Oleh: Andi Arief, Rachlan Nashidik & Jansen Sitindaon*)
Seperti telah diperkirakan banyak kalangan, Pemilu 2019 ini, utamanya pemilihan presiden, berbuntut ricuh. Paling tidak dari sisi politik. Setiap hari kepada masyarakat dipertontonkan silang pendapat yang keras, saling klaim siapa pemenang pilpres tahun ini. Ejek-mengejek, sumpah serapah, kebencian dan sikap permusuhan seolah menjadi “new normal” di negeri kita. Lihatlah perang antara kubu Jokowi dan kubu Prabowo di media sosial. Berita benar dan “hoax” bercampur aduk, “post-truth politics” mewarnai kehidupan masyarakat kita. Memang menyedihkan…., tapi itulah realitasnya.
Apa yang sebenarnya menjadi biang keladi?
Jokowi menyatakan menang berdasarkan “quick count”, sedangkan Prabowo dengan tegas juga mengatakan dirinya menang menurut “real count” yang dimiliki. Bahkan secara eksplisit Prabowo mengatakan menang dengan perolehan suara yang spektakuler, 62%. Berarti ada “pemenang kembar”.
Bersamaan dengan itu Jokowi beserta jajaran pemerintahan yang dipimpinnya mengatakan bahwa pemilu 2019 ini jujur. Berarti tidak ada kecurangan. Sebaliknya, Prabowo dan para pendukung beratnya bersikeras pemilu ini curang, bahkan curang besar. Karenanya, kubu Prabowo mendesak KPU agar Jokowi didiskualifikasi alias digugurkan.
Yang menjadi sangat panas dan setiap saat bisa berubah menjadi ledakan politik, bahkan krisis, saat ini para pendukung Prabowo yang “die hard” sangat meyakini bahwa Prabowo menang 62%. Mereka juga bersumpah akan melakukan jihad, siap mengorbankan jiwa dan raganya, jika pada tanggal 22 Mei 2019 nanti KPU menyatakan Jokowi sebagai pemenang, dan bukan Prabowo. Sementara, para pendukung Jokowi lebih “tenang” karena mereka sangat yakin bahwa KPU akan memenangkan jagonya.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang sebenarnya menang? Kalau kita taat proses dan taat aturan, saat ini belum ada yang tahu. Tunggu pengumuman KPU. Tetapi kalau kita kuat dalam logika dan belajar dari pengalaman pemilu-pemilu di masa lalu, dengan cara merujuk hasil “quick count” dari hampir semua lembaga survey, Jokowilah yang hampir pasti menjadi pemenangnya. Tentu dengan asumsi, tidak ada kesalahan dalam penghitungan suara, baik melalui “quick count” maupun “real count” KPU. Nah disinilah persoalan lain muncul, karena kubu Prabowo tidak percaya pada semua hasil “quick count” yang memenangkan Jokowi dan juga tidak percaya “real count” yang dilakukan KPU. KPU juga dituduh melakukan kecurangan.
Lantas apa tidak ada jalan untuk membuktikan apakah pemilu ini jujur atau curang?
Sebenarnya ada dan tersedia. Baik konstitusi kita, UUD 1945, dan undang-undang kita, Undang-Undang Pemilu 2017, memberi ruang, jalan dan peluang jika ada sengketa dalam pemilu. Jika menyangkut proses, Bawaslulah yang akan menyelesaikan. Sedangkan jika menyangkut hasil, MK-lah yang berwenang untuk memutusnya. Namun, dalam kaitan ini ada juga permasalahannya. Kubu Prabowo nampaknya juga tidak yakin baik Bawaslu maupun MK akan berlaku adil dan tidak dipengaruhi oleh pihak yang berkuasa. Apalagi terhadap aduan pihak Prabowo yang dibawa ke Bawaslu hingga saat ini belum ada “pernyataan strategis” yang bisa melegakan pihak Prabowo, ataupun rakyat secara keseluruhan, bahwa Bawaslu akan serius dan adil dalam memproses dan menyelesaikan aduan-aduan pemilu, utamanya yang dibawa oleh kubu Prabowo.
Disinilah pentingnya kejujuran.
Kejujuran semua pihak sangat diperlukan, agar kebenaran dan keadilan benar-benar tegak di negeri ini.
