Oleh: Ferdinand Hutahaean*)
Mengutip rilis data Badan Pusat Statistik Maret 2017, angka kemiskinan terus meningkat menjadi 27,77 juta orang atau sekitar 10,64% dari total penduduk Indonesia yang diperkirakan saat ini berjumlah sekitar 261 juta jiwa.
Selain itu pada bulan Agustus 2017, angka pengangguran juga terus meningkat menjadi 7,04 juta orang dari total jumlah angkatan kerja sebesar 121,2 juta jiwa.
Selain angka kemiskinan dan angka pengangguran yang terus meningkat sebagaimana laporan BPS, daya beli masyarakat juga ternyata menurun sebagaimana yang disampaikan oleh World Bank atau Bank Dunia pada Agustus 2017, daya beli masyarakat Indonesia menurun cukup tajam.
Berbanding terbalik dengan 3 poin di atas, menurut pemerintah, sebagaimana disampaikan Menkeu Sri Mulyani pada 18 Juli 2017, pendapatan per kapita masyarakat justru naik menjadi Rp.47,96 juta/tahun.
Paradoks pun terjadi dan melahirkan pertanyaan besar, mengapa di sela peningkatan pendapatan per kapita justru terjadi penurunan penerimaan negara di sektor pajak dan terjadi penurunan daya beli? Adakah pemerintah telah mengkreasi opini untuk menutupi kegagalannya? Logika normalnya jika pendapatan per kapita meningkat, justru harusnya daya beli naik bukan malah menurun dan penerimaan sektor pajak pasti mudah dicapai karena sektor konsumsi akan tinggi sebagai akibat peningkatan pendapatan.
Lelucon itupun menjadi tidak lucu sama sekali ketika pendapatan per kapita naik namun angka kemiskinan justru meningkat ditemani penurunan daya beli dan peningkatan pengangguran. Saya pikir pemerintah sedang tidak jujur dengan keadaan negara sesungguhnya.
Ironi paling menyedihkan justru mencuat ke permukaan untuk dikritisi. Pembangunan infrastruktur yang diklaim terbesar oleh Pemerintah Jokowi ternyata tidak mampu meningkatan kesejahteraan rakyat. Klaim infrastruktur besar-besaran ternyata hanya meningkatkan angka kemiskinan dan penurunan daya beli. Ditambah kisah sedih penumpukan hutang besar-besaran yang terus menggunung. Jokowi berhasil mencatatkan dirinya sebagai presiden yang berhutang paling ugal-ugalan. Hutangnya dalam 3 tahun mengalahkan besar hutang seluruh Mantan Presiden RI yang pernah bertugas.
Paradoks yang juga terjadi adalah peningkatan investasi (hutang) dari tahun sebelumnya tapi justru terjadi penurunan serapan jumlah tenaga kerja. Mestinya jika investasi meningkat, maka serapan tenaga kerja harusnya naik bukan malah turun. Ada apa yang terjadi? Mungkinkah ini akibat serbuan tenaga kerja asing yang masuk besar-besaran?
Semua data singkat di atas ternyata terjadi adalah sebagai akibat dari kebijakan Pemerintah Indonesia yang sedang mebawa bangsa ini menuju negara berbayar. Tidak ada satu pun infrastruktur yang bisa digunakan oleh rakyat dengan gratis. Semua berbayar. Jalan yang seharusnya menjadi kewajiban negara dialihkan ke asing atau swasta menjadi jalan berbayar alias jalan tol. Bahkan sebentar lagi jika kebijakan menswastanisasi bandara, pelabuhan jadi dilaksanakan maka sudah pasti akan berbayar.
Kewajiban negara untuk menyediakan infrastruktur bagi rakyat beralih menjadi kewajiban yang diswastanisasikan, sehingga negara menempatkan rakyat sebagai objek yang diekploitasi memperkaya kaum kapitalis atau pemodal. Sementara itu subsidi untuk rakyat terus dicabuti untuk meyakinkan kaum kapitalis bahwa negara punya kemampuan untuk membayar meski rakyat menjadi objek penderita untuk kebijakan itu.
Bukankah seharusnya negara wajib mennyediakan infrastruktur yang berkualitas untuk rakyat? Jalan berbayar semestinya adalah pilihan yang tidak wajib. Negara harus lebih dulu menyiapkan infrastruktur yang baik untuk rakyat, setelah itu boleh disediakan pilihan seperti jalan tol, karena itu memang alternatif kedua.
Dengan demikian, tidak heran kemiskinan terus meningkat, ekonomi menurun, daya beli terpukul, pengangguran terus bertambah, dan itu terjadi di sela klaim infrastruktur besar-besaran oleh pemerintah. Lantas untuk apa hutang dan infrastruktur itu jika hanya menghasilkan pertambahan jumlah orang miskin dan pengangguran?
Mari jujurlah, pemerintah, sebenarnya apa yang kalian inginkan? Hanya sebuah citra? Apakah kalian bekerja hanya untuk citra pribadi dan bukan untuk kepentingan rakyat? Jika demikian, ada baiknya jika pemerintah berhenti bekerja, karena setiap bekerja hanya menghasilkan hutang dan kemiskinan yang bertambah.
Dan ironi paling besar adalah, negara yang harusnya memelihara dan melindungi rakyat justru dibawa menuju negara berbayar yang menyimpang dari cita-cita kemerdekaan bangsa.
Haruskah ini diteruskan, Wahai Yang Mulia?
Jakarta, 18 Desember 2017
*)Pimpinan Rumah Amanah Rakyat