
Oleh: Umi Farida SIP. MSI. (Han)
Tulisan berharga ini adalah hasil wawancara pada tanggal 5 Juni tahun 2017, yang sengaja dibagikan untuk mengenang gagasan Alm. Jenderal TNI (Purn) Pramono Edhie Wibowo dalam mereformasi hak perempuan di institusi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD).
Berbicara reformasi birokrasi di institusi TNI, kita sering hanya terpaku pada proses sejarah keluarnya Fraksi TNI-Polri dari badan legislatif MPR-RI, DPR-RI, dan DPRD pada saat kepemimpinan Panglima Jenderal TNI Endriartono Sutarto pada tanggal 11 Agustus 2002 (Widjoyo, 2015), atau pada saat pemisahan struktur, tugas dan fungsi antara TNI dengan Polri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sangat jarang ditemukan tulisan yang memotret proses perjalanan reformasi kebijakan TNI dalam pemenuhan hak asasi perempuan.
Pemenuhan hak asasi perempuan ini sebenarnya telah diamanatkan oleh Undang-Undang TNI Nomor 34 tahun 2004 yang mengatakan bahwa TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia dalam hal ini termasuk hak asasi perempuan, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi.
Dengan menggunakan CEDAW (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women) atau Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan, yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang nomor 7 Tahun 1984, Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo saat menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), membuat kebijakan peningkatan jumlah keterwakilan perwira perempuan (disebut Taruni) di TNI AD tahun 2013, dalam proses perekrutan perwira Akademi Militer (Akmil) yang mengakomodir keterwakilan perempuan sebanyak 16 orang dari keseluruhan jumlah taruna 176 orang atau sebanyak 8%. (DetikNews, 2013).
Kebijakan itu menjadi kebijakan pertama yang out of the box, karena dibuat pada saat isu perekrutan perempuan di level perwira belum menjadi perbincangan yang penting di lingkungan TNI AD. Sebagian besar pemikiran dipengaruhi oleh cara pandang yang mengidentikkan perang sebagai dunia maskulin laki-laki, yang membutuhkan jiwa kepemimpinan, keperkasaan, kekuatan dan ketangguhan fisik. Sedangkan perempuan yang dilekatkan dengan sifat feminin, lemah lembut, cengeng, cerewet dan tidak berdaya, dianggap kurang memenuhi kualifikasi.
“Saya membaca dari pengalaman beberapa negara, yang memberi ruang luas kepada militer khususnya perempuan, kenapa di Indonesia tidak?” begitu alasannya ketika menjelaskan latar belakang kebijakannya.
“Kebijakan ini tidak bertentangan dengan budaya dan norma, selain itu dari segi jumlah laki-laki dan perempuan prosentasenya seimbang, maka tidak ada alasan melarang perempuan untuk berpartisipasi”.
“Saya mengikuti special forces di Amerika Serikat tahun 1985 saat itu tidak ada perempuannya, tetapi sekarang di Amerika sudah ada perempuan yang ikut forager (sama dengan sekolah komando), bahkan mereka juga telah memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki menjadi tentara.”
Pengalamannya berhubungan dengan negara lain adalah pelajaran berharga untuk membuat perubahan bertahap tentang sistem rekrutmen yang adil, “saya memulai yang pertama dengan 16 orang”.
Kepeduliannya terhadap hak perempuan di TNI AD juga dilakukan selama proses berlangsungnya pendidikan. Contohnya proses SeCaPa (sekolah calon perwira), dimana KOWAD (Komando Wanita Angkatan Darat) ditempatkan di barak yang cukup jauh, harus mengendarai bus dengan waktu yang lebih lama ketika akan mengakses ruang kelas. Sedangkan laki-laki ditempatkan di barak yang berada di area lingkungan pendidikan.
“Saya katakan kenapa tidak ditempatkan di dalam satu kompleks yang sama, tetapi baraknya berbeda”, demikian ungkapnya.
Gagasannya ini seperti sederhana namun ternyata sulit untuk dilaksanakan karena petugas di lapangan tidak berani mengambil risiko jika terjadi pelanggaran, “jadi mereka kalau tidur tetap di PusDiKoWaD (Pusat Pendidikan Komando Wanita AD) tetapi kalau mau pelajaran mereka turun, walaupun tidak terlalu jauh tetapi tetap berjarak”.
Tidak berhenti di situ, strukturisasi pos-pos strategis yang sebelumnya belum diduduki perempuan juga menjadi target perubahannya.
“Waktu jaman saya, saya menempatkan perempuan sebagai Danramil”, jabatan Danramil ini ditempatkan di Bali 2 orang dan di Jakarta Timur satu orang. Posisi lain yang diisi perempuan yaitu sebagai kepala bidang hukum “namanya Kartika, jabatan ini diberikan sesuai dengan kualitas dan profesionalismenya”.
Bahkan, kebijakan strukturisasi juga dilakukan di daerah perbatasan, yaitu dengan menempatkan dokter perempuan. Kebijakan ini tergolong sangat berani karena sebelumnya dilarang di TNI AD, “dulu melarang dokter perempuan di TNI-AD ikut bertugas didaerah perbatasan atau daerah konflik, tetapi saya waktu itu menyampaikan, tidak banyak dokter laki-laki yang mau bergabung dengan militer, justru sebagian besar adalah dokter perempuan”.
