Oleh Agus Harimurti Yudhoyono
Ketua Umum Partai Demokrat

Di awal masa pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), saya sempat berdiskusi dengan salah seorang pengemudi ojek online. Setelah mengantarkan pesanan saya, Bapak dari dua anak itu menceritakan bahwa pesanan dan pendapatannya mengalami penurunan tajam. Dia juga menambahkan bahwa istrinya yang bekerja di perusahaan ritel, terpaksa harus kehilangan pendapatan akibat dirumahkan oleh perusahaannya yang berhenti operasi.

Testimoni itu membuat saya berpikir, betapa banyak kelompok masyarakat kita yang begitu rentan terdampak krisis pandemi Covid-19 ini. Di mana kesejahteraan mereka menjadi tidak pasti akibat bayang-bayang dunia usaha yang tertekan situasi. Bahkan, banyak pula pekerja yang terkena PHK namun tidak mendapatkan hak-hak pesangonnya setelah masa pengabdian yang lama. Kondisi ini seolah menjadi kado yang memilukan bagi perayaan ‘Hari Buruh’ nasional di awal Mei ini.

Perayaan May Day

Jika selama ini peringatan May Day dilakukan dengan gegap gempita, melalui mobilisasi dan unjuk kekuatan komunitas pekerja dalam skala besar, peringatan Hari Buruh 2020 kali ini harus dijalankan dengan pembatasan sosial untuk menghindari penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19). Penentuan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh sendiri merupakan kado istimewa yang diberikan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 1 Mei 2013, setelah melalui dialog intens dengan kelompok serikat pekerja. Dialog itu juga menghasilkan perbaikan UU Ketenagakerjaan hingga jaminan sosial melalui skema BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Akhirnya, sejak 1 Mei 2014, para pekerja nasional mendapatkan legitimasi konstitusional untuk merayakan ‘May Day’.

Sebelumnya, perayaan Hari Buruh seringkali dihadapkan pada tekanan politik dan cara-cara represif. Sebab, kelompok buruh dan pekerja seringkali dipersepsikan sebagai ‘kelas sosial proletariat’ yang dikendalikan oleh kelompok borjuis dalam struktur masyarakat industri di negara-negara modern. Sehingga, sejarah pergerakan buruh di Inggris dan Amerika Serikat pada fase-fase awal revolusi industri diwarnai oleh perjuangan untuk mendapatkan hak-hak, kesetaraan dan perlakuan adil dalam dunia kerja.

​Tuntutan kelompok pekerja terus berkembang, mulai dari perjuangan mendapatkan hak bekerja 8 jam sehari, agar terlepas dari sistem perbudakan modern, hingga tuntutan kesejahteran, dan kepastian kerja. Mengingat setiap tuntutan itu berimplikasi langsung pada kemampuan keuangan perusahaan, karena itu seringkali terjadi benturan antara kelompok pekerja dan pengusaha.

Bahkan, sejarah perlawanan serikat-serikat buruh dan pekerja diwarnai dengan berbagai macam pendekatan dan propaganda yang dijalankan melalui pendidikan politik, advokasi dan mobilisasi kekuatan dalam skala besar. Namun dalam sistem politik demokrasi, aspirasi kelompok pekerja ini diwadahi oleh partai politik sebagai kanal-kanal aspirasi agar suara buruh dan pekerja didengar oleh pemegang kekuasaan. Karena itu, hingga kini masih dikenal keberadaan Partai Buruh sebagai salah satu elemen terkuat dalam struktur politik sejumlah negara, seperti di Inggris, Australia, Brazil dan lainnya.

Negara Harus Hadir

Ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan maraknya para pekerja dirumahkan oleh perusahaan, harus segera disikapi secara cepat dan tepat untuk menyelematkan ekonomi negara dan nasib kehidupan para buruh dan pekerja nasional. Jika merujuk pada data Kemenakertrans pada akhir April 2020, setidaknya lebih dari dua juta pekerja formal maupun informal yang terpaksa dirumahkan dan terkena PHK.

Tekanan itu hadir utamanya dari sektor-sektor strategis yang mengalami tekanan besar (potential losers) antara lain; sektor pariwisata, industri transportasi baik darat, laut dan udara, industri keuangan, industri konstruksi, industri otomotif, hingga pertambangan sekalipun. Sejarah migas dunia sempat mencatat bagaimana jatuhnya harga minyak dunia menyentuh level harga negatif akibat kelebihan pasokan global, yang juga dipengaruhi oleh rendahnya permintaan pasar akibat Covid-19 yang menghentikan mesin produksi dan dinamika pasar.

