Oleh: Willem Wandik S.Sos*)

Kudeta Deli Serdang itu adalah kudeta yang keblinger.

Jauh hari ketika rencana kudeta terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diinisiasi kelompok Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko cs, dengan memanfaatkan segelintir “mantan orang dalam” seperti Jhonni Allen Marbun; Marzuki Alie; dan eks anggota partai M Nazaruddin, justru di pertengahan jalan, gerakan tersebut bocor dengan sendirinya. Hal ini disebabkan laporan Ketua-Ketua DPD dan DPC daerah, yang juga Anggota DPRD aktif di sejumlah provinsi dan kabupaten/kota. Mereka seluruhnya “loyal” terhadap garis komando AHY dan SBY.

Sebagai respons atas “bocoran” gerakan kudeta yang diinformasikan pengurus partai di daerah tersebut, Ketum AHY secara sigap mengambil langkah-langkah pencegahan sejak 1 Februari 2020.

Upaya kudeta itu kepalang basah, dan terekspos ke publik “melalui konferensi pers Ketum AHY secara resmi di hadapan media dan publik nasional (serta langkah-langkah Ketum AHY yang menyurati Presiden, sebagai bentuk penghormatan AHY kepada Presiden, yang meminta klarifikasi atas upaya anak buah Presiden). “Abdi Dalem Istana”, dilaporkan terlibat dalam upaya kudeta di Partai Demokrat.

Upaya lugas dari Ketum AHY itu, sontak mengejutkan pihak Moeldoko cs, tapi dengan gestur yang agak malu-malu (malu tapi mau), ia justru menanggapi konferensi pers resmi Ketum AHY (selaku ketua umum yang sah di DPP PD), dengan menyampaikan statement klarifikasi ke media yang menolak keterlibatan dirinya dalam upaya kudeta. Pada akhirnya, semua ucapan itu hanyalah “kebohongan” yang memalukan.

Dorongan syahwat dan ambisi yang begitu besar untuk menjadi orang nomor satu di partai (menganeksasi jabatan Ketum Demokrat secara paksa, tanpa perlu bersusah payah membentuk partai baru), dan juga kesempatan kudeta di hari ini, agaknya tidak mungkin bisa dilewatkan. Apalagi punya “aji mumpung” masih mendapatkan “backing” dari nama besar dan pengaruh sebagai orang dekat di lingkaran istana (Abdi Dalem Istana). Karenanya KSP Moeldoko confirm untuk tetap melanjutkan rencana kudetanya. Ia seperti meyakini bahwa pihak istana dan kolega politik di pemerintah, termasuk otoritas yang memegang kendali “pengesahan parpol sebagai badan hukum” di Kemenkum & HAM, dapat mereka kendalikan.

Sepertinya sebagai pejabat teras di lingkaran Istana Kepresidenan, KSP Moeldoko merasa kekuatan embel embel “Abdi Dalem Istana” dapat digunakan untuk menekan dan “menakut nakuti” para kader Demokrat (di struktural DPD, DPC, hingga PAC di seluruh Indonesia) untuk membelot menyingkirkan Ketum AHY. Mereka menilai AHY akan mudah untuk disingkirkan, karena pengaruh kekuasaan hari ini sangat kuat mengendalikan simpul simpul kekuasaan politik di Jakarta (belajar dari preseden kisruh Golkar dan PPP dimasa lalu).

Selain itu, KSP Moeldoko cs, dan kompatriotnya seperti Jhony Alen, Marzuki Ali dan Nazaruddin, seolah menduga bahwa Ketum AHY yang masih berusia muda, tidak akan sanggup menghadapi rencana kudeta yang mereka siapkan. Pengaruh Istana “secara defacto” tentu dapat melemahkan “daya juang dan loyalitas” para Ketua Ketua DPD dan DPC, di seluruh Indonesia sehingga dapat menghancurkan daya juang Ketum AHY.

Namun mereka keliru. Faktanya, loyalitas Ketua-Ketua DPD dan DPC diseluruh Indonesia tidak bisa dibeli oleh tawaran tawaran “pragmatisme”, baik melalui bujuk rayu maupun janji-janji sejumlah uang yang cukup besar, serta jaminan nama penting di lingkaran istana yang di komandoi oleh KSP Moeldoko.

Pada faktanya juga, Ketum AHY masih berdiri kokoh dan tidak tegoyahkan.

Justru kudeta “Abdi Dalem Istana” yang keblinger itu, secara perlahan berubah menjadi “dagelan” dan bagai cerita fiksi di negeri dongeng.

Seperti kisah “hulu balang istana, mendeklarasikan dirinya menjadi raja palsu yang ditolak oleh rakyat karena tidak mengenal asal usulnya”.

Wa Wa

*)Wakil Ketua Umum Partai Demokrat; Anggota Fraksi PD DPR-RI