Renanda Bachtar (dokpri)

Oleh: Renanda Bachtar*)

Jika kita tanya rakyat apa harapan terbesar mereka atas pemimpin nasional, maka: kemampuan untuk membangun ekonomi yang kuat dan berkeadilan, terjaminnya demokrasi yang sehat serta kemampuan negara dalam memberikan keamanan dan perlindungan bagi seluruh warga negaranya, menjadi jawaban terbanyak.

Hampir 5 tahun periode pemerintahan Presiden Jokowi berjalan. Rakyat mencatat baik pencapaian maupun kegagalan pemenuhan janji-janji selama kampanye dahulu. Rakyat pula yang akan menilai apakah dalam kurun nyaris 5 tahun ini rakyat merasa semakin sejahtera, makin demokratis dan berkeadilan atau sebaliknya, makin menjauh dari harapan. Setiap rakyat punya jawaban masing-masing. Demi aliansi politik dan status pejabat negara yang tengah disandang, para anti realitas ini mampu menyatakan: mundur sebagai maju, turun sebagai naik dan salah sebagai benar.

Selama masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sulit dipungkiri cukup banyak hal baik yang telah berjalan ‘on the track’, alias meluncur di atas relnya. Stabilitas nasional yang relatif baik, pembangunan ekonomi yang berkeadilan, demokrasi yang semakin berjalan semakin sehat, fair, dan ya, akhirnya membawa Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia.
Bagaimana dengan penegakkan hukum? Mungkin ini malah salah satu pencapaian tertinggi SBY yang ia teladani langsung. Tentu kita masih ingat tidak kurang dari besan, ketua umum serta dua menteri asal partainya, semuanya diperlakukan sama; setara di hadapan hukum. Apakah pada periode SBY hukum mengalami masa terburuknya? Jawabannya: tidak. Jika ditilik dari kasus-kasus hukum 4 tahun terakhir jumlah pejabat publik yang terjerat kasus hukum jumlahnya hampir sama dengan total kasus yang sama selama belasan tahun lalu. Jadi, apa yang lalu membedakannya? Kepemimpinan yang Adil. Itu jawabannya.

Dari sekian banyak masalah yang merundung bangsa ini, baik di bidang ekonomi yang dirasa belum berkeadilan, indeks demokrasi yang memburuk, politik yang semakin menajam membelah rakyat serta hukum yang dirasa makin “pilih kasih” ada satu hal yang paling merugikan rakyat, yakni jika terjadi: ketidakadilan atau ‘injustice’.

Di bidang ekonomi ketidakadilan bisa saja berupa praktik bagi-bagi proyek hanya kepada kroni-kroni kekuasaan, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak dirasakan manfaatnya secara merata.

Di bidang politik dan demokrasi, ketidakadilan bisa juga dipraktikkan secara meluas dan multi dimensi seperti misalnya: menghalangi proses hukum (obstruction of justice); menggunakan aparat hukum untuk kepentingan politik penguasa (law enforcement agencies as a political weapon); membarter kasus hukum dengan kepentingan politik (abuse of power and abusing pardon power: bargaining law case with political interest); hukum yang tebang pilih (musuh ditekan, kawan dibela); pembungkaman kepada press atau siapa pun yang berpotensi mengancam penguasa; penggunaan anggaran negara untuk kepentingan politik; melakukan kegiatan intelijen untuk memata-matai lawan politiknya (both conventional and cyber political spying); dalam bentuk yang paling ‘hard’: menggunakan pihak ketiga untuk melakukan persekusi politik.

Bayang-bayang semu atas ancaman kedaulatan dan keamanan negara saat ini bersumber dari dua kelompok yang diframing seolah-olah seperti berhadap-hadapan; sebut saja “kelompok kiri” yang katanya menginginkan komunisme kembali besar di tanah air, berhadapan dengan “kelompok kanan” yakni Islam radikal yang distigmatisasi akan mengganti ideologi bangsa menjadi bersistem khilafah. Di antara mereka, diposisikan ada “kelompok tengah” dipimpin oleh pemimpin negara yang tampil menghadapi dua kelompok di atas dengan jargon “Kami Pancasila, Kami Indonesia”. Sejujurnya jargon ini tidak relevan baik secara semantik maupun dalam konteks realitas. Seolah-olah kalau mendukung gerakan damai bersama jutaan masyarakat lainnya, maka dianggap tidak Pancasilais, tidak Indonesia. Ini berbahaya.

Hal sebaliknya dari ‘injustice’, rakyat butuh pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, tidak hanya menguntungkan pihak tertentu, tapi semua pihak. Tidak hanya mendahulukan fisiknya (infrastruktur) tapi bersamaan dengan itu, juga pembangunan manusianya. Sekali lagi, dahulukan manusianya.

Rakyat butuh hukum yang berkeadilan, tidak tebang pilih, yang tidak dijadikan senjata penguasa untuk membungkam rakyat yang kritis atau lawan politiknya.

Rakyat butuh demokrasi yang berkeadilan, tidak diakal-akali, tidak dicurangi ketika rakyat hendak memilih figur wakil rakyat, partai atau calon Presiden yang diinginkannya.

Rakyat butuh keteladanan dan ketegasan dari pemimpinnya agar kehidupan berpolitik tidaklah harus menakutkan, sedikit-sedikit penuh ancaman di sana sini, geruduk sana sini, keberingasan dengan cara mempersekusi pihak yang berseberangan dengan pihak tertentu yang dekat dengan penguasa.

Sebagai perenungan, apakah kita masih bisa menyandang predikat sebagai negara demokrasi jika ketidakadilan masih menjamur di sana sini? Tak pantas tentunya.

Partai Demokrat sungguh-sungguh menginginkan dan ingin turut memastikan agar Presiden RI terpilih untuk periode kerja 2019 – 2024 benar-benar bekerja untuk rakyat, memilih tidak hanya jalan yang mudah namun sanggup jika perlu berjalan mendaki diterjalnya gunung dan di gulitanya malam, demi untuk memastikan ‘injustice’ tak lagi memiliki ruang untuk tumbuh subur di negeri yang kita cintai ini.

Izinkan saya mengutip pemikiran Martin Luther King yang relevan dengan tulisan ini: Injustice anywhere is a threat to justice everywhere.

*)Wakil Sekjen Partai Demokrat