Foto ilustrasi: Deklarasi Cak Imin-AHY ‘Pemimpin Zaman Now’ di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Minggu (29/10). (Foto: RMOL/JPNN)

Oleh: Ridwan Sugianto*)

Syarat presidential threshold 20% kursi atau 25% suara yang diketuk Mahkamah Konstitusi (MK) membuat sebagian kawan-kawan saya hopeless. Mereka sudah patah semangat bahwa mustahil ada pemimpin alternatif yang bisa dimajukan untuk bersaing dengan Jokowi dan Prabowo.

Sebagai seorang masyarakat biasa, jujur saya kecewa. Hanya sampai segitu sajakah tekad mereka untuk memperjuangkan pemimpin alternatif? Rontok di tengah jalan hanya karena stempel MK yang tak logis? Sungguh amat disayangkan.

Dalam pandangan saya, presidential threshold mestinya dipandang sebagai tantangan; sebagai berhala yang harus kita hancurkan. Caranya? Dengan meningkatkan semaksimalnya elektabilitas dari para kandidat pemimpin alternatif itu.  Bila kepercayaan diri kita tinggi, bila elektabilitas sudah lumayan, besar kemungkinan konstelasi ini bisa diubah. Jangan patah semangat! Optimislah!

Coba ingat-ingat kembali apa yang terjadi dengan Jokowi. Mulanya Jokowi bukan apa-apa. Namanya tidak disebut-sebut dalam bursa Pilpres 2014. Tetapi elektabilitasnya terus membumbung. Alhasil Megawati menyerah, PDIP terpaksa menerima Jokowi sebagai kandidat capresnya. Kuncinya adalah keinginan masyarakat. Kuncinya adalah elektabilitas kandidat.

Sekarang, telisiklah pelbagai survei Pilpres 2019. Survei PolMark misalnya menyebut 32,4% responden mengaku tidak akan memilih Jokowi pada pilpres 2019 mendatang. Mereka ingin pemimpin baru di Indonesia.

Namun yang dimaksud dengan pemimpin baru ini tidak mutlak Prabowo Subianto. Ingat Prabowo sudah dua kali maju. Bila maju lagi pada Pilpres 2019, artinya yang ketiga kali; hattrick. Pecah rekor sudah. Dan orang Indonesia yang sudah jenuh  punya pandangan negatif dengan sosok yang terus-menerus mengejar kekuasaan.

Alhasil, wajar bila survei Polmark itu kemudian Karena survei itu mencatat hanya 3,6% masyarakat dari persentase yang tidak akan memilih Jokowi pada 2019 memberi alasan bahwa mereka lebih percaya pada Prabowo Subianto.

Lembaga Media Survei Nasional (Median) juga merilis survei elektabilitas pada 2 Oktober 2017, hasilnya 40,6% publik yang ingin capres alternatif selain Jokowi dan Prabowo. Dua survey ini menggambarkan  banyak pemilih yang belum mantap kepada Jokowi dan Prabowo. Potensi pemimpin alternatif amat terbuka.

Dari berkian nama pemimpin alternatif yang ditawarkan saya masih menaruh harapan pada tiga orang Anies Baswedan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Muhaimin Iskandar. Ketiga sosok ini memiliki modal besar sebagai pemimpin alternatif masa depan.

Sebagai Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan punya kesempatan besar untuk mendokrak popularitas dan elektabilitasnya di pentas nasional. Sementara AHY kini didapuk sebagai ketua tim pemenangan Pilkada Serentak 2018 Partai Demokrat. Sehingga secara otomatis AHY akan menyambangi 171 daerah tersebut –ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Kondisi serupa juga dialami Muhaimin yang berstatus sebagai Ketua Umum PKB. Bukankah ini peluang besar bagi ketiga sosok ini untuk mendongkrak elektabilitas mereka?

Namun, secara hitung-hitungan kendaraan politik, terang AHY dan Muhaimin yang paling siap. Masing-masing sudah punya kendaraan sendiri. Ilustrasinya begini. Partai Demokrat punya 61 kursi DPR, sementara PKB memiliki 47 kursi DPR. Totalnya 108 kursi, artinya koalisi ini hanya butuh 4 kursi lagi untuk bisa maju menjadi capres-cawapres. Sekiranya koalisi ini bisa mengandeng Partai Hanura menelisik parpol ini relative tidak punya kandidat yang dijagokan, atau PAN menimbang kedekatan emosional SBY dengan Hatta Rajasa plus Zulkifli Hasan, otomatis perkara kendaraan sudah selesai.

Siapa yang akan menempati posisi RI1 atau RI2 antara AHY dan Muhaimin itu soal belakangan. Tetapi koalisi mereka saya pikir adalah koalisi zaman now—masuk unsur pemuda, islam dan militer di sana. Saya pikir koalisi ini akan menjadi poros kekuatan yang mampu mengimbangi poros Jokowi dan poros Prabowo.

*)Penggiat Gerakan Indonesia Emas

(politiktoday/dik)