Prabowo harus jujur, benarkah dia punya bukti nyata dan kuat bahwa dirinya menang 62%. Kalau tidak dosanya luar biasa. Karena, akibat pernyataan Prabowo itu jutaan orang meyakini dan bahkan siap mati untuk membela Prabowo, jika dia dinyatakan kalah oleh KPU. Bayangkan kalau jutaan orang itu nanti benar-benar nekad, melakukan perlawanan fisik dan akhirnya menjadi korban karena mempertahankan keyakinan yang salah, siapa yang bertanggung jawab? Tentu Prabowo. Boleh saja dia mengkambing hitamkan pihak-pihak yang memberikan data atau bukti “kemenangan 62% itu”, tetapi tidakkah sebagai calon Presiden Prabowo mesti memiliki “judgement” atas dasar logika dan akal sehat, serta kecermatan dan kehati-hatian sebelum melakukan tindakan? Mudah-mudahan kenekadan para pendukung Prabowo tersebut tidak terjadi. Banyak pihak yang merasa lega, karena hari-hari terakhir ini tidak ada tanda-tanda kuat bahwa hal buruk itu akan terjadi.
Sejumlah testimoni yang didapat dari kalangan yang mengusung Prabowo dalam Pilpres 2019 ini menyampaikan bahwa mereka juga meragukan data dan bukti yang dimiliki Prabowo menyangkut angka 62% tersebut. Bahkan konon SBY, yang partainya juga mengusung Prabowo, hingga saat ini belum bisa diyakinkan bahwa Prabowo benar-benar menang 62%. SBY, yang kuat dalam logika, cermat dan berhati-hati untuk membenarkan atau tidak membenarkan sesuatu, juga seorang yang kenyang dalam dunia pilpres baik sebagai capres (dua kali), sebagai Presiden ketika pilpres dilakukan (dua kali) dan saat ini berada diluar kekuasaan, tentu tak mungkin disuruh membebek dan membela secara membabi buta capres yang diusungnya itu kecuali akal sehat dan hati nuraninya meyakini klaim kemenangan Prabowo yang 62% itu kuat dan benar.
Jokowi dan para pemimpin negara dan pemerintahan juga harus jujur. Benarkah pemilu ini tak ada kecurangan sama sekali. 100% jujur dan adil. Benar atau tidak benar tuduhan yang dilontarkan berbagai pihak, terutama tentunya yang berasal dari kubu Prabowo, bahwa terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan lembaga-lembaga negara, pusat maupun daerah, termasuk TNI, Polri dan BIN, penyimpangan penggunaan keuangan negara, utamanya BUMN-BUMN, dan penyalahgunaan lembaga-lembaga penegak hukum yang semuanya bertujuan untuk memenangkan Jokowi dan partai-partai politik tertentu. Kalau semua tuduhan itu isapan jempol, tak terjadi sama sekali, rakyat bersyukur bahwa pemilu ini benar-benar jujur dan adil. Pihak Prabowopun tak perlu sengit dan memvonis bahwa Pemilu 2019 ini curang. Semua harus tunduk pada bukti.
Banyak yang berpendapat jika memang Jokowi dalam pemungutan suara tanggal 17 April 2019 yang lalu mendapatkan suara yang lebih besar daripada suara Prabowo, maka tak boleh dihalang-halangi untuk memimpin Indonesia lagi 5 tahun mendatang. Itu merupakan hak sejarah Jokowi. Namun, jika memang terbukti telah terjadi penyimpangan dan kecurangan dalam rangkaian pemilu, bukan hanya pemungutan dan penghitungan suara semata, dan sekalipun kecurangan itu tidak berkategori terstruktur, sistematis dan masif, tetaplah para pelakunya harus diberikan sanksi. Hukuman harus diberikan. Itulah makna keadilan dalam pemilu. Kalau semua penyimpangan, kesalahan dan kecurangan itu diabaikan, masa depan pemilu dan demokrasi kita akan buruk. Bisa-bisa itu dianggap biasa (new normal) dan bahkan bisa makin menjadi-jadi nantinya.
Jika Allah menakdirkan Jokowi memimpin Indonesia lagi, pastilah dia ingin sukses dan turun dari jabatannya secara baik. Kalau urusan “pemilu ini curang” dan “pemilu ini jujur” tidak diselesaikan dengan baik, legitimasi Jokowi pada periode kedua jabatannya sebagai Presiden tentulah tidak kuat. Rasa tidak percaya (mistrust) rakyat akan tinggi dan dukungan rakyat kepadanya juga akan rendah. Kita tidak ingin pemerintahan mendatang tidak bisa bekerja dengan baik.
