Oleh: Khairi Fuady

Penghormatan terakhir dari Susilo Bambang Yudhoyono terhadap istri tercintanya Ani Yudhoyono di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta, Minggu, 2 Juni 2019. (setpres)

“Saya menghapus titik air matanya. Tapi air mata saya pun jatuh di keningnya” -SBY-

Dari bilangan waktu sekitar 10 menit sambutan Pak SBY tentang Ibu Ani, barangkali kalimat di atas adalah yang paling romantis. Namun ada lanjutannya; “Air mataku yang jatuh di keningmu ini, Ani, adalah air mata cinta yang bertemu dengan air mata kasih”. Hadirin yang hadir pun sontak ikut terisak haru. Meski dengan gaya yang tetap sebagaimana SBY, bicara dengan sangat tertata, ternyata di dalam situasi yang sangat emosional ia bisa membawa hadirin pada keadaan yang demikian haru-biru.

Dalam dunia sastra, ada banyak kata yang sejatinya satu makna, tapi rasanya berbeda. Misalnya kata “dahi”, akan menjadi puitik jika disebut dengan istilah “kening”. Jari menjadi jemari. Bulan jadi rembulan. Matahari jadi mentari. Laut jadi samudera. Karpet jadi permadani. Surga jadi nirwana. Gelap jadi gulita. Terang jadi benderang. Cahaya jadi pelita.

SBY punya panggilan sayang kepada Ibu Ani yang dulu kerap jadi bahan olok-olok netizen. Yang harusnya Mama ia sebut Memo, dan sebaliknya Ibu Ani pun memanggil SBY dengan kata Pepo. Dua panggilan unyu-unyu tersebut, ketika diucapkan oleh Pak SBY dalam sambutannya menghantarkan kepergian Ibu Ani, berubah menjadi puitik dan bernyawa. Persis ketika SBY menyebut kata “kening” tatkala air mata Ibu Ani menetes dalam perjuangannya melawan Kanker Darah.

Kisah tentang Pak SBY dan Ibu Ani adalah kisah tentang mata air cinta dan keteladanan. Karena keduanya saling mencintai dengan tuntas dan paripurna. SBY yang dulunya di AKABRI hanya putera seorang pensiunan Bintara, menjalin kasih dengan Ani seorang puteri dari Sarwo Edi Wibowo yang profilnya pernah menjadi Pangdam, Komandan RPKAD, Duta Besar, juga Gubernur AKABRI sendiri, tempat SBY belajar.

Terlihat jelas betapa disparitas kasta dan status sosial menjadi pembeda diantara keduanya. SBY lahir dari keluarga yang biasa di Pacitan sana, dan Ani seorang ningrat di Jakarta. Namun demikian, mereka pun menikah dan meniti hidup bersama-sama dari bawah. Dari awal SBY lulus AKABRI, lalu sekolah di Amerika, pulang menjadi juru bicara Fraksi ABRI, jadi Ketua fraksi ABRI di DPR, jadi menteri di era Gus Dur dan Megawati, mendirikan Partai Demokrat, hingga menjadi Presiden Republik Indonesia. Sebuah tangga perjalanan menuju puncak yang tentu tak mudah.

Alhasil, banyak hikmah yang bisa diambil dari perjalanan cerita. Namun yang paling utama menurut saya, adalah tentang cinta yang saling menguatkan. Kalau bukan karena cinta yang saling menguatkan, akan sulit rasanya bagi Ibu Ani menerima sepenuh hati latar belakang Pak SBY yang relatif biasa saja. Demikian pula sebaliknya, tak mudah bagi Pak SBY untuk berjuang di atas standar profil keluarga dengan prestasi yang luar biasa. Itulah kenapa Pak SBY menata perjalanan hidupnya dengan rapi, berjuang dengan gigih, dan menancapkan target demi target. Tentunya, lagi-lagi dengan dikuatkan oleh sang isteri, Ani Yudhoyono.

Ada sebuah kata-kata manis yang dulu pernah diucapkan oleh Plato, gurunya para filosof:

“SIAPA YANG TIDAK TERHARU OLEH CINTA, IA BERJALAN DALAM GELAP GULITA”

Selamat jalan Ibu Ani. Sabar dan tabah untuk Pak SBY.