Oleh: Husnizar Hood*)
Agar kasar bahasa kawan saya itu ketika berucap. Sesak juga nafas saya mendengarkannya padahal saya bukan termasuk penderita asma, hampir saja nafas saya tadi jadi satu-satu naik turunnya. Bagaimana tidak “membangkai” itu adalah kosa kata baru yang saya dengar, mungkin maksud Mahmud kawan saya itu, maknanya adalah biarlah kita menjadi bangkai, mati sia-sia membusuk dan terbiar. Kemudian kata “membangkang” itu artinya kita melawan, tak mau patuh, mendurhaka dan sejenisnya.
Sudah lama saya tak mendengar kata-kata itu lagi, sampai-sampai saya intip juga kamus buruk satu-satunya yang saya punya, ahai, saya sempat tersenyum-senyum sendiri, menemukan kata “bangkang” dalam kamus itu kalau ia di padankan dengan kata “gadis” menjadi “gadis bangkang” artinya gadis tak perawan, he he he. Lalu apa pula arti dari “ketam bangkang?”, ketam itu sebutan kepiting bagi orang Melayu.
Ah, tak usahlah berpanjang-panjang, sudah sejak seminggu kemarin kawan saya tu hampir setiap hari paling selalu menggunakan kata bangkang dan membangkang. Mahmud selalu bergumam sendiri, “Negeri ini sendiri yang sepertinya sengaja ingin melahirkan para pembangkang lagi”.
Sampai di situ, saya hanya mendengar saja dan malas menimpali gumamannya karena agak sensitif, saya tahu dalam hati kawan saya itu ada yang sedang berkecambah. Iyakan pula…, tak ada angin tak ada ribut bahkan tak ada awan tak ada hujan tiba-tiba bagai ada petir yang menyambar melintas mata dan telinganya.
Seminggu kemarin, tepat di depan Mahmud sudah tergeletak sebuah buku dengan judul yang sama dengan nama yang dimilikinya, “Mahmud Sang Pembangkang”, alamak, padahal namanya itu adalah nama yang paling dibanggakananya, konon katanya nama Mahmud itu adalah sebuah nama orang yang terhormat. Apakah Sang Pembangkang itu orang yang terhormat juga?
Di situlah letak “kecil hatinya” kawan saya itu, ya ya ya…orang Melayu memang selalu mengkiaskan ketersinggungan atau kekecewaan itu dengan istilah “kecil hati”, mungkin padanan adalah dengan istilah “berbesar hati”, entahlah. Nah, sejak minggu lalu itulah kawan saya itu seperti nampak mau tak mau saja ketika pengarangnya bernama Rida K Liamsi dan kami memanggilnya Bang Rida memberi hadiah padanya buku itu.
“Bang Rida inipun sang Pembangkang juga Tok”, ucapnya kepada saya, ketika kami tak bersama Bang Rida.
“Kenapa?” Tanya saya singkat.
“Iyalah tiba-tiba saja dia menyelesaikan menulis buku itu dan akan meluncurkan bukunya tepat pada ulang tahunnya tanggal 17 Juli besok, usianya yang jauh tua dari kita, usia yang tak lagi muda, kadang geram melihatnya, sementara buku kita belum siap-siap juga dan kini dia menggunakan pula tokoh dalam sejarah Melayu yang kita agung-agungkan itu, kebetulan pula namanya sama dengan nama saya, oh…!”.
“Di mana pembangkangannya?” Tanya saya lagi.
Mahmud langsung mengubah ekspresi wajahnya dari semula berwajah lelaki paruh baya yang flamboyan menjadi wajah tokoh Mahmud yang sebenarnya seperti yang pernah saya lihat di pentas bangsawan, layar kaca atau Film Bioskop. Manis tapi Bengis!
“Kan dia itu membangkang dengan usianya, dia masih bertenaga besar dibanding kita ini, awak nak nulis naksah drama berapa helai saja tak siap-siap, menulis status di media sosial banyak gagal”, kawan saya Mahmud mulai menggatal mulutnya menyindir saya.
“Kan dia membangkang juga namanya itu, kita yang sudah 15 tahun hilir mudik nak menjadikan Mahmud itu sebagai seorang pahlawan sekarang tiba-tiba sudah jadi sang pembangkang,” tambah Mahmud lagi.
“Dan banyak pembangkangannya lagi, hidupnya penuh perlawanan dengan tak menyerah pada nasib, akhirnya menjadikan dia orang yang berhasil hari ini, dalam bisnis juga seni”, jelas sekali ada nada iri kawan saya itu.