Pihak penyelenggara pemilu juga harus jujur, utamanya KPU dan Bawaslu. Banyaknya kasus salah hitung suara dalam C1 benarkah karena kekeliruan atau memang disengaja. Kasus-kasus suara yang telah dicoblos oleh petugas atau pihak lain, baik didalam maupun diluar negeri bagaimana penjelasannya, dan yang lebih penting bagaimana kasus-kasus itu diselesaikan? Respons KPU, Bawaslu dan kelak MK dalam menanggapi dan memproses semua aduan secara serius, jujur dan adil juga sangat diperlukan.
Kejujuran pihak-pihak lain juga diperlukan. Misalnya, apakah pihak yang saat ini habis-habisan mendesak Prabowo untuk tidak mengakui hasil pemilu, mendiskualifikasi Jokowi dan bahkan menyerukan revolusi dan “people power” itu benar-benar membela Prabowo, atau sasarannya yang penting pemerintahan Jokowi tumbang. Apapun jalan dan alasannya. Ini tentu dua hal yang berbeda. Satu memang untuk kepentingan Prabowo dan membela Prabowo untuk mendapatkan keadilan, kalau memang dia didzolimi. Sedangkan yang kedua lebih kepada kepentingan mereka, dan bukan kepentingan Prabowo. Banyak kalangan yang tidak rela jika Prabowo menjadi korban sia-sia.
Sementara, pihak-pihak yang mati-matian membentengi Jokowi, benar atau salah, juga harus jujur. Benarkah mereka tidak melakukan penyimpangan dan kesalahan yang mencoreng berlangsungnya pemilu yang jujur dan adil, yang mungkin Jokowi sendiri tidak tahu, karena mereka ingin cari muka dan ingin mendapatkan balas jasa dalam pemerintahan mendatang? Atau mungkin juga mereka punya kepentingan dan agenda yang lain, yang belum tentu sama dengan agenda Jokowi sendiri. Contoh nyata, pada bulan Januari 2019 puluhan baliho yang ada foto SBY & Ani dan ratusan bendera Partai Demokrat dirusak dan dibuang ke parit dan jalanan di Pekanbaru. Diyakini tindakan kriminal yang diduga dilakukan oleh tangan-tangan kekuasaan itu diluar pengetahuan Jokowi. Sebuah sumber mengatakan bahwa Jokowi marah besar dengan ulah pihak tertentu yang “menyerang” dan melecehkan SBY, Presiden RI ke-6, seperti itu.
Demi rakyat, demi masa depan pemilu dan demokrasi kita yang lebih baik, pihak-pihak yang terlibat dan berperan dalam pemilu 2019 ini haruslah jujur. Kalau ini terjadi, lebih dari separuh persoalan yang kita hadapi akan dapat diselesaikan.
Saatnya pula para pemimpin dan elit politik bersikap kesatria.
Bersikap kesatria itu mulia. Termasuk kesatria dalam menerima hasil pemilu. Terutama yang kalah dalam kontestasi ini. Penerimaan hasil pemilu 2019 ini bagi yang kalah, dengan asumsi tidak ada penyimpangan dan kecurangan “maha besar” yang membuat cacatnya pemilu ini secara moral, legal dan politik, akan membulatkan akhir yang baik dari perhelatan demokrasi kita.
2 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 17 Februari 2017, ada peristiwa yang indah dan sekaligus bersejarah. Seorang tokoh muda, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang baru saja mengalami “pukulan keras” karena dalam “quick count” dia dinyatakan kalah telak dalam pemilihan gubernur Jakarta, telah memberi contoh tentang pentingnya sikap kesatria ini. AHY dan para pendukungnya terpukul karena menurut berbagai lembaga survey hingga akhir Desember 2016 masih diunggulkan, dalam kontestasi itu dikalahkan oleh Ahok-Djarot dan Anis-Sandi dalam margin yang besar. Hanya dalam hitungan jam, AHY bisa mengontrol emosi dengan pikirannya, dan kemudian menelpon para pesaingnya yang intinya mengucapkan selamat dan mengakui kekalahannya. Setelah itu secara resmi dia menyampaikan pernyataan kekalahannya di DPP Partai Demokrat Jakarta.
