: Fungsionaris Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat MM Ardy Mbalembout SH MH,CLA bersama bersama kader demokrat dan puluhan lawyer mendatangi Pengadilan Tipikor untuk menemui Firman Wijaya, pengacara Setya Novanto, Selasa (29/1). (Foto: Soeyoto)

Jakarta: Fungsionaris Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat MM Ardy Mbalembout SH MH,CLA  bersama bersama kader demokrat dan puluhan lawyer mendatangi Pengadilan Tipikor untuk menemui Firman Wijaya, pengacara Setya Novanto, Selasa (29/1). Kedatangan itu dikarenakan Firman Wijaya membuat berita bohong dan fitnah di hadapan publik terhadap simbol yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ardy menegaskan, kader Demokrat membantah pernyataan Firman Wijaya dan Mirwan Amir dalam Persidangan Tindak Pidana Korupsi Proyek Pengadaan E-KTP.

“Pada persidangan di Pengadilan Tipikor, Kamis tanggal 25 Januari 2018,  dengan agenda persidangan pemeriksaan saksi, warga kita dipertontonkan oleh kesaksian palsu saudara Mirwan Amir,” ujar Ardy dalam pernyataan tertulis yang diterima web demokrat.

Ardy menegaskan, kesaksian Mirwan Amir tidak berlandaskan pada bukti-bukti yang menguatkan pernyataan tersebut. Atas perbuatannya Mirwan telah melanggar Bab IX tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu, Pasal 242 ayat (1) KUHP “barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Selain itu Firman Wijaya yang merupakan kuasa hukum terdakwa Setya Novanto juga memberikan pernyataan di hadapan media bahwa SBY juga turut andil dalam Perkara Proyek Pengadaan E-KTP. Sperti yang dikutip dari media online Kompas.com tanggal 25 Januari 2018. “Pengacara Setya Novanto, Firman Wijaya menilai, fakta persidangan berupa keterangan saksi telah mengungkap siapa sebenarnya aktor besar di balik proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik ( e-KTP). Berdasarkan keterangan saksi, menurut Firman, proyek e-KTP dikuasai oleh pemenang pemilu pada 2009, yakni Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono. Adapun, saksi yang dimaksud Firman adalah mantan politisi Partai Demokrat, Mirwan Amir”.

Padahal, Ardy memaparkan, kita semua tahu bahwa urusan tender pengadaan tersebut merupakan wewenang dari Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan yang menjabat saat itu. Atas perbuatannya Firman Wijaya dapat di jerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaann dan/atau pencemaran nama baik. Juncto Pasal 45 ayat (1) “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Juncto Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp1 miliar”.Juncto Pasal 45 ayat (2) “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satumiliar rupiah)”. Juncto Pasal 220 KUHP yang berbunyi“Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.” juncto Pasal 310 ayat (1) KUHP yang berbunyi “barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseoarang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana dengan denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.  Juncto Pasal 311 KUHP yang berbunyi “jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkannya itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

Ditambahkan Ardy, hal yang disampaikan Firman Wijaya dan Mirwan Amir tersebut adalah murni sebuah fitnah atau pencemaran nama baik yang dilontarkan kepada SBY karena tidak berdasarkan bukti ataupun petunjuk yang menguatkan pernyataannya.

“Sangat disayangkan Rekan Firman WIjaya menistakan Profesi  Advokat  sebagai profesi yang Mulia “Officium Nobile” hanya karena tidak mampu membela kepentingan hukum kliennya. Saya meminta kepada Ketua Organisasi Advokat yang menaungi rekan Firman Wijaya untuk segera membentuk dewan kehormatan atas dugaan telah terjadi pelanggaran UU Advokat Pasal 6 UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat,” Ardy menekankan.

Opini sesat yang dikeluarkan Firman Wijaya diduga merupakan bentuk dari rasa frustasi terhadap pengajuan untuk mendapatkan fasilitas Justice Colaborator dalam Perkara Proyek Pengadaan E-KTP yang menjerat kliennya.

“Oleh karena itu disarankan kepada Firman Wijaya dalam hal pembelaan klien, harus dilakukan secara profesional, jangan mengulang kembali kesalahan yang secara serampangan membela klien tanpa peduli dengan Kode Etik, UU Advokat serta KUHP dan Juga KUHAP sebagai pijakan kita beracara baik di dalam maupun di luar pengadilan,” kata Ardy.

Demokrat, ujar Ardy, sangat mendukung upaya penegakan hukum yang dilakukan KPK dalam rangka pemberantasan korupsi yang “secara kasat mata” sudah mengetahui siapa aktor utama dalam Kasus E-KTP yang notabene sekarang sedang menjalani proses hukum di Pengadilan Tipikor Jakarta.

(rilis/didik)