Mulut saya terkatup rapat, ya memang akhir-akhir ini saya sering mengatupkan mulut saya, karena nampaknya sudah tiba masanya tiang-tiang pancang dalam mulut saya itu mulai runtuh, gigi-gigi tak tahan lagi menahan kerasnya makanan dan kehidupan, meskipun demikian isteri saya tetap saja memuji saya yang sedang kehilangan sebagian gigi ini, katanya itu masih bisa diperbaiki, tenang saja dan menurutnya saya nampak lebih segar dan sedikit lebih muda karena terlihat lucu. Agak ragu juga saya mendengar puja-pujinya itu tapi lumayanlah paling tidak itu bisa menambah percaya diri dan semangat untuk mempercepat anak saya lulus menjadi dokter gigi.
Ungkapan Mahmud mungkin benar tapi yang dibuat oleh bang Rida itu juga saya pikir lebih benar, mempercepat mendedahkan siapa Mahmud yang selama ini membayang dalam sejarah Melayu itu. Mahmud yang manakah dia, Mahmud yang setia atau Mahmud yang biasa-biasa saja atau Mahmud sang pembangkang yang dimaksudnya?
“Apakah ada bedanya sang setia dan sang pembangkang itu Mud?”, tanya saya lagi.
Kini giliran Mahmud pula yang mengatupkan mulutnya. Dalam benak saya bermain, kesetiaan karena pangkat dan jabatan, membangkang karena memperjuangkan kebenaran dan keadilan, memang selalu menjadi pilihan yang sulit dalam kehidupan bernegara ini. Sejarah sudah lebih dulu memberikan opsi atau pilihan-pilihan itu kepada kita semua jika kita mau sedikit mengenang dan menoleh ke belakang. Setia atau mendurhaka?
Hari ini kitapun terjebak dalam pilihan-pilihan itu, opsi-opsi yang memerangkap kita untuk setia atau membangkang, seperti lahirnya Perpu pembubaran ormas yang membuat kita cemas kelak ia akan jadi mesin penggilas, mesti jadi pembangkangkah kita? atau kita sengaja membiarkan ormas itu membangkang untuk berjuang atas nama kebenaran.
Kemudian kebenaran yang seperti apa? Bukan kebenaran-kebenaran seperti peristiwa pembacokan yang dipertontonkan dengan lakonan buruk dan pelakonnya lemah sekali sehingga kita menyaksikannya dengan jengah, Menjadi sebuah komedi yang kemudian berubah menjadi tragedi, uh, ngeri.
Lalu mabuk kepayang, memaksakan kehendak dengan menghilangkan hak-hak politik orang lain dengan alasan memperkuat diri tanpa dasar yang benar, itu adalah pembangkangan mutlak dan itu rasanya telah membiarkan kami kaum jelata menjadi bangkai tapi apakah karena itu kita harus membangkaikan diri kita? mendurhaka, harus menjadi seperti Burung Api yang harus membakar dirinya demi lahir generasi baru lagi, ah, rasanya begitu naïf, kita tak mau luka lama berdarah kembali.
Mahmud masih menggenggam sebuah buku berwarna hitam kuning yang saya ceritakan itu tadi. Buku dengan judul sama dengan namanya “Mahmud Sang Pembangkang”. Saya lihat wajah kawan saya itu seperti ingin segera berteriak “Akulah sang pembangkang itu…akulah sang pembangkang itu!” tapi kemudian tiba-tiba dia saya lihat terduduk lemas, saya tau pasti dia ingat ada kalimat yang pernah diucapkan Bang Rida kepadanya, satu waktu dulu, juga kepada saya.
“Kalaupun dia bodoh, dia tak mampu mengurus negeri yang seluas dan serumit ini, kalian yang pandai-pandai inilah yang menjaganya, jangan biarkan dia sendiri, beri dia masukan untuk kebaikan negeri ini”.
Mahmud kawan saya itu dan juga saya sendiri masih ingat betul suara dari mulut Bang Rida yang keluar dengan kearifannya.
Hujan belum berhenti, saya tinggal sendiri, kawan saya Mahmud sudah jalan pulang ke rumahnya sejak tadi. Saya membaca memberita ada media sosial yang ditutup dengan paksa, ada pasukan media sosial yang mati-matian membela karena dibayar, ada kaum pembangkang yang terpaksa demi demokrasi yang harus terus berkibar. Ada juga status Mahmud yang baru semenit ditulisnya “Pandai tak boleh diikut, bodoh tak bisa diajar”.
Kenapa terlalu mahal kita harus membayar?
*)Sekretaris DPD-Partai Demokrat Kepulauan Riau dan Anggota Fraksi Partai Demokrat DPRD Kepulauan Riau