Sebenarnya pihak AHY, termasuk Partai Demokrat sebagai pengusung utamanya, merasakan bahwa dalam pilkada Jakarta tersebut ada tangan-tangan tidak kentara yang bekerja agar AHY kalah. Dia juga dipukul baik dari depan maupun dari belakang, karena dianggap kandidat yang harus dilumpuhkan secara bersama. Memori rakyat masih hidup atas dilakukannya pencidukan yuridis terhadap kubu AHY, termasuk turunnya Antasari untuk merusak suara AHY satu hari sebelum pemungutan suara. Tapi, semua itu tidak menghalang-halangi niatnya untuk tampil secara kesatria mengakui kekalahannya dan mengucapkan selamat kepada para pemenang.
Satu hal yang barangkali tidak diketahui publik, AHY mengambil sikap yang berisiko tinggi, ketika dia memilih untuk tidak mau terseret kedalam politik identitas. Faktor inilah yang membuat AHY tak ragu untuk menerima kekalahannya, sebab itulah risiko yang sudah diperkirakan sebelumnya bahwa dalam pilkada yang sarat dengan solidaritas identitas itu ternyata banyak yang memang tidak memilihnya.
Sebagai catatan pinggir, saat ini AHY “dibully” habis oleh pihak-pihak yang marah karena AHY bersedia memenuhi undangan Presiden Jokowi dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Tidak mewakili Partai Demokrat dan juga tidak merepresentasikan kubu Prabowo. Inisiatif untuk bertemu Presiden Jokowi bukan berasal dari dirinya dan juga jelas bukan dari SBY. AHY, yang juga “ber-DNA SBY” senantiasa menghormati pemimpinnya, Presiden Republik Indonesia, yang sedang mengemban tugas saat ini. Karenanya, dengan niat baik AHY memenuhi undangan itu karena dia juga meyakini bahwa Jokowi juga memiliki niat yang baik. AHY tahu bahwa pertemuan itu bakal menuai pro dan kontra, namun risiko itu nampaknya diambil tanpa keraguan apapun. Bagi pihak yang mengeluarkan sumpah serapah terhadap AHY saat ini berangkat dari pemikiran bahwa siapapun yang mengusung Prabowo harus mati-matian membela Prabowo tanpa reserve. Salah atau benar. Right or wrong.
Menyusul pertemuan Jokowi-AHY tersebut, SBY yang sudah 3 bulan lebih ini mendampingi pengobatan isteri di Singapura juga kena hajar. Rencana Prabowo untuk menjenguk Ibu Ani dan bertemu dengan SBY tiba-tiba juga dibatalkan, padahal SBY sudah siap untuk menerima kunjungan itu dengan baik.
Ini juga pelajaran politik untuk kita semua. Terkadang bias dan ketidakadilan juga datang dari sesama kolega. Ketika ada tokoh partai lain pengusung Prabowo yang dengan inisiatifnya menemui Jokowi untuk agenda pemerintahan kedepan, tidaklah menjadi persolan besar. Tetapi tidak untuk AHY, dan juga Partai Demokrat. Meskipun AHY juga belum mengucapkan selamat kepada siapapun, termasuk Jokowi, karena sesuai yang disampaikan tanggal 17 April 2019 malam hari, jajaran Partai Demokrat masih menunggu pengumuman resmi dari KPU tetaplah dianggap tabu bagi AHY untuk bertemu dengan kubu Jokowi. Demokratpun sebenarnya juga tidak menghalang-halangi pihak Prabowo jika ingin melakukan aduan ke Bawaslu atas dugaan terjadinya kecurangan dalam pemilu ini. Inilah jiwa dan pikiran seorang konstitusionalis.
Demikian pikiran dan pandangan kami bertiga dalam kapasitas sebagai pribadi. Tidak mewakili Partai Demokrat, meskipun kami yakin ini pulalah jalan pikiran pemimpin Demokrat dan keluarga besarnya. Bagaimanapun Pemilu 2019 ini harus berakhir, kemudian bangsa ini “move on”. Harapannya tentu berakhir dengan baik, dan juga adil. Rakyat tidak boleh terombang-ambing. Kita semua yang menentukan. Menentukan masa depan bangsa, termasuk masa depan demokrasi dan pemilunya yang mesti lebih baik dan berkualitas.
*) Ketiganya adalah Kader Utama Partai Demokrat