Qomaruddin Hasan (ist)

Oleh: Qomaruddin Hasan, SE, M. Kesos*)

KEMISKINAN merupakan sumber utama munculnya masalah sosial. Kondisi kemiskinan dengan berbagai dimensi dan implikasinya merupakan salah satu bentuk masalah sosial yang mengambarkan kondisi kesejahteraan sosial yang rendah. Karena itu, kemiskinan pada hakikatnya adalah masalah sosial itu sendiri. 

Di dalam lingkaran kemiskinan, kita tidak dapat mendefinisikan bahwa kemiskinan hanya diartikan dengan berkurangnya pendapatan. Lebih dari itu, kemiskinan adalah banyaknya masalah sosial yang tidak terselesaikan seperti fakir miskin, anak telantar/anak jalanan, yatim piatu, penyandang cacat, korban bencana alam, keamanan, kesehatan, pengangguran, kebodohan, dll.

Untuk itu, pengukuran kemiskinan dan kesejahteraan menjadi hal yang penting bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan yang benar dan tepat sasaran. Karena apa yang diukur oleh pemerintah memengaruhi kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintah. Apabila ukuran yang dipakai salah, bukan mustahil kebijakan yang diambil pemerintah juga salah. Karenanya, menjadi tidak relevan bila pemerintah mengukur kemiskinan atau kesejahteraan hanya mengandalkan satuan ukur tunggal sebab kompleksitasnya masalah kemiskinan yang ada.

Satuan-satuan ukur yang tidak sejalan dengan persepsi publik menjadi sangat problematis, misalnya hasil pengukuran yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan, berdasarkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tahun 2019 ekonomi naik 5,05 persen. Namun, sebagian besar masyarakat merasa hidupnya semakin susah, daya beli menurun dan pengangguran bertambah. Hal ini dibuktikan dengan ditutupnya sejumlah toko ritel modern, Tanah Abang, Jakarta, sepi pengunjung, Matahari dan Ramayana di beberapa mall juga tutup. Fenomena ini banyak dikatakan sebagai fenomena shifting oleh beberapa ekonom. Akan tetapi, yang menjadi tidak logis adalah shifting, atau peralihan jenis usaha, yang dibarengi dengan menurunnya daya beli dan bertambahnya pengangguran. Hal ini yang menjadi anomali di bidang pertumbuhan ekonomi sekarang. Bahkan apa yg dikatakan peralihan bisnis dari konvensional ke digital, ternyata pasar on line sekarang juga mengalami penurunan (sepi pembeli).

Disparitas data dan fakta ini menunjukkan, satuan ukur yang dipakai BPS tak sempurna. Pemerintah secara tidak langsung telah menunjukkan adanya kesenjangan antara besaran angka-angka yang dirilis BPS dengan realitas sosial yang dialami masyarakat. Maka, dengan kondisi yang ambigu ini, wajar masyarakat berpersepsi bahwa pemerintah akurasinya kurang dalam menyajikan angka-angka statistik. Hal seperti ini akan mengurangi legitimasi masyarakat kepada pemerintah, dan melemahkan kemampuan pemerintah dalam menangani isu-isu yang terkait dengan kepentingan publik.

Kondisi yang memperlihatkan adanya ketidakselarasan antara data dan kondisi masyarakat merupakan bentuk kesalahan ukur yang dipakai dalam menentukan suatu kondisi.

Hal ini yang diprotes oleh Joseph E. Stiglitz (peraih Nobel bidang ekonomi) bahwa menentukan kesejahteraan sosial tidak tepat menggunakan tolok ukur tunggal atau tolok ukur yang hanya menyiratkan trade off dan tidak komprehensif. Akibat dari satuan ukur yang tunggal mengakibatkan perbedaan data dan fakta yang menimbulkan kecurigaan atau persepsi negatif kepada penyelenggara kebijakan, padahal kesalahan bersumber dari metode pengukuran yang berimbas pada pengambil kebijakan. Stiglitz juga menawarkan pengukuran “agregat” menjadi alternatif dalam menentukan kemiskinan atau kesejahteraan, karena kemiskinan dan kesejahteraan bukan hanya sekadar masalah pendapatan, tapi banyak variabel yang memengaruhi orang menjadi miskin atau sejahtera.

Mewujudkan kesejahteraan sosial merupakan tugas pemerintah, seperti yang diamanatkan konstitusi yang terlihat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, “kegiatan, upaya dan wujud kesejahteraan sosial merupakan tanggung jawab pemerintahan pusat dan daerah otonomnya (pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota).”

Untuk merealisasikan kesejahteraan sosial, pemerintah harus menciptakan kesempatan untuk masyarakat dalam meningkatkan dan merealisasikan potensi-potensi yang dimiliki secara maksimal. Tidak adanya kesempatan tersebut menjadi sebab besar terjadinya social fare atau kondisi masyarakat yang sakit.
Selain itu, dalam merealisasikan kesejahteraan sosial, pemerintah perlu melakukan pendekatan administrasi sosial. Yaitu pemerintah melakukan intervensi sosial dengan berbagai macam program usaha kesejahteran sosial. Pendekatan ini juga dikenal dengan nama pendekatan kebijakan sosial atau pelayanan sosial (social service or social policy approach).

Kesejahteraan sosial, menurut James Midgley, adalah suatu kondisi sosial dan bukan kegiatan amal yang dilakukan kelompok-kelompok filantropi. Kesejahteraan dalam arti yang sangat luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik, yang tidak hanya diukur secara ekonomi dan fisik belaka, tetapi juga memperhatikan aspek sosial, mental dan segi kehidupan spiritual. Kesejahteraan merupakan suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai masalah sosial dapat dikelola dengan baik; ketika kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalisasikan.

Pandangan ini diperjelas dalam UU No. 11 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (1). Bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Kesejahteran sosial menunjuk pada pemberian pelayanan sosial yang dilakukan oleh Negara atau program-program pemberdayaan yang ditujukan kepada orang miskin. Tujuan pertama dan utama kesejahteraan sosial adalah penanggulangan kemiskinan dalam berbagai manifestasinya. Pengertian manifestasi bukan hanya menunjuk pada rendahnya “kemiskinan fisik”, seperti rendahnya pendapatan (income poverty), melainkan juga mencakup berbagai masalah sosial (Jones). 

Kemiskinan meniscayakan kehadiran Negara untuk menanggulangi dan mewujudkan kesejahteraan sosial. Kebijakan tersebut merupakan amanat UUD 1945 yang harus dilakukan oleh pemerintah. Sehingga, angka kemiskinan bisa berkurang secara pasti dan benar sesuai kondisi masyarakat yang ada. Hal ini dilakukan agar welfare state (negara kesejahteraan) bisa terwujud.

*)Alumnus Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Pasca Sarjana Universitas Indonesia dan Wakil Ketua Pengkaderan DPN Bintang Muda Indonesia.