Oleh: Hendra Kurniawan*)
Barangkali pasca-reformasi, periode sekarang adalah titik nadir bagi pencitraan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Meruyak persepsi negatif publik terhadap Polri yang dinisbatkan sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Alih-alih melaksanakan mandat, Polri seolah-olah berperan sebagai alat bagi penguasa. Polisi terkesan mencari-cari kesalahan para aktivis oposisi guna menghentikan sepak-terjang mereka.
Sebagai warga negara yang baik, kita tentu menginginkan rumor ini cuma rumor, cuma desas-desus yang tak perlu diambil pusing. Tetapi, Indonesia tengah memasuki era keterbukaan, transparasi dan masyarakat digital. Informasi tidak bisa dikontrol oleh siapapun. Tak ada yang bisa mencegah tersebarnya berita yang cepat ke segala penjuru. Jangankan keriuhan yang kasat mata, bahkan dedaunan jatuh di markas TNI, Polri dan BIN bisa menimbulkan bisik-bisik.
Sebagai insan yang diberi kemampuan untuk mengelola informasi, kita bisa menilai rentetan kasus hukum yang menimpa aktivis-aktivis oposisi pemerintah, baik dari kalangan Islam maupun nasionalis-demokrasi. Publik yang cerdas pun bertanya: bagaimana mungkin puluhan aktivis oposisi itu bisa serentak tersangkut kasus hukum dalam jangka setahun saja kalau bukan karena ada “apa-apa-nya”?
Era SBY
Jika rumor ini terbukti benar, salah satu pemimpin bangsa yang paling bersedih, barangkali adalah, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bagaimana tidak? SBY adalah pelaku utama reformasi TNI dan Polri. Inti dari reformasi TNI dan Polri adalah berhentinya kedua institusi itu dari politik praktis atau politik kekuasaan. Berhenti dari politik yang partisan. Dan juga berhenti dari ketidaknetralannya dalam pemilu, dan otomatis Pilkada.
Kita sama-sama paham, selama sepuluh tahun menjabat Presiden RI ke-6, SBY selalu konsisten dan konsekuen dengan gerakan ini. Sewaktu SBY menjadi orang nomor satu di Indonesia, media massa ramai dengan instrusikan kepada TNI, Polri dan BIN untuk netral dan tidak ikut-ikutan dalam politik kekuasaan. Pileg adalah urusan parpol dengan rakyat. Pilkada dan Pilpres adalah urusan paslon dengan rakyat yang akan memilihnya. TNI, Polri dan BIN tidak perlu ikut campur termasuk dalam upaya melanggengkan kekuasaan seseorang atau sebuah parpol.
Dan SBY konsisten dan konsekuen dengan gerakan ini. Terbukti, pada Pelimu 2014 silam, dan pemilu 2009 tentunya, TNI, Polri dan BIN tidak pernah terlibat dalam urusan politik SBY dan Partai Demokrat. Mau seperti apapun SBY dan Partai Demokrat menjadi bulan-bulanan lawan-lawan politiknya, SBY tetap mendorong TNI, Polri dan BIN untuk tidak turut campur—tetap pada posisi yang netral.
Padahal kita sama-sama tahu, sekiranya SBY mengintruksikan TNI dan Polri turut campur, bukan tak mungkin Partai Demokrat akan berada pada posisi tiga besar pada Pileg 2014. Bagaimanapun, alat negara yang memiliki personil hingga ke tingkat kecamatan, TNI dan Polri memiliki peran strategis jika digoda untuk masuk ke ranah politik kekuasaan. Kita tentu bisa berkaca pada sepak-terjang Polri di era Orde Baru yang menimbulkan traumatis publik tersebut.
Tetapi toh, SBY tidak melakukannya. SBY membiarkan pertarungan politik praktis diselesaikan secara politik pratis; dan TNI dan Polri berada di luar ranah itu.
Sehingga, sekiranya sekarang Polri sampai terjerumus dalam politik kekuasaan, apalagi sampai menjadi alat untuk mengebuk lawan-lawan politik penguasa, ini jelas kemunduran besar bagi reformasi kepolisian. Apa jadinya jika penegak hukum justru menelikung hukum akibat “pesanan” pihak-pihak tertentu?
Penuntasan Kasus Penangkapan Aktivis
Para petinggi Polri memang telah membantah rumor kriminalisasi aktivis, tetapi bantahan semata tidaklah cukup. Jika memang tindakan penangkapan para aktivis oposisi itu murni perkara hukum maka Polri harus mampu menunjukkan bahwa mereka benar-benar bekerja untuk menegakkan hukum secara profesional.
Dan salah-satunya caranya adalah dengan mempercepat penanganan kasus hukum bagi para aktivis oposisi itu. Jangan sampai polri terjebak dengan konstelasi politik kekuasaan sehingga “keasyikan” mencari-cari kasus baru dan mengadakan rentetan jumpa pers yang malah memicu kehebohan baru di masyarakat. Biar pengadilan yang akan memutus apa-apa yang kabur itu menjadi terang.
Intinya, Polri harus mampu menunjukkan bahwa mereka tidak dapat diintervensi, digoda dan apalagi dipengaruhi dengan berbagai hal untuk membelokkan proses hukum. Sepanjang mereka tidak mampu menunjukkan sikap demikian, maka masyarakat akan sulit percaya kinerja dan independensi Polri.
*)Warganet Bermukim di Bandung
(politiktoday)