Oleh: Husnizar Hood*)
Ini kisah nyata, bukanlah khayalan kawan saya Mahmud, bukan juga imajinasi dia yang selalu tinggi itu karena pada waktu kejadiannya saya kebetulan ada di sana dan ikut langsung menyaksikannya.
Ini juga bukan sesuatu yang mengada-ada, tak ada dalam sejarah kami berdua menjadi orang mengada-ngada, saya dan Mahmud paling pantang dengan kerja yang mengada-ada itu, buat sajalah apa adanya. Masyarakat “zaman now” sudah tau mana yang manusia mana yang hantu. Mana yang yang pura-pura dan mana yang buat macam tak tau.
Alkisah, suatu waktu dulu sekitar 14 tahun yang lalu, maaf bukan karena nomor urut partai tapi benar dalam catatan saya ini terjadi di tahun 2004 ketika awal pemerintahan provinsi ini bermula, gegap gempita sibuk menyusun langkah-langkah harapan ke depan, meskipun saya lihat orang-orang yang berjuang itu dulu langkahnya kini tertinggal di belakang.
Syahdan, ada seorang ibu paruh baya datang bertemu dengan kami sambil membawa seorang anak kecil, dia duduk di hadapan kami dengan nelangsa, pakaiannya tak begitu rapi, sangat sederhana kalau tak mau dibilang apa adanya, tapi dalam batas sopan, wajahnya masih menyisakan guratan cantik, ia tak begitu ceria dan kami berdua waktu itu sangat meyakini bahwa pasti ibu ini sedang membawa beban pikiran yang besar di dalam batinnya.
Dia ingin bertemu Mahmud kawan saya, sangat tegas niatnya, mungkin dan ini masih mungkin dalam perkiraan saya, karena mungkin ibu itu tahu siapa kawan saya Mahmud itu, lebih 14 tahun yang lalu Mahmud adalah orang yang memang paling pantas untuk dijumpainya, ya, berjumpa untuk mengadu atau meluahkan curahan hati tentang seni, karena pada waktu itu Mahmud adalah orang yang paling peduli dengan kesenian, dia memimpin lembaga kesenian, segala cabang kesenian ia abdikan, ehm…siapa yang tak kenal Mahmud? Ya ya ya, saya bangga berkawan dengannya.
Soal kepedulian ini bukan saya ingin katakan sekarang Mahmud tak peduli lagi dengan seni tapi katanya sudah terlalu banyak orang yang sangat peduli dan juga sangat banyak juga yang mengaku-ngaku peduli. Walaupun kesenian itu kalau menari bukanlah sekedar goyang, kalau berpuisi bukanlah sekedar memekik atau kalau melukis bukanlah sekedar mencoret apalagi menumpahkan warna.
Ibu yang datang pada kami itu mulai membuka bicara suaranya pelan dan kami harus fokus mendengarkan dan apa yang disampaikannya adalah kategori pengaduan, “Pak tolonglah bantu saya, bukan saya mau minta uang bapak, tapi saya ingin mengharapkan hak, perjuangkanlah karya saya yang sudah diambil orang, sebuah lagu kini judulnya “Angka Satu”,
Tau lagu itu? Coba ingat, lagu yang dengan lirik ;
Masak… Masak Sendiri Makan…. Makan Sendiri
Cuci Baju Sendiri Tidurpun Sendiri
Cinta Aku Tak Punya Kekasih Pun Tiada
Semuanya Telah Pergi Tak Tau Kemana
Hidup Serasa Kaku Bagaikan Angka Satu
Meranalah… Kini Merana
Ingat? Saya kira ingat, tahun 1996 lagu itu terkenal, dinyanyikan okeh Caca Handika, mungkin ada juga penyanyi yang lainnya.
Ibu paruh baya yang tak kami kenal itu menyanyikan lagu itu dengan lirik yang berbeda tapi iramanya sama, hanya iramanya sedikit bernuansa Qasidah, tapi mirip dan serupa kemudian panjang lebar dia mengaku bahwa itu adalah lagu ciptaannya kemudian entah kenapa bisa berubah dan menjadi milik orang lain dengan nama orang lain pula dan Caca Handika penciptanya.
Setengah terisak dia bercerita kepada kami, setengah percaya dan tidak kami mendengarkan kisah deritanya dan sejak itulah ia berjuang akan lagu itu dan orang-orang banyak yang tak percaya bahkan suaminya pun mulai menjauh darinya. Menganggapnya dia setengah gila.
Kamipun hanya bisa jatuh iba, kami tak ada kuasa untuk membela atau mengatakan bahwa lagu itu siapa awal penciptanya.
Dan kami berdua akhirnya membantu ibu itu untuk sekedar membantu meringankan beban dia meneruskan perjuangannya, entah betul entah tidak apa yang dikatakan ibu itu, kami juga membaca sejarah lagu itu tercipta vesi Caca Handika, hmmmm….mungkin juga oleh Ibu itu kami sedang kena bengak tapi biarlah kalaupun itu memang bengak kami pikir dia telah melakukan bengak dengan kualitas tingkat tinggi. Dengan pola pencitraannya yang sedih, menghiba, dengan ekspresi duka bahkan air mata.
