Oleh: Farkhan Evendi*)

Kejadian saat ini akan menjadi catatan hostoris yang akan menjadi pelajaran bagi generasi rakyat Indonesia di masa yang akan datang. Khususnya adalah penegakan demokrasi yang masih menjadi persoalan yang hingga kini belum dapat diselesaikan dengan cara yang solutif.

Berkaca dari sejarah, demokrasi di Indonesia sudah terbentuk sejak lama. Kita mulai saja dari pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang berhasil merumuskan fondasi sistem ketatanegaraan. Mereka, sebanyak 74 orang, terdiri dari suku, ras, golongan, agama serta profesi yang berbeda-beda.

Mereka menghasilkan Pancasila dan UUD1945 yang merupakan produk idealitas dasar negara dan konstitusi untuk berjalan dan tegaknya suatu negara bagi kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.

Kita tahu, kebutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara demikian multidimensional. Namun, sesuai dengan perjalanan capaian kemampuan dan kematangan dalam berpikir, spiritualitas dan tatapan terhadap apa yang terjadi maka semua harus disikapi dengan cara yang baik.

Dalam kontek politik, kita sering menyaksikan panorama konfliktual antar elit politik ataupun lapisan grass root. Setidaknya, panorama konfliktualitas itu menampak jelas saat berlangsung kontestasi politik seperti pada saat pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan presiden-wakil presiden (pilpres) bahkan pemilihan legislatif (pileg).

Namun, setelah kontestasi politik itu selesai, semua nampak berjalan baik dan mulus tanpa ada hal yang menjadikan sebuah hubungan yang tidak harmonis bagi keberlangsungan segala hal yang terjadi. Sehingga, keadaan seperti kembali berjalan normal dan biasa-biasa saja.

Seiring dengan berjalannya waktu dan kemajuan teknologi, kini semua hal seolah menjadi ranah politik. Segala bentuk tindakan dipolitisir, dikait-kaitkan dengan politik. Dan parahnya, seolah membelenggu keberlangsungan demokrasi di negeri ini. Ada yang panas, wajah gerah, padahal di ruang ber- AC, ya itulah elite negeri yang menjadikan demokrasi sebagai beban bagi hidupnya yang ingin tak merasa dibebani dengan amanah yang dipercayakan padanya.

Terlebih sekarang, media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram dan lainnya diawasi sedemikian rupa sehingga kebebasan demokrasi semakin terbelenggu dan terpasung.

Seperti kejadian viral mural yang terjadi baru-baru ini, sehingga pelakunya harus berurusan dengan pihak aparat. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, mereka hanya menyuarakan aspirasi, mereka tidak menggunakan senjata perang bahkan mereka tak punya senjata dalam mengkritik. Bisa dibayangkan, melewati pagi yang hangat dengan keluarga bisa berganti siang yang penuh kegetiran di ruang interograsi.

Padahal kritik mereka adalah penentu kemajuan dalam demokrasi, kritik yang mereka lakukan juga melalui wadah bentuk karya seni, bukan megaphone atau tak semua dengan memakai lempar telur busuk dan semacamnya ke pemerintah.

Perilaku merendahkan kualitas demokrasi kadang menyerupai pria buas dalam menghadapi kepolosan anak kecil yang menggigitnya lalu memberi balasan di luar batas.

Perilaku merendahkan demokrasi kadang lupa memakai senter akal sehat dari gelapnya kemelut publik yang pekat dan berserak yang di sana ada suara tak enak didengar.

Kenapa takut dengan suara, kenapa takut dengan coretan dinding, kenapa takut dengan gelombang dari mereka yang layu oleh hempasan tangan arogan para pemimpin?

Kenapa surat Illahi bahwa suara-Nya adalah suara rakyat yang dipimpinnya tak didengar, kenapa telepon dari cukong lebih suka didengar, kenapa takut mengendarai demokrasi yang dari demokrasilah kita lahir?

Kenapa takut dengan kebisingan, apa kritik membuatmu terluka dan berdarah seperti terkena peluru?
Apakah karena takut wibawamu jatuh, apa misi berkuasamu adalah agar nampak gagah dan bukan rakyat menjadi sumber utama misimu?

Apakah kritik mengurangi kekayaanmu, apakah kritik membuatmu tak bisa berdiri lalu tersungkur dalam kemiskinan dan terasingkan?

Apakah kritik serupa gigit nyamuk lalu harus disemprot dengan percikan tirani?

Kenapa tak percaya bahwa kritik adalah wanita dewasa yang nampak bahagia dengan semua sanjung dan puji lalu tetap mekar tanpa ada pembelaan para Buzzer?

Kenapa buzzer menjadi tuhanmu padahal bila kau benar membela rakyat maka seluruh rakyat akan menjadi buzzermu tanpa pamrih?

Kenapa tak percaya pada demokrasi sedang piring dan gelas makanmu dari uang rakyat yang kau ambil kepercayaannya melalui demokrasi?

Kenapa takut sama mereka yang melawan sekedarnya sedang engkau bisa melakukan segalanya kalaupun mereka bisa melakukan makar?

Kenapa takut pada vaksin akal sehat, engkau geram ketika obat vitamin langka di apotik tapi engkau tak geram tatkala kritik yang menjadi vitamin demokrasi malah langka karena dibungkam?

Marilah pemimpinku, kami ingin bicara denganmu dan menjagamu dari lingkaran yang ingin menikmati koyaknya bendera merah putih.

Kini, menjadi pertanyaan mendasar, apakah bangsa ini memang belum dewasa menghadapi realitas perbedaan politik sehingga mengabaikan nilai-nilai demokrasi?

*) Ketua Umum DPN Bintang Muda Indonesia