Oleh: Willem Wandik S.Sos*)

Publik Indonesia begitu mengenal sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI yang berkuasa selama 10 tahun.

Ia sosok jenderal yang berada di balik reformasi ABRI menjadi TNI profesional; terpisah dari politik kekuasaan.

Pembawaannya yang begitu tenang, dan juga tetap mengedepankan “kesantunan” dalam menghadapi kritik dan masalah, tidak jarang membuat SBY menjadi bulan-bulanan para pengkritik, bahkan dituding sebagai jenderal yang tidak memiliki nyali.

Padahal, kilas balik perjalanan kekuasaan SBY selama 10 tahun, membuktikan hanya “pembawaan yang tenang” itulah, rakyat Indonesia lebih tepatnya “kaum pergerakan, buruh, dan civil society di tanah air” dapat menikmati kebebasan berekspresi, kemerdekaan berpolitik, dan bahkan “penegak hukum” diharamkan untuk menodai nilai nilai reformasi.

Presiden SBY mengorbankan “ego kekuasaan” yang ia miliki sebagai presiden, dan menempatkan kekuasaan presiden tunduk dan patuh pada nilai nilai hukum, demokrasi, dan tujuan lahirnya reformasi… Sekalipun dirinya, harus babak belur difitnah dan dijatuhkan kewibawaannya sebagai pemimpin, namun, Presiden SBY mengedepankan “legacy” bagi masa depan bangsa dan negara yang lebih demokratis dan bermartabat.

Kesabaran SBY itulah, yang mendatangkan “keangkuhan dan kesombongan” KSP Moeldoko untuk melakukan perbuatan yang sangat “menjijikkan”. Moeldoko memasuki rumah orang lain dan berusaha mengusir tuan rumah yang memiliki hak atas rumahnya sendiri, berbekal dukungan “kekuasaan”.

Dulu, Presiden ke-6 SBY juga memegang penuh kekuasaan, namun ia tidak mau tergiur dengan sikap otoriter dan abuse of power.

SBY memahami, sejarah telah memberikan banyak pelajaran kepada generasi Indonesia di masa-masa kekuasaan presiden pendahulu. Sekuat apa pun seorang penguasa, jika ia berbuat zalim maka rakyat akan menggulingkannya.

Kesabaran SBY membuat KSP Moeldoko semakin “berhati dingin”. Tanpa memiliki rasa malu, ia merealisasikan KLB ilegal dan inkonstitusional yang entah bagaimana bisa terjadi. Meski KLB itu bahkan tidak mendapatkan dukungan dari struktur sah Partai Demokrat yang berjenjang dari tingkat DPC, DPD, hingga pengurus DPP berlegitimasi

Dengan kekuatan finansial dan dukungan kepadanya selaku Kepala Staf Presiden, pada faktanya KLB ilegal Moeldoko dipaksakan terjadi dan menunjuk dirinya sendiri sebagai ketua umum.

Hasil ini tentunya tidak mengejutkan kita semua, sebab, sejak awal gerakan KSP Moeldoko telah tercium dan bocor ke publik. Bahkan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat SBY juga telah berbicara ke publik terkait ambisi KSP Moeldoko mengambil alih kepemimpinan Ketum Partai Demokrat.

Serangan nyata KLB ilegal versi KSP Moeldoko Cs terhadap kepemimpinan sah Partai Demokrat, serupa dengan serangan Tentara Kekaisaran Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Serangan itulah yang memicu kemarahan Amerika Serikat hingga secara resmi memasuki Perang Dunia ke-2.

Sesaat sebelum KLB terselenggara, Ketua MTPD SBY dan Ketum PD AHY masih berusaha menahan diri, berusaha mengingatkan kepada penguasa. Moeldoko yang berstatus sebagai Kepala Staf Presiden tidak bisa dilepaskan untuk terlalu jauh ikut campur dalam urusan internal Partai Demokrat.

Namun, pasca terselenggaranya KLB Ilegal, maka kesabaran itu telah habis. Saatnya “Total War”. SBY dan AHY harus memimpin para kader memasuki zona perang terbuka.

Perang dengan siapa? Tentunya perang ini dilakukan terhadap siapa pun, yang berada di balik terselenggaranya KLB Ilegal di Sibolangit. Sebelum menjadi semakin “terlambat”.

Bagaimanapun Menkumham yang menentukan sah atau tidaknya sebuah partai politik adalah kader PDI-P. Ia harus diingatkan untuk tidak mensahkan pengurus partai dari KLB Demokrat Ilegal tersebut sehingga tidak pernah ada dualisme.

Partai Demokrat dan juga Fraksi Partai Demokrat (FPD) yang sedang bertugas di Parlemen Senayan RI, harus menyiapkan panggung peperangan. Menjadikan arena Parlemen Senayan sebagai “panggung oposisi penuh” terhadap kekuasaan pemerintah yang membiarkan “Pejabat KSP merusak ketenteraman Partai Demokrat”.

Layaknya serangan balik Amerika Serikat terhadap hancurnya Armada Pearl Harbour, maka Fraksi Partai Demokrat di Senayan RI, harus mempertegas sikap “oposisinya” hingga Pemilu 2024.

Kekuatan oposisi di kalangan rakyat, pasca-Pemilu 2019 tidaklah mengecil. Mereka selama ini kehilangan “patron perjuangan” semenjak Parlemen disuntik mati menjadi lembaga “pseudo kekuasaan kepresidenan”.

Sekalipun, perlawanan itu, kini, hanya bisa dilakukan dengan “satu suara di parlemen RI’ maka pilihan perjuangan itu lebih mulia, dibandingkan Fraksi PD di Senayan, diam seribu bahasa. Membiarkan Rumah Pergerakan Politiknya, dirusak oleh tangan-tangan “invisible” dari kekuasaan.

Saatnya, FPD DPR RI menjalin kekuatan oposisi penuh di Parlemen RI. Wa Wa

*)Anggota Fraksi FPD DPR RI; Waketum DPP PD Demokrat Berlegitimasi; Loyalis SBY dan Ketum AHY.