Oleh: Ferdinand Hutahaean*)
Kemarin dalam sebuah acara bersama Kamar Dagang dan Industri atau KADIN Indonesia, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo kembali melontarkan pernyataan-pernyataan yang mengandung makna dan membawa pesan kegelisahan dan mungkin bernilai sebuah kemarahan dari Presiden. Sebuah ketidaksenangan bila tak layak disebut kemarahan, namun yang pasti Presiden tampak tidak suka dan tidak senang dengan berita tentang penurunan daya beli masyarakat.
Yang kedua, pernyataan Presiden tentang teroris justru dari kita. Presiden seolah menjustifikasi dan memberikan stigma bahwa Bangsa ini adalah Bangsa penghasil teroris. Hanya untuk membenarkan visa bebas kebijakan politiknya, Presiden tanpa rasa khawatir membenarkan bangsa ini bangsa teroris dengan menyebut Justru teroris kan dari kita. Menyedihkan, karena pernyataan presiden ini akan mengamini tudingan asing yang menuduh Indonesia negara radikal dan penghasil teroris.
Unik memang meski cenderung asal bicara, pernyataan itu dikeluarkan seorang Presiden. Meski kedua pernyataan itu menarik dibahas, namun kali ini saya memilih membahas kata Lawan Politik yang dituduhkan Presiden sebagai penyebab munculnya berita tentang penurunan daya beli masyarakat. Presiden tampaknya merasa bahwa penurunan daya beli masyarakat itu hanya isu yang digoreng, bukan fakta dan bukan realita di tengah publik.
Inilah keprihatinan paling dalam ketika seorang presiden ternyata tidak bisa merasa dan hanya merasa bisa. Orang Jawa bilang, harus biso rumongso, ojo rumongso biso. Sebagai seorang Jawa, tanpa bermaksud rasis, mestinya petuah-petuah leluhur seperti itu harus diingat. Agar tidak selalu merasa bisa tapi harus lebih bisa merasa.
Pertanyaan yang kemudian muncul dari sini adalah, Siapa Lawan Politik yang dimaksud oleh Presiden Jokowi? Mengapa Presiden tidak juga bisa merasakan penurunan daya beli masyarakat? Mengapa Presiden tidak juga bisa merasakan beban bertambah berat yang dirasakan rakyat?* Mestinya semua ini dengan mudah dirasakan Presiden karena rajin blusukan dan bagi-bagi sepeda ke rakyat. Tapi mengapa Presiden tak bisa merasakan? Ini aneh..!! Tampaknya Presiden lebih banyak dapat bisikan dari Politisi tentang keadaan ekonomi daripada masukan dari ekonom yang mandiri. Jika itu benar, menjadi wajar ketika Presiden menuding Lawan Politik sebagai penebar berita tentang penurunan daya beli masyarakat.
Bisikan politisi itu jugalah yang mungkin membuat Presiden Jokowi lupa dan tidak percaya bahwa Badan Pusat Statistik Negara pernah merilis data hasil survei BPS tentang penurunan daya beli masyarakat. Apakah BPS yang lembaga negara juga lawan politik Presiden Jokowi? Selain itu kalau tidak salah Menteri Keuangan pun pernah mengakui itu. Jadi lantas lawan politik yang dimaksud oleh Jokowi siapa?
Sedikit mundur ke belakang ke periode September, berita tentang penurunan daya beli ini memang menyeruak tinggi di tengah publik. Penyebabnya adalah harga naik tapi penghasilan tidak meningkat. Pencabutan subsidi listrik tentu menambah pos pengeluaran rakyat yang berdampak pada penurunan daya beli. Ini fakta-fakta kecil dan sedikit saja sebagai penyebab penurunan daya beli masyarakat. Belum lagi setoran pajak yang terus membebani rakyat dan naiknya retribusi serta pungutan lainnya seprti jalan tarif jalan tol, ongkos angkutan dan lain-lain. Intinya, pengeluaran bertambah besar tapi pendapatan rakyat tidak bertambah karena ekonomi kita memang sedang menurun.
Awal September lalu, pada saat perayaan hari Ulang Tahun Partai Demokrat ke 16, jelas perintah Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan agar seluruh kader membantu rakyat untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat untuk penuhi kebutuhan pokok. Dua hal ini dari Lima instruksi Susilo Bambang Yudhoyono kepada seluruh kader Partai Demokrat. Pertanyaannya, mengapa Partai Demokrat memerintahkan kadernya untuk membantu rakyat menciptakan lapangan kerja dan membantu rakyat meningkatkan daya beli? Pasti ada alasannya. Karena memang fakta realita di tengah publik dua hal ini sedang sulit. Sulit mencari kerja dan sulit mencari pemasukan.
Instruksi tersebut digulirkan dengan cepat dan ditanggapi dengan cepat oleh kader Partai Demokrat dengan melakukan kegiatan bersama rakyat dengan gerakan ekonomi kerakyatan menyumbang rakyat budi daya ikan lele dan lain sebagainya secara nasional serta menanam kebutuhan pokok sebagai upaya menjaga ketahanan pangan. Semua ini difasilitasi oleh kader Demokrat untuk rakyat. Semua ini dilakukan dengan harapan agar mampu menciptakan lapangan kerja dan mampu meningkatkan daya beli masyarakat yang menurun.
Pertanyaannya, apakah Presiden menuding Demokrat sebagai Lawan Politik? Karena ada kaitanya, penurunan daya beli itu nyata dan disampaikan saat HUT Demokrat.
Selain Demokrat, kami juga mencermati cuitan akun twitter Partai Gerindra yang juga mengangkat tentang penurunan daya beli masyarakat ini. Apakah Presiden juga menuding Gerindra sebagai Lawan Politik?
Kembali kepada kalimat dua kata Lawan Politik yang dituding oleh Presiden Jokowi, tentu hanya Presiden yang tahu siapa yang dimaksud. Namun pernyataan itu sangat disayangkan karena justru menunjukkan Presiden yang belum mampu merangkul semua kekuatan nasional untuk bersama-sama, Presiden menunjukkan bahwa ia memiliki lawan, Presiden menunjukkan kegelisahannya yang tak kunjung mampu menyelesaikan masalah bangsa dengan menuding pihak lain sebagai penyebab kegagalannya.
Selamat bekerja, Pak Presiden. Masih ada 2 tahun sebelum Oktober 2019, berakhir untuk masa jabatan Bapak. Mari kerja bersama untuk bangsa…! Seluruh teman politik maupun lawan politik pasti mencintai bangsa ini dan ingin bangsa ini maju.
Justru karena kita semua ingin bangsa ini majulah makanya ada kritik kepada Bapak, karena puja-puji hanya akan menyebabkan kerusakan lebih dalam.
Jakarta, 04 Oktober 2017
*)Pimpinan Rumah Amanah Rakyat