Ah, apalah artinya kalau 100 ribu rupiah kita keluarkan, kita anggap itu hanyalah sedekah walaupun tak bermaksud riya, seorang ibu yang berjuang untuk haknya, daripada yang berjuang konon mengaku haknya juga dengan pencitraan yang lebih kurang sama, mengaku alim tapi tak memperjuangkan ulama, meraung menangis bukan mengenang dosa tapi mengkhayal apa yang akan diraihnya. 100 ribu juga datang tawaran diantara kita hari ini, hati-hati, negeri dan seisinya akan terpedaya.
Sejak peristiwa kedatangan ibu itu saya baru tau lagu itu judulnya adalah “Angka Satu”, huh…ini bukan kampanye, hanya berkerut juga kening kami bagaimana bisa lagu itu dikiaskan angka satu kalau di dunia ini hidup kita sendiri, tak kawin-kawin, he he he, maaf yang belum kawin tak ada maksud menyinggung perasaan, kata orang memang sebaiknya hidup kita berkawan, hidup berdua, dan lagunya berubah judul ”Angka Dua”, ho ho ho…ini bukan kampanye juga, satu dan dua saya pikir itu hanya angka-angka yang paling penting siapa orang yang berada di dalam angka itu dan telusuri berapa besar angka yang dia punya dan dari mana dia dapat menyimpan angka-angka itu.
Kisah itu sudah lewat sekian lama, saya dan Mahmud tiba-tiba terkenang lagi hari ini karena tiba-tiba ada yang sedang menyanyi walaupun liriknya agak beda, serta merta kawan saya Mahmud itupun menyanyi juga,
“Makan-makan sendiri, cuci piring sendiri”…Ha?
Saya tersenyum simpul, di sinilah masaalahnya, lirik diujung itu ada yang bilang kerjanya hanya cuci piring saja, banyak yang tak percaya.
Karena kalau dalam keluarga makan dan cuci piring itu adalah pekerjaan satu paket, jangan kita biarkan piring kotor itu jadi tugas orang tua kita untuk mencucinya, itu durhaka namanya, kalaupun ada pembantu minimal kita antarlah piring-piring kotor itu ke tempat pencuciannya. Meringankan pekerjaan orang lain itukan amal juga.
Kalau di kampung kami dulu ketika ada pesta pernikahan kita memang lebih memilih posisi cuci piring karena masih banyak makanan sisa disana, banyak yang bisa kita bawa pulang, hampir sama juga mungkin dengan kerja pemulung yang “mencuci” tong sampah kita, mereka memilahnya dan mengambil barang yang masih bisa dimanfaatkan dan benilai jual. Siapa bilang pemulung tak mulia, banyak pemulung kaya dan bisa mengirim anaknya berpendidikan tinggi dari kita.
“Terus kalau dalam pemerintahan “cuci piring” itu seperti apa Tok?”, tanya Mahmud kepada saya.
Saya tak bisa dengan cepat menjawabnya, hanya otak saya berputar-putar mencoba merumuskan, apakah sisa cuci piring itu bisa dimakan, atau dikumpulkan untuk makan peliharaan atau dibuang, ah entahlah, saya bukan orang pemerintah, saya tak tahu jawabannya tapi saya pikir ada banyak masyarakat awam yang juga tau, cuci piring itu sebenarnya kerja OB (office boy) bukan kerja “Super Boy”, ha ha ha.
Dalam percakapan sehari-hari memang banyak istilah “cuci mencuci” ini, mulai artinya baik sampai maknanya bisa membuat kita tergelitik, ada cuci tangan, cuci otak, cuci mata, cuci harta, cuci busi dan cuci piring itu sendiri, mungkin masih banyak lagi, hanya kita memang harus pandai-pandai menempatkannya. Makna tersirat dan tersuratnya beda.
“Kita tunggu sajalah jawaban dari yang lain”, tukas saya ke Mahmud, kawan saya Mahmud itu nampak tak puas dengan kalimat balas saya.
Sebaiknya memang kita tak menjawab kalau kita tak tahu atau kita katakan langsung dengan mengaku bahwa kita tak tau, bukan cakap ke mana-mana bahwa kita adalah pengatur semuanya, kitalah yang paling berkuasa dan karena itu kita mulai mengatakan bahwa kau boleh dan kau tidak, kalian remeh dan kalian ape ke tidak.
Tak perlulah saya jelaskan satu persatu berbagai hal dan makna dari cuci mencuci itu, cuci saja hati kita agar akal kita tak terpedaya dan janganlah mengeluh dalam berkerja, memang tugas pokok kita cuci piring karena kita masih sendiri, memangnya mau kita suruh siapa lagi?
Cuci mulut jangan takut, karena cuci mulut itu biasanya buah-buahan setelah kita makan. Cuci darah? Amit-amit, Astaghfirullah.
*)Wakil Ketua DPRD Kepri dan Sekretaris DPD Partai Demokrat Kepri