Jakarta: Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat (DPD-PD) DKI Jakarta menyampaikan pernyataan pers terkait kilas balik perjalanan politik selama tahun 2017. Acara yang dilabeli “Kaleidoskop Politik 2017 DPD Partai Demokrat Provinsi DKI Jakarta” tersebut diselenggarakan di Kantor DPD-PD DKI Jakarta, Jalan Raya Bambu Apus, Jakarta Timur, Kamis (28/12/2017).
Pernyataan pers dibacakan Ketua DPD-PD DKI Jakarta Santoso. Hadir dalam pernyataan pers itu, Wakil Ketua Umum DPP-PD Syarief Hasan, Ketua Majelis Pertimbangan Daerah DPD-PD DKI Nachrowi Ramli, Sekretaris DPD-PD DKI Misan Samsuri, serta Bendahara DPD-PD DKI Jakarta Mariana Harahap.
Berikut pernyataan pers selengkapnya:
Tahun 2017 adalah tonggak bersejarah bagi Provinsi DKI Jakarta, karena pada tahun ini suksesi dan pergantian Gubernur dan Wakil Gubernur terjadi dalam proses dan dialektika demokrasi yang “panas” dan terpolarisasi. Bagi banyak kalangan Pilkada DKI dianggap sebagai warming up menuju tahun politik 2019.
Seperti diketahui, Partai Demokrat pada Pilkada DKI 2017 mengusung pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni yang tersisih pada putaran pertama. Selanjutnya pada pilkada putaran kedua, Partai Demokrat secara institusional tidak resmi mendukung pasangan calon tertentu, tetapi simpatisan dan sebagian besar kader mempunyai kecendrungan dan preferensi politik terhadap salah satu pasangan calon. Hal tersebut jelas terekam oleh hasil pantauan lembaga-lembaga survei.
Terlepas bahwa Partai Demokrat tidak mendukung salah satu calon pada pilkada putaran kedua, tetapi Demokrat konsen untuk menginventarisir semua program dan janji kampanye kedua pasangan yang berlaga. Catatan terhadap program kerja tersebut, secara rutin menjadi bahan evaluasi bagi Partai Demokrat Jakarta dan selanjutnya dijadikan bahan kritik konstruktif kepada pemerintah melalui mekanisme kontrol di DPRD maupun media massa
Partai Demokrat ingin memastikan peralihan kepemimpinan eksekutif di Provinsi DKI Jakarta bukan merupakan perubahan yang berangkat dari titik nol, melainkan ada value dari pemimpin pemimpin sebelumnya yang harus dipertahankan. Gubernur Anis Baswedan dan Wagub Sandiaga Solahudin Uno tidak boleh underestimate (meremehkan) terhadap program gubernur sebelumnya. Jika ada yang kurang baik di masa pemerintahan yang lalu, segera perbaiki dan disempurnakan serta ditingkatkan.
Di penghujung tahun 2017, Partai Demokrat dipandang perlu untuk menyampaikan beberapa hal terkait permasalahan dan persoalan akut yang harus menjadi skala prioritas untuk diselesaikan oleh Pemda DKI Jakarta.
Dalam catatan kami ada 6 persoalan yang harus segera diatasi Pemda DKI yaitu: macet, banjir, sampah, pengangguran, pendidikan dan ketersediaan hunian yang terjangkau bagi warga Jakarta.
Situasi kemacetan Kota Jakarta bisa dibilang sudah menjadi makanan sehari-hari penduduk Jakarta. Setiap hari ya lalu lintas Jakarta memang tidak bisa lepas dari kemacetan. Hal ini disebabkan banyaknya masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi untuk melakukan aktivitasnya. Peningkatan jumlah kendaraan tanpa diimbangi dengan perluasan jalan tentu menyebabkan kemacetan di berbagai jalan Jakarta. Untuk mengatasi kemacetan ini diperlukan kerja sama antara pemerintah dan penduduknya yaitu dengan membuat fasilitas kendaraan umum yang nyaman untuk mengurangi Jumlah penggunaan kendaraan pribadi di Jakarta.
Setiap tahunnya bencana banjir selalu terjadi di kawasan Jakarta, hal ini disebabkan buruknya sistem tata air karena padatnya kawasan perumahan di Jakarta. Selain itu banjir juga disebabkan menumpuknya sampah yang menyumbat aliran air seperti selokan dan sungai sehingga terjadi banjir dari luapan sungai tersebut. Mengatasi hal ini Pemda DKI Jakarta perlu kerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota daerah penyangga dalam penanganan air yang mengalir dari selatan. Pemerintah perlu membangun dan meningkatkan kesadaran masyarakatnya akan banjir serta cara mengatasiya. Sedangkan masyarakat harus lebih sadar dan mau bekerjasama mulai dari hal yang kecil seperti membuang sampah pada tempatnya dan melakukan kegiatan kerja bakti pada masing masing daerah.
