Elfira Sylviani Kaunang (dokpri)

Oleh: Elfira Sylviani Kaunang*)

Pasca debat, tiba-tiba ramai pembicaraan terkait lahan. Sebegitu luasnya Indonesia, ternyata banyak lahan yang tidak mampu dikelola perseorangan warga negara hingga banyak yang dimanfaatkan oleh pengusaha-pengusaha maupun perusahaan-perusahaan besar.

Melayangkan pandangan pada Nusa Tenggara Timur (NTT), banyak lahan kering yang dibiarkan karena krisis air. Tercatat sekitar 1,5 juta hektare lahan pertanian yang tersebar di hampir 22 kabupaten di NTT.

Karena musim kering yang panjang di NTT, pengolahan lahan tersebut hanya dimanfaatkan pada musim hujan yang tercatat kurang dari 3 bulan. Sisanya, 9 bulan lebih, banyak dibiarkan kering dan tidak diolah.

Di sinilah sebenarnya peran Pemerintah Daerah (Pemda) diharapkan dapat hadir untuk memberikan rekayasa teknologi sehingga lahan dapat diairi juga pada saat musim kemarau yang panjang.

Lahan tidur (idle) yang cukup luas di NTT dengan alasan kekurangan air, sebenarnya dapat mengadopsi teknologi pertanian yang dilakukan di Israel.

Pengolahan (land clearing) memang mahal. Di situlah harusnya porsi besar Pemda NTT untuk melakukan land clearing besar-besaran. Lalu kapling lahannya untuk dikelola oleh masyarakat dan diusahakan sesuai rencana pemerintah, baik dari teknologi, komoditi atau jenis tanamannya serta pasarnya. Pemerintah menyiapkan sarana prasarana untuk perusahaan pertanian tersebut.

Sebagai apresiasi bagi petani yang tekun, yang dalam 6 tahun sukses, boleh memiliki kapling lahan usaha tersebut dengan sertifikat dan harus tergabung dalam koperasi perusahaan pertanian. Bagi petani yang tidak serius dan kurang betminat sehingga tidak berhasil, maka lahannya akan ditarik pemerintah untuk digantikan oleh petani lain.

Dengan demikian akan terbangun suatu perusahaan pertanian dalam bentuk koperasi dengan skala usaha yang ekonomis dan kompetitif, sehingga petani punya posisi tawar (bargaining position) yang cukup kuat dalam pemasaran produknya. Di sisi lain, skala usaha yg memadai, akan memungkinkan prosesing dilakukan di dalam wilayah sehingga nilai tambah dapat dinikmati petani dan tenaga kerja lokal.

Saran juga bagi Pemda NTT untuk mulai membuat blue print NTT yang memetakan potensi masing-masing kabupaten atau wilayah yang akan dijadikan dasar kebijakan dalam pemanfaatan lahan dan juga sarana dan prasarana yang tepat guna, efisien dan inovatif. Sehingga pembangunan ke depan menjadi pembangunan berkesinambungan di NTT untuk menyejahterakan masyarakat NTT secara luas dan merata.

Tak perlu besar-besaran soal pertanian cukup mengadopsi kearifan lokal yang sudah ada berdasarkan wilayah masing-masing. Flores dengan tanaman keras seperti kopi dan kakao yang sudah mendunia perlu peremajaan lahan dan tanaman, Sumba dengan pertenakan sapi, Timor dengan berbagai macam komoditi.
Riset nenek moyang beratus-ratus tahun ini tidak perlu diubah drastis, karena merekalah yang lebih peka dan hingga saat ini hal tersebut masih terus berlangsung di NTT. Terbukti jenis tanaman dan ternak tersebut yang punya daya tahan dan cocok dengan lingkungan NTT hingga saat ini. Kemiri, kenari, lontar, kelor dan cendana yang dulunya adalah favorit dan yang terbaik khas NTT dapat ditambahkan dana R&D untuk pengembangannya lebih jauh. Dan dengan teknologi irigasi dapat dikembangkan padi serta jenis jagung, seperti jagung pulut dan jagung manis yang sudah sangat dikenal di NTT selama ini.

Tulisan akan dilanjutkan dengan data lebih lengkap.

*)Calon Anggota DPR RI dari Partai Demokrat di Dapil NTT II