Sementara itu, sektor yang berpotensi tetap mampu bertahan (potential winners) di tengah pandemi terdiri atas sektor logistik, jasa telekomunikasi, elektronik, tekstil, makanan dan minuman, kimia farmasi dan alat kesehatan. Adapun sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan sektor pertanian berada di tengah pusaran, antara mampu bertahan atau tumbang, tergantung pada komoditas barang yang ditawarkan. Tarik menarik antar sektor yang terkategori potential losers dan potensial winners itulah yang menyisakan harapan bagi kelompok buruh dan pekerja.

Dalam situasi ini, negara harus hadir untuk memberikan proteksi yang memadai pada kaum buruh dan pekerja. Karena itu, program-program bantuan dan jaring pengaman sosial harus segera menyentuh kelompok sosial yang rentan terdampak krisis, utamanya para buruh dan pekerja yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Karena itu, alokasi negara Rp 405,1 triliun untuk penanganan Covid-19 beserta dampak sosial dan ekonominya, perlu segera dieksekusi. Utamanya dana Rp 110 triliun yang direncanakan untuk jaring pengaman sosial harus segera terdistribusi secara tepat sasaran. Jangan “pilih kasih”, atau memilah-milah segmen masyarakat berdasarkan identitas dan sikap politik mereka.

Sementara itu, program-program lain laiknya Kartu Pra-Kerja senilai Rp 5,6 Triliun hendaknya dikaji kembali urgensi dan relevansinya. Jika memang tidak memiliki dampak signifikan, saya mendorong agar dana tersebut dialokasikan untuk bantuan langsung pada para buruh dan pekerja yang terdampak, dengan menggunnakan mekanisme yang benar-benar transparan dan akuntabel‬.

Selain itu, saya juga menyoroti dinamika pembahasan RUU Cipta Kerja yang belakangan memunculkan kontroversi. RUU ini memiliki implikasi besar terhadap sistem investasi, dunia bisnis, termasuk menentukan nasib dan masa depan kalangan buruh dan pekerja nasional. Namun sejak awal, kami mendesak penundaan pembahasan RUU ini, agar konsentrasi pemerintah dalam penanganan pandemi tidak terpecah. Sikap ini semata-mata dalam rangka mendukung upaya besar negara dalam menyelamatkan jiwa manusia dari wabah Covid-19 ini.

Kelak saat krisis Covid-19 berhenti dan pembahasan RUU Ciptaker dibahas kembali, saya mendorong agar pembahasan ini juga melibatkan komunitas serikat pekerja. Mereka adalah pihak yang terdampak langsung dari perubahan regulasi ini. Setiap aspirasi dari serikat pekerja dan juga kalangan pebisnis dan dunia usaha, harus dipertimbangkan secara adil agar regulasi ini menghasilkan aturan-aturan yang berpihak pada pembangunan dunia usaha dan juga nasib para pekerja nasional.

Tuan Rumah di Negeri Sendiri

Di tengah ketidakpastian dunia kerja ini, seluruh elemen bangsa harus memprioritaskan tenaga kerja nasional untuk mengisi lapangan kerja seluas-luasnya di tanah air. Sejumlah informasi masuknya rombongan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Sulawesi Tenggara beberapa waktu lalu seolah menjadi ironi. Pemberian porsi dan kuota pekerjaan secara adil terhadap kelompok pekerja nasional, akan terasa sangat berharga di tengah krisis pandemi ini. Kita harus memberi kesempatan bagi tenaga kerja nasional untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.

Ke depan, jalan perjuangan pemenuhan hak-hak buruh memang masih panjang. Kami berkomitmen untuk terus hadir dan memperjuangkan hak-hak dasar para buruh dan pekerja sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawabnya. Saat pembangunan ekonomi meningkat, kesejahteraan buruh yang meliputi perumahan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan dan transportasi untuk anak dan keluarga mereka harus ditingkatkan. Ini adalah tanggung jawab kita bersama. Karena hakikatnya, kita semua adalah buruh dan pekerja untuk Indonesia Raya. Selamat Hari Buruh!

Catatan: Tulisan ini diterbitkan di harian Rakyat Merdeka, Senin 4 Mei 2020