Masalah tingginya angka pengangguran di Jakarta juga menjadi masalah lain yang terjadi di kota ini. Tingkat pengangguran terjadi akibat banyaknya orang pindah ke Jakarta, berharap mendapatkan pekerjaan layak. Pada kenyataannya banyak sekali orang yang datang ke Jakarta tanpa modal apa pun sehingga menyebabkan tingginya angka pengangguran.
Di bidang pendidikan, Provinsi DKI Jakarata belum berhasil menaikkan prestasinya dibandingkan provinsi lain. Sudah beberapa tahun masih senantiasa berada di posisi 5 besar. Sedangkan dana yang dikucurkan pada sektor pendidikan sangat besar. Kami mengusulkan agar dana APDB untuk pendidikan diberikan juga kepada sekolah swasta baik yang umum ataupun berbasis keagamaan (madrasah) yang muridnya berasal dari keluarga miskin.
Berikutnya adalah masalah hunian. Kami harap program yang dikampanyekan oleh gubernur dan wakil gubernur saat ini, direalisasikan. Hunian DP 0 persen harus tepat sasaran. Kami khawatir, dengan DP 0 persen yang hanya bisa dibangun 1000-2000 rumah. Padahal rakyat Jakarta yang belum punya rumah jumlahnya belasan ribu.
Karena Jakarta sebagai etalase Indonesia, kami menyoroti program kebijakan pencabutan subsidi bagi rakyat miskin, seperti gas 3 kg, listrik, premium yang belum tepat dilakukan saat ini. Kritik ini disampaikan karena kondisi ekonomi kita sedang menurun. Dampaknya sangat terasa oleh rakyat kebanyakan di negeri ini. Biaya transporasi yang menyumbang inflasi cukup tinggi juga masih dibebani kenaikan tarif tol sebagai hadiah akhir tahun untuk rakyat oleh pemerintah kita.
Begitu pula dalam sikap netralitas TNI dan Polri. TNI dan Polri agar benar benar berada dalam posisi sebagai pengawal NKRI bukan sebagai pengawal untuk mengamankan kepentingan rezim. Netralitas TNI dan Polri adalah harga mati karena sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Kritik yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah harus dilihat sebagai bagian dari partisipasi dalam upaya kemajuan. Bukan dinilai sebagai ancaman bagi keutuhan NKRI.
Terakhir suka atau tidak suka harus diakui bahwa pada saat Pilkada DKI Jakarta 2017, suasana kerukunan antar-umat beragama kurang harmonis. Hal ini bisa dipahami karena setiap pendukung ingin memenangkan calon masing-masing, walaupun dengan fanatisme berlebihan. Pasca-pilkada suasana tersebut masih terasa karena masih banyak yang belum bisa “move on”. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius dari Pemda DKI. Jakarta adalah miniatur Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika sangat perlu dikedepankan untuk menajaga keutuhan NKRI.
Di tahun 2017, dalam catatan Partai Demokrat, tidak kurang 3 kali Pemda DKI Jakarta melakukan Focus Group Discusion (FGD) terkait rencana pemerintah pusat yang akan merevisi UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Ibukota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara kesatuan Republik Indonesia. Saat ini revisi UU tersebut sudah dalam bentuk RUU di Kementerian Dalam Negeri. Sebelum ditetapkan menjadi UU, DPD Partai Demokrat Provinsi DKI Jakarta mengusulkan lima hal:
Pertama, DPRD di Jakarta hanya ada di tingkat Provinsi maka jumlah anggota DPRD harus ditingkatkan dari 125% menjadi 140% atau yang semula 106 kursi menjadi 125 kursi
Kedua, karena otonomi daerah di DKI hanya di tingkat provinsi maka walikota/bupati yang ada dalam wewenangnya sebagai pengguna anggaran tidak boleh direvisi melainkan tetap mengikuti aturan seperti yang sudah ditetapkan dalam UU Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi daerah Khusu Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia
Ketiga, Dewan Kota yang selama ini sudah diatur dalam UU29/2007 mestinya berasal dari keterwakilan Partai Politik harus dipertimbangkan karena DKI Jakarta tidak memiliki DPRD Kabupaten/Kota
Keempat, dalam tata kelola pemerintahan daerah, gubernur dalam mengangkat jabatan para PNS di DKI Jakarta harus mempertimbangkan asas merit system dan jenjang karier, tidak lagi mengunakan sistem lelang jabatan
Kelima, kebudayaan betawi yang merupakan akar masyarakat Jakarta harus masuk dan diakomodir dalam revisi UU nomor 29 tahun 2007 karena tidak cukup hanya dalam peraturan daetah saja.
(rilis/wan/dik)