data suara golput pada pilpres 2014 mencapai 29,8% atau 56.732.857 suara. Tentu melihat trend setiap pilpres mengalami kenaikan, dalam pilpres 2019 diprediksi akan naik suara golput bila hanya ada dua kadindat capres dan cawapres.

Dan kehadiran poros ketiga memberikan ruang bagi pemilih millenial sekaligus pendidikan politik agar tidak “apatis” terhadap ranah politik saat ini, diperkirakan pemilih millenial mencapai 7,4% atau 14 juta pemilih pada pilpres 2019 nanti.

Semoga dalam kontestasi pemilihan presiden tahun 2019 melahirkan sosok pemimpin yang terbaik dan memegang teguh amanat rakyat. Semoga…

*)Fungsionaris Depko Perekonomian DPP Partai Demokrat dan Wasekjen Ikatan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia