Oleh: Hendri Teja
Pasca Pilpres 2019, Nakhoda Koalisi 02 terkesan sudah bergeser pada Demokrat. Gagasan-gagasan yang diajukan Demokrat diam-diam diadopsi. Tiga yang utama adalah penyelesaian sengketa Pilpres secara konstitusional, rekonsiliasi nasional yang dimulai dengan silaturahmi lintas kalangan, serta menolak terlibat gerakan people power.
Pola masing-masing memang serba beda. PAN yang paling akomodatif, sementara PKS cenderung ikut angin. Gerindra mengambil pola tegang di awal, tapi kendur di belakang. Intinya sama. Mereka merujuk pada gerak Demokrat.
Wacana pembubaran koalisi Pilpres tinggal tunggu waktu. Bagaimanapun, Indonesia bukan Amerika yang jadi medan tempur Repulik vs Demokrat. Kita tidak kenal istilah ‘pemenang mengambil semua’. Budaya politik Indonesia cenderung mengarah pada ‘pemenang merangkul semua’.
Budaya ini sudah dipraktikan sejak era Abdurahman Wahid sampai Jokowi. Semua yang terjelapak selalu disodori tangan untuk bersama membangun negeri. Kalaupun dua-tiga partai menolak, itu cuma riak-riak saja. Tergantung dari paradigma masing-masing parpol. Makanya kita tidak kaget saat terbit isu Gerindra minta lima kursi menteri dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin.
Sayang, prosesnya tidak gentleman. Di satu sisi gagasan-gagasan Demokrat diadopsi. Di lain sisi terus dibangun stigma Demokrat sebagai duri dalam daging. Termasuk melalui cara-cara ala Marchivelianisme atau memanipulasi unsur-unsur religi.
Ya, mem-bully AHY lumrah saja. Tapi memanipulasi syuhada Perang Uhud untuk membunuh karakter AHY terang keterlaluan. Tak elok pula menyandingkan kesan Rocky Gerung dan Prabowo terhadap almarhumah Ibu Ani Yudhoyono. Yang satu bicara terkait vlog mantan Ibu Negara yang ingin bicara nilai-nilai kebangsaan. Sementara yang lain menarik Ibu Ani dalam polarisasi Pilpres.
Agaknya Demokrat enggan meladeni stigma ini. Tapi pembully-an ini sejatinya makin menegaskan kalau Demokrat bukan partai yang menghalalkan politik pasca kebenaran (post truth politic). DNA Demokrat adalah tradisi memegang nilai dan membangun gagasan sebagaimana yang terus diseru-serukan SBY. Garis demarkasi ini terbentang sepanjang pemilu tempo lalu. Makanya ketika banyak partai riuh memanen emosi publik melalui politik identitas, Demokrat muncul dengan tawaran 14 Prioritas untuk Rakyat.
Terlalu naif agaknya apabila memprediksi senjakala Demokrat berbasiskan Pemilu 2019. Tampak kesan gagal membaca sejarah. Butuh 15 tahun bagi PDIP untuk memuncaki kembali Pileg pasca kejayaan pemilu 1999. Bahkan tren suara Golkar cenderung menyusut. Fenomena serupa sedang mendera Demokrat hari ini.
Jatuh-bangun parpol itu biasa. Tapi yang mengherankan justru Gerindra. Tiga kali sudah Prabowo maju Pilpres. Jangankan pemuncak Pileg, menjadi runner up pun Gerindra sudah terengah-engah. Tipis nian bedanya dengan Golkar pada Pileg 2019i. Dinamis bukan?
Intinya, selalu ada peluang untuk merebut kembali. Tak terkecuali Demokrat. Apalagi Demokrat sudah punya modal politik yang selaras perkembangan zaman ke depan. Gerak dinamis, kukuh memegang prinsip-nilai, serta tradisi memproduksi gagasan yang diterapkan Demokrat selaras dengan karakter generasi Indonesia masa depan. Kuantitas generasi ini akan mencapai puncaknya pada 2035.
Leburnya sekat ruang serta intensitas dialog multikultural yang dipicu perkembangan teknologi-informasi akan berimbas pada berkembangnya generasi antipolitik identitas dan antifanatisme kelompok. Ancaman globalisasi memaksa Indonesia mesti bersatu sebagai bangsa bukan malah mempertebal sekat-sekat agama dan primordialisme.
Bukan kebetulan kalau karakter-karakter ini sedang mekar-berkembang di internal Demokrat. Tidak pula bisa disangkal kalau garda utama Demokrat hari ini adalah anak-anak muda yang dikomandoi AHY.
Bisa dibilang Demokrat sudah melangkah di jalan yang benar. Yang dibutuhkan Demokrat hanya kesabaran revolusioner. Juga soliditas dan persiapan yang masak apabila momentum itu tiba.***