Ferdinand Hutahaean, Pimpinan Rumah Amanah Rakyat dan Wakil Sekjen Bela Tanah Air (foto: twitter/Revolusi1977)

Oleh : Ferdinand Hutahaean*)

Sesungguhnya tidak ada harapan kebaikan bagi masyarakat yang akan muncul dari sekelompok orang yang kemudian berkuasa melalui sebuah proses kontestasi politik, kekuasaan yang berasal dari sebuah demokrasi yang tercela, demokrasi yang mati, demokrasi yang tidak lagi mengindahkan kaidah dan nilai-nilai luhur serta adab dalam demokrasi itu sendiri. (FH)

Setidaknya, itulah yang akan terjadi di Jakarta pasca Pilkada putaran kedua tanggal 19 April 2017 nanti. Pilkada Jakarta ini semakin hari, semakin menunjukkan wajah buram dalam demokrasi, menghianati demokrasi dan menjadikan demokrasi hanya sebuah legitimasi atas kerja politik sinergi Kekuasaan, Uang dan Media.

Perpaduan antara kekuatan Kekuasaan, Uang dan Media yang menjadi partisan dalam politik adalah menjadi kolaborasi atau sinergi yang sangat ampuh untuk merusak dan membunuh demokrasi. Media yang memberitakan persepsi dan tidak lagi memberitakan kebenaran faktual adalah wujud nyata keruntuhan pilar demokrasi. Media seharusnya sebagai salah satu pilar demokrasi sejatinya menjadi pengawal yang kuat atas kebenaran, fakta dan kejujuran. Namun Media yang menjadi partisan politik telah meruntuhkan pilar demokrasi dan menjadikan media sebagai sebuah alat untuk memenangkan demokrasi secara tercela. Media menjadi alat pembenaran terhadap sebuah kesalahan, dan menjadi alat yang ampuh sebagai mesin pembunuh karakter serta membelokkan nilai kebenaran menjadi seakan akan sebuah kesalahan serta memutar balikkan kesalahan menjadi sebuah kebenaran. Itulah media saat ini yang telah menjadi partisan karena pemiliknya adalah partisan politik dan atau terafiliasi dengan kekuatan politik tertentu, dan bahkan ada yang menjadi pemilik partai politik sekaligus pemilik media.

3 hal tersebut, kekuasaan, uang dan media adalah senjata paling ampuh untuk memenangi seluruh kontestasi politik dimana saja. Kekuasaan, uang dan media jika berada di tangan yang salah, maka dampak merusaknya akan sangat besar. Bukan saja merusak demokrasi namun merusak moral serta mental masyarakat secara keseluruhan. Kekuasaan mengajarkan perilaku melanggar aturan, uang mengajarkan perilaku transaksional dan koruptif, media memberitakan persepsi, maka sempurnalah ketiga hal tersebut menjadi 3 kekuatan yang memporak porandakan nilai luhur demokrasi, menciptakan ketidakpastian dan menjadikan hasil demokrasi yang tercela.

Trinitas politik kekuasaan, uang dan media kini menjadi sangat menentukan bagi penetapan hasil demokrasi. Kekuasaan yang menguasai sistem demokrasi, uang yang mampu membeli suara dan media yang mampu membangun opini di tengah publik adalah ancaman serius bagi demokrasi ke depan. Akan sangat mudah bagi pemegang kekuasaan yang bersinergi dan berkolaborasi dengan pemilik uang serta pemilik media untuk menentukan siapa memimpin daerah mana dan siapa presiden serta wakil presiden dan siapa memimpin lembaga-lembaga negara lainnya.

Kolaborasi aktif ketiga trinitas politik itu, kekuasaan, uang dan media harus dihentikan. Kolaborasi ketiganya akan merusak demokrasi secara permanen, merusak mental rakyat, merusak kebenaran dan mencederai nilai-nilai luhur yang dianut demokrasi dan dianut oleh bangsa yang berbudaya sangat tinggi ini. Kita dan siapapun tentu tidak menginginkan hasil demokrasi yang tercela, karena hasil demokrasi yang tercela hanya akan menambah panjang penderitaan rakyat. Semua pecinta demokrasi tentu akan berharap agar kekuasaan berdiri netral dalam setiap demokrasi, media memberitakan kebenaran faktual dan pemilik uang tidak menjadikan uangnya mengatur negara dan mengatur pemimpin negara.

Mari kita lihat sama-sama berlangsungnya Pilkada Jakarta kali ini. Sejak putaran pertama hingga putaran ke Dua saat ini, nilai demokrasinya justru semakin merosot, sekarat, kritis kemudian mati menjelang hari pemungutan suara. Pilkada Jakarta tidak lagi menjadi sebuah cerminan Demokrasi yang menunjukkan supremasi masyarakat dan kedaulatan rakyat dalam negara, namun telah dijadikan ajang legitimasi sebuah perebutan kekuasaan dengan cara-cara haram dan brutal.

Pemerintah telah gagal mengawal demokrasi di Jakarta. Pemerintah bahkan terkesan turut terlibat dalam perusakan demokrasi kali ini. Pelanggaran-pelanggaran terbiarkan tanpa penindakan, penegakan hukum menjadi barang langka, keadilan menjadi punah dan kehidupan sosial masyarakat menjadi terguncang serta terganggu. Yang kita kuatirkan adalah ketika kebuntuan rasa keadilan masyarakat itu kemudian mencari jalannya sendiri, maka niscaya akan ada peristiwa yang membuat kita semua kembali kepada era kegelapan.

*Baru kali ini ada sebegitu banyak pelanggaran yang dilakukan secara terbuka tanpa penindakan. Uang, sembako, iming-iming uang dalam bentuk program yang seharusnya butuh persetujuan DPRD seperti Kartu Lansia dan intimidasi kepada pengawas pemilu menjadikan sempurnanya pembunuhan demokrasi di Jakarta.*

Masihkah kita berharap pada Pilkada Jakarta kali ini akan menghasilkan Pemimpin?

Saya, dengan berat hati menyimpulkan, Pilkada Jakarta ini adalah wujud brutalisme pemaksaan kehendak kekuasaan dan pemilik modal dalam demokrasi.

Jakarta, 17 April 2017

*)Pimpinan Rumah Amanah Rakyat dan Wakil Sekretaris Jenderal Bela Tanah Air

(dik)