Banda Aceh: Dunia pendidikan dihebohkan kebijakan Pemerintah terkait kebijakan akan diterapkannya lima hari sekolah dalam seminggu dengan waktu belajar delapan jam sehari. Berbagai elemen masyarakat khususnya ormas Islam banyak yang menyatakan penolakannya.
Mereka khawatir akan terganggunya jam kegiatan pendidikan keagamaan informal yang diselenggarakan oleh madrasah diniyah (madin) pada sore hari dan malam hari.
Ketua Komisi X, Teuku Riefky Harsya membenarkan pada saat rapat kerja (raker) pada 13 Juni 2017, Mendikbud RI Muhadjir Effendi menyatakan ada kesalahpahaman sebagian publik terhadap rencana kebijakan tersebut. Mendikbud juga menjamin kebijakan tersebut tidak membuat madin gulung tikar.
“Walaupun demikian, kami telah mengingatkan Mendikbud untuk mengkaji kembali kebijakan tersebut serta meminta Pemerintah terlebih dahulu untuk berkoordinasi, baik dengan dengan ormas Islam seperti, MUI, NU dan Muhammadiyah, maupun dengan para kepala daerah,” katanya, Minggu (18/6/2017) dini hari.
Saat ini ada puluhan ribu madrasah diniyah dengan puluhan juta muridnya yang belajar dari pukul 13.00-17.00 WIB setiap harinya. Madin juga mempunyai payung hukum yang telah diatur oleh Kemenag RI.
Wasekjen DPP Partai Demokrat ini, juga menyatakan bahwa tujuan kebijakan pemerintah tersebut untuk membangun karakter dan wawasan kebinekaan.
“Sebetulnya pemerintah tinggal melanjutkan saja kebijakan Pemerintahan SBY tentang Kurikulum 2013 (K-13), gitu aja kok repot,” tambahnya.
Dia menjelaskan untuk menghadapi era globalisasi, kebijakan K-13 telah mengamanatkan seluruh mata pelajaran untuk membentuk murid agar mempunyai kompetensi sikap, kompetensi ketrampilan dan kompetensi pengetahuan. Bila dikaitkan wawasan kebangsaan dan kebhinekaan, dalam K-13 mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) telah diperluas menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN).
“Di mana yang tadinya pendekatan hapalan telah diubah menjadi pendekatan kasus sehingga siswa dapat memahami dari pendekatan Pancasila, UUD, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI,” terangnya.
Menurutnya Peraturan Mendikbud RI No.23 tentang Hari Sekolah telah ditandangani oleh Mendikbud pada 12 Juni lalu. Walau demikian, saat rapat kerja Komisi X DPR RI tanggal 13 Juni yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X Ferdiansyah, Mendikbud hanya menjelaskan secara lisan tentang rencana kebijakan tersebut dan menyampaikan Permen tersebut belum dijalankan karena masih menunggu tahapan proses dengan Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI.
Banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat yang disampaikan oleh para anggota dewan dari komisi X saat itu. Walhasil, terkait dengan lima hari belajar per minggu, rapat kerja Komisi X dan Mendikbud menyepakati kesimpulan raker yang berbunyi sebagai berikut:
Terhadap rencana wacana Kemendikbud RI akan segera memberlakukan kebijakan Program Penguatan Karakter Lima Hari belajar per minggu pada tahun 2017/2018, Komisi X DPR RI meminta Kemendikbud RI untuk;
1). Mengkaji kebijakan tersebut secara komprehensif (mendalam),
2). Melakukan waktu yang cukup dan melakukan sosialisasi,
3). Memperhatikan dampak sosiologis dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat.
4).Tidak memberatkan masyarakat/ orangtua/ anak didik, tidak menambah anggaran, dan adanya target yang jelas dalam setiap tahapannya.
5). Sebagai pilihan dan tidak wajib dilaksanankan seluruh sekolah.
(goaceh/dik)