Jayapura: Gubernur Papua (yang juga Ketua Partai Demokrat Papua) Lukas Enembe SIP MH meminta kepada para bupati dan aparat keamanan di Papua untuk sama-sama berkomitmen menjaga Papua tetap aman dengan menghindari konflik sosial seperti perang suku maupun konflik akibat Pilkada Serentak 2017 dan 2018. Gubernur juga mengaku prihatin dengan kondisi Papua dimana masih banyak orang Papua yang meninggal di atas tanahnya sendiri, baik akibat penyakit HIV-AIDS, narkoba dan minuman keras maupun dibunuh oleh aparat keamanan dan OPM.
“Saya sejak awal jadi Gubernur Papua, saya menyatakan, bahwa setiap orang Papua yang mati mahal harganya, sangat mahal bagi saya, dan saya siap beri perlindungan. Kematian orang Papua itu akibat banyak faktor, harus dibedakan. Banyak orang Papua mati karena penyakit HIV-AIDS, minuman keras, narkoba, mati karena terbunuh oleh (oknum) TNI/Polri atau OPM, juga mati karena konflik perang suku dan Pilkada. Oleh karena itu, hindari konflik yang terjadi, siapa pun yang jadi pemimpin, mau jadi gubernur atau bupati harus memastikan bahwa tiada konflik yang menelan korban nyawa orang Papua,” kata Gubernur Lukas kepada pers di Gedung Negara, Selasa (15/08/2017).
Terkait kasus penembakan masyarakat sipil di Deiyai 1 Agustus 2017 oleh oknum aparat kepolisian setempat, Gubernur Lukas meminta aparat keamanan (TNI/Polri) harus belajar budaya dan karakter 200-an lebih suku di Papua agar bisa mengatasi setiap persoalan di masyarakat dengan pendekatan persuasif berbasis budaya. Ia menyayangkan, insiden serupa sudah seringkali terjadi dan mengorbankan nyawa rakyat Papua.
“Ini untuk kesekian kalinya aparat melakukan pembunuhan di Suku Mee. Padahal mereka ini adalah suku yang paling terima peradaban dari luar dibandingkan wilayah Pegunungan lain. Jangan kita main-main dengan mereka. TNI/Polri harus belajar, kenapa pembunuhan berturut-turut terjadi pada suku mereka, apa salah mereka. Mereka (Suku Mee—Red) bukan bodoh, (aparat keamanan—Red) harus kelola konflik dengan bijak,” kata Lukas.
Sementara itu terkait dengan sejumlah konflik yang ikut timbul dalam Pilkada Serentak 2017 yang juga turut memakan korban jiwa dan harta benda di beberapa kabupaten seperti Intan Jaya dan Puncak Jaya, Lukas mengaku dirinya sejak memimpin Provinsi Papua dengan Wakil Gubernur Klemen Tinal pada 2013 langsung mendorong revisi UU Otsus No 21 Tahun 2001 menjadi UU Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua atau lebih dikenal dengan Otsus Plus.
Dalam RUU Otsus Plus yang sempat disodorkan masuk Prolegnas 2014, salah satu poin ialah pentingnya perubahan payung hukum tentang mekanisme peyelenggaraan Pilkada di Papua dimana diubah dari Pilkada Langsung seperti yang terjadi saat ini ke Pilkada Tak Langsung melalui DPR Papua.
“Semua itu sudah kita masukkan dalam RUU Otsus Plus. Sekarang baru semua buka mata dan mulai bicara lagi perlunya revisi UU Otsus. Kami berharap ke depan Kemendagri memperhatian kekhususan Papua. Sudah terlalu banyak orang yang jadi korban karena Pilkada, ini perlu dikaji lagi soal Pilkada langsung. Belum lagi dana Pilkada sangat besar,” kata Lukas.
Di jelang Pilgub Papua 2018, wacana Pilkada Tak Langsung melalui DPR Papua kembali muncul. Dalam kegiatan Seminar Pilkada yang digelar Kemenkopolhukam di Hotel Swissbell Kota Jayapura, Kamis (27/7/2017), Pemerintah Provinsi Papua melalui Wakil Gubernur Klemen Tinal, SE.MM meminta Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Papua. Papua menganggap UU Pilkada saat ini tumpang tindih dengan UU Otsus Papua.
Menurut Klemen, pelaksanaan Pesta Demokrasi di Papua seharusnya berjalan sesuai kekhususan daerah setempat yang diberikan Pemerintah melalui Undang-Undang Otsus. Seperti halnya daerah Yogyakarta maupun DKI Jakarta. Karena itu, proses pemilihan kepala daerah di Papua sebaiknya dikembalikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Papua atau pemilihan secara tidak langsung. Hal ini jauh lebih baik, apalagi output-nya sama yaitu membuat rakyat sejahtera.
“Pilkada di Papua misalnya cukup lewat perwakilan tapi kalau itu membuat rakyat sejahtera, tidak ada masalah sebenarnya, karena output-nya harus membuat rakyat sejahtera. Provinsi Papua mempunyai Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) yang mempunyai lex spesialis yang tidak berlaku bagi daerah lain. Yogyakarta Gubernurnya turun temurun keluarga Sultan, di DKI Jakarta, Walikota ditunjuk langsung oleh Gubernur, dan itu bukan keinginan kedua provinsi itu, tapi perintah undang-undang. Sementara di Papua ada UU Otsus, kenapa tidak bisa seperti dua daerah tersebut?” Klemen bertanya.
(Gusty Masan Raya/papuabangkit.com/dik)