Oleh: M Zakiy Mubarok*)
Adalah Menteri Sosial Khofifah Indarparawangsa yang menyebut TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sebagai representasi tokoh nasionalis religius diantara sembilan tokoh lainnya yang diusulkan kepada Presiden RI untuk diberikan anugerah gelar pahlawan nasional tahun 2017.
Bagi masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid atau masyarakat lebih akrab dengan panggilan Maulanasyaikh, adalah sosok ulama besar yang kharismatik. Beliau adalah pendiri Nahdlatul Wathan (NW). Organisasi massa keagamaan terbesar yang masih terus berkembang hingga saat ini. Perkembangannya bahkan makin ke penjuru negeri.
Lahir di Lombok Timur NTB, 17 Rabiul Awwal 1324 H/1906. Maulanasyaikh sejak kecil dikenal sebagai pribadi yang tidak hanya cerdas, tapi juga jujur. Karena itu, anak bungsu dari enam bersaudara ini, mendapatkan perhatian lebih dari kedua orang tuanya. Prestasi pendidikannya sangat cemerlang. Di usia remaja, Maulanasyaikh sudah melanjutkan studinya ke Mekah.
Sepulang dari Mekkah selama hampir 12 tahun atau 13 kali musim haji lamanya, Maulanasyaikh pulang ke Pulau Lombok. Kepulangan Maulanasyaikh, diliputi suasa bangsa Indonesia yang sedang sibuk menghadapi agresi kolonial. Maulanasyaikh tidak bisa tinggal diam. Rasa nasionalismenya muncul ketika martabat masyarakat dan bangsa Indonesia terinjak-injak oleh kebengisan kolonial.
Maulanasyaikh tampil sebagai pejuang membela tanah air dari cengkeraman tangan penjajah. Keberanian dan keteguhan pribadinya tak pernah tergoyahkan oleh kekuatan yang menghadang. Melalui gerakan al-Mujahidin yang dipimpinnya, Maulanasyaikh bergabung dengan gerakan perintis kemerdekaan. Ia memimpin pertempuran merebut kemerdekaan RI di NTB. Karena kegigihannya membela wilayah kesatuan RI, masyarakat Nusa Tenggara Barat menjuluki Maulanasyaikh sebagai ‘pahlawan perintis kemerdekaan’.
Di tengah gerakan perjuangan merebut kemerdekaan pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1937 M, Maulanasyaikh mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Lembaga pendidikan ini memperoleh izin resmi dari pemerintah Hindia Belanda tanggal 17 Agustus 1937 M. Sedang Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) yang khusus untuk wanita didirikan tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 bertepatan tanggal 21 April 1943.
Di madrasah untuk putra dan putri itu Maulanasyaikh mengajarkan ilmu bahasa Inggris dan Arab. Oleh pihak penjajah, kedua bahasa itu dikhawatirkan menjadi salah satu cara untuk mengetahui kelemahan imperialisme Belanda. Hingga suatu ketika, Maulanasyaikh dipaksa untuk menghentikan dua mata pelajaran itu dalam kurikulum pendidikannya. Tentu saja permintaan itu ditolak Maulanasyaikh. Dengan alasan, bahasa Inggris adalah bahasa dunia. Sementara bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an dan ibadah.
NWDI dan NBDI bukan sekedar tempat berlangsungnya pendidikan agama. Di tengah kuatnya tekanan kolonial, Maulanasyaikh memanfaatkan lembaga tersebut untuk menumbuhkan jiwa dan semangat perjuangan serta sikap patriotisme dan pantang mundur dalam menghadapi tindakan semena-mena kaum kolonial. Atas sikapnya ini, Maulanasyaikh acapkali mendapat tekanan paksa agar menutup dan membubarkan madrasahnya.
Saat tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administrations) mendarat di Pulau Lombok. Sikap represif juga ditunjukkan oleh tentara NICA. Tentu saja sikap ini memancing kemarahan rakyat Indonesia untuk bangkit melakukan perlawanan. Lagi-lagi Maulanasyaikh bersama para santri dan guru NWDI dan NBDI membentuk organisasi yang disebut gerakan al-Mujahiddin. Organisasi ini selanjutnya bergabung dengan gerakan Banteng Hitam, gerakan Bambu Runcing, BKR, API di Pulau Lombok untuk menyatukan langkah membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan bangsa Indonesia.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan Maulanasyaikh itu, Pemerintah RI 9 November 2017 memberikan anugerah Pahlawan Nasional kepada Maulanasyaikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.
*) Ketua Divisi Pengembangan Kemitraan Masyarakat DPD Partai Demokrat NTB