Oleh: Taufiqurrahman SH*)
Bemula pada Kemiskinan
Saya Taufiqurrahman. Kehidupan telah banyak mengajarkan saya tentang arti belenggu kemiskinan. Dibesarkan di Cengkareng, daerah pinggir yang bersebelahan langsung dengan megahnya metropolitan, saya adalah saksi dari ketimpangan dan ketidakadilan sosial. Sementara anak orang kaya bisa belajar baik dengan lingkungan yang terjaga, kami anak-anak miskin harus belajar puas dengan apa yang ada. Bukannya kami bodoh atau malas. Tapi waktu kami belajar tidak sebanyak mereka. Buku-buku kamipun tak sebanyak mereka.
Untung saja, sungguhpun ayah saya hanya seorang sopir, beliau paham artinya pendidikan untuk maju. Didorongnya kami untuk sekolah. Saya bertekad untuk bisa keluar dari kemiskinan. Tekad yang mengantar saya bisa masuk ke politeknik UI pada tahun 1998
Reformasi 98 yang Mengubah Segalanya
Sejak krisis mendera pada tahun 1997, rakyat miskin mendapat tekanan hidup yang luar biasa. Gerakan reformasi 98 menyadarkan saya bahwa kita tidak bisa keluar dari belenggu kemiskinan sendirian. Orde baru harus disingkirkan. Di atasnya harus berdiri kekuasaan yang benar-benar untuk rakyat. Saya berjuang dalam gerakan itu sebagai aktifis mahasiswa. Digebuk aparat pada Peristiwa Semanggi 1998-1999 bukan apa-apa. Demi menuju Indonesia yang lebih berkeadilan.
Dalam rangkaian pergerakan ini saya beroleh pencerahan yg mengubah tujuan hidup saya. Dari keluar dari belenggu kemiskinan menjadi pendobrak belenggu kemiskinan. Saya ingin berjuang bagi orang lain. Bukan untuk diri sendiri.
Politik adalah Jalan
Sebelum bergabung dengan Partai Demokrat pada tahun 2004, saya bersama kawan sepergerakan banyak terlibat dalam advokasi buruh, nelayan dan rakyat miskin kota. Aktivitas ini menyadarkan saya arti penting kekuasaan. Pemberdayaan miskin kota bisa ada jika punya kekuasaan yang menopangnya.
Pada tahun 2009 saya berlaga dalam pileg saya yang pertama untuk kursi di DPRD DKI. Bukan perjuangan yang mudah untuk orang yang tidak mau membodohi rakyat dengan sembako atau bentuk bantuan-bantuan yang lain. Saya melakukan kontrak politik dengan konstituen. Jauh sebelum itu jadi wacana publik di tahun 2012. Kontrak politik yang saya tanda tangani itu adalah pengingat janji saya.
Demikianlah pada tahun 2009, nasib membawa saya ke Kebon Sirih. Selama 5 tahun saya tunaikan janji-janji saya. Saat lima tahun kemudian saya mencalonkan diri lagi, tidak ada keraguan di hati konstituen saya. Mereka tahu saya hadir dalam penderitaan mereka.
Selama hampir 10 tahun menjabat sebagai wakil rakyat, saya telah berhasil membantu kurang lebih 10.000 pendampingan pendidikan dan kesehatan kepada warga menengah kebawah, membantu 90.000 warga DKI Jakarta untuk akses kartu jamkesda (jaminan kesehatan daerah), dan membantu warga untuk akses akte kelahiran kurang lebih 22.000 akte kelahiran, serta kurang lebih 5.000 jenazah yang digratiskan menggunakan jasa ambulance. Ini semua merupakan bagian dari kontrak politik yang telah dijalankannya.
Salah satu persoalan yang mengemuka saat berhadapan dengan pendidikan atau kesehatan adalah betapa abainya kita dengan hukum dan aturan yang tidak memihak si miskin. Untuk bisa memastikan perlindungan itu, saya kembali kuliah di FHUI ekstention. Menunaikan janji saya dengan ayah sekaligus memberi landasan bagi perjuangan. Saya tamat dengan gelar Sarjana Hukum dari kampus UI. Janji saya pada ayah memang telah lunas tapi janji saya pada si miskin belum. Saya terus berjuang.
Tantangan di Depan
Dua periode di DPRD DKI menyadarkan saya pentingnya berupaya ditingkat nasional. Memproduksi UU yang memihak pada rakyat miskin utamanya pada bidang kesehatan dan pendidikan.
Dengan rekam jejak yang telah teruji, saya sedang berjuang kembali di pileg 2019 untuk kursi DPR. Adalah kehormatan bagi saya jika anda mau mempercayakannya pada saya. Bersama kita akan dobrak belenggu kemiskinan ini. Kita ciptakan keadilan sosial agar anak-anak kita tidak perlu merasakan pahitnya lapar dan sakit karena negara yang gagal hadir.
*) Caleg DPR RI dapil DKI Jakarta II
Nomor Urut 2
Jakarta Pusat – Jakarta Selatan – Luar Negeri