“Waktu itu saya tawarkan menempatkan dokter perempuan, karena di perbatasan itu kan biasanya menjaga perbatasan saja dengan negara tetangga”.
Menurutnya, masyarakat membutuhkan dokter ketika sakit, dan biasanya mereka berobat ke dokter militer. Berdasarkan itu, muncullah gagasan menggabungkan kerja sama CSR Pertamina yang membantu penyediaan ambulans sedangkan TNI AD menyediakan dokternya.
Jatuh bangun meningkatkan keterwakilan perempuan di bidang pertahanan sebenarnya bukan hanya persoalan yang dihadapi oleh Indonesia saja, beberapa negara di dunia juga memiliki persoalan yang sama. Di Pakistan misalnya, pemerintah baru membuka peluang perempuan menjadi anggota militer sejak Desember 2006, meski demikian mereka saat ini telah memiliki lebih dari 70 pilot tempur perempuan (Pakistan Defence, 2013). Sementara itu Kroasia jumlah perempuan lebih sedikit yaitu (8%), Amerika Serikat (12%), dan Hungaria memiliki angka lebih banyak yaitu (20%), (our south east europe, 2010).
Namun demikian, bukan berarti pengintegrasian perspektif gender secara holistik di institusi militer mustahil dilakukan. Contohnya di Angkatan Udara Swedia yang telah memiliki kebijakan perspektif gender dan pemenuhan hak perempuan di tahun 2012. Melalui strategi; (1) Program pelatihan, termasuk pelatihan dasar syarat bergabung dengan Angkatan Udara, (2) Implementasi peran dan fungsi gender, (3) Mendirikan dan optimalisasi lembaga kajian gender, (4) Membangun vocal point gender, berusaha mengubah pola pikir seluruh personel agar menginternalisasi konsep kesetaraan gender dan pemenuhan hak-hak perempuan. (Robert Egnell, Implementing a Gender Perspective in Military Organisations and Operations, The Swedish Armed Forces Model, 2012).
Kembali pada diskursus pemikiran Pramono Edhie Wibowo, dalam konteks isu pertahanan saat ini rasanya sudah sangat tepat. Apalagi situasi politik dunia sedang mengalami polarisasi definisi perang antar negara, perang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik dan senjata (proxy war), (Kementerian Pertahanan, 2014). Perang juga dapat terjadi di bidang ilmu pengetahuan, budaya, tehnologi dan juga penguasaan ekonomi “perang dagang”, seperti yang sedang terjadi saat ini yaitu antara Tiongkok dengan Amerika.
Dengan kata lain proxy war telah meruntuhkan anggapan hanya laki-laki yang pantas berperang karena memiliki kekuatan fisik yang tangguh. Padahal perang bisa terjadi pada bidang lain, sehingga kesempatan melibatkan perempuan dalam bidang pertahanan semakin terbuka lebar. Maka dengan demikian perempuan harus diberikan hak, tanggungjawab dan kesempatan yang sama untuk terlibat dalam pertahanan negara.
Dari beberapa upaya peningkatan keterwakilan perempuan yang telah dilakukannya selama menjadi Kasad tidak seluruhnya berhasil, ada satu target yang dianggapnya gagal, yaitu menempatkan perempuan sebagai komandan battalion. Namun demikian, harapannya ke depan ada perempuan yang menduduki pos strategis di TNI AD.
“Saya berkeinginan taruni ada yang menjadi pilot tempur angkatan darat khususnya helikopter, kalau belum bisa menjadi pilot helikopter tempur minimal ada yang menjadi pilot helikopter transport, tapi saya enggak tahu kok sampai sekarang saya masih belum melihat adanya penerbang perempuan angkatan darat, padahal itu tidak terlalu menguras energi fisik,” ujar Pramono Edhie Wibowo.
Referensi:
Widjoyo, A. (2015). transformasi tni dari perjuangan kemerdekaan menuju tentara profesional dalam demokrasi: pergulatan tni mengukuhkan kepribadian dan jati diri. Jakarta: Kata Hasta Pustaka
DetikNews. (2013, Maret 21). DetikNews. Retrieved from Oertama Kali, Akmil TNI AD Rekrut Perempuan: http://news.detik.com/berita/2199892/pertama-kali-akmil-tni-ad-rekrut-perempuan
Pakistan Defence. (2013, January 14). Women in Pakistan Millitary. Retrieved from Pakistan Defence: http://defence.pk/threads/women-in-pakistan%C2%92s-military.229499/#ixzz4LoXFS71v
Our south east europe. (2010, 6). RegionalCoorperationCouncil. Retrieved from Stepping up women’s representation in millitary structures: http://www.rcc.int/articles/32/stepping-up-womens-representation-in-military-structures
Robert Egnell, P. H. (2012). Implementing a Gender Perspective in Military Organisations and Operations, The Swedish Armed Forces Model. Sweden: UPPSALA Universitet.
Kementerian Pertahanan. (2014). Doktrin pertahanan negara. Kementerian Pertahanan. Jakarta: Kementerian Pertahanan.
Penulis adalah Alumnus Universitas Pertahanan Indonesia