Oleh: Ferdinand Hutahaean*)
Akhir-akhir ini terutama sebulan terakhir, perbincangan publik ramai membahas tentang kenaikan Tarif Dasar Listrik. Memang harus kita akui, suka atau tidak suka, pencabutan subsidi dari 19 jutaan pelanggan 900 VA pasti akan membebani rakyat yang ekonominya belum bertumbuh dan bahkan untuk sekadar bertahan saja sudah terasa sulit.
Pertanyaannya adalah, bolehkan Pemerintah menaikkan harga Listrik, BBM, Gas dan lainnya? Tentu jawabannya boleh. Tapi bukan boleh atau tidak bolehnya yang mau kita bahas kali ini tapi kita mau bahas sisi lainnya yaitu, proses kebijakan, harga biaya produksi listrik dan dampaknya terhadap ekonomi sosial masyarakat.
Baiklah kita urai satu per satu. Yang pertama kita bahas tentang proses kebijakan yang berujung pada keputusan pencabutan subsidi dari sekitar 19an juta pelanggan 900 VA. Kita dudukkan dulu masalahnya supaya terang.
Sesungguhnya Tarif Dasar Listrik saat ini tidak sedang naik tapi tetap di angka Rp.1467,28/ KWh. Apa yang terjadi sehingga ramai tentang kenaikan listrik? Tidak semua pelanggan listrik mengalami kenaikan harga. Pelanggan di luar 900VA tidak mengalami kenaikan sama sekali akan tetapi tetap membayar tarif non subsidi. Yang terjadi adalah, pencabutan subsidi dari sekitar 19an juta pelanggan pengguna daya 900 VA. Dis inilah biang masalahnya karena Pemerintah dengan mengandalkan data yang katanya bersumber dari TP2K menghapus 19 Juta lebih pelanggan PLN dari daftar penerima subsidi sehingga kelompok pengguna daya ini mengalami kenaikan tarif bertahap dari awalnya di harga Rp.605 /KWh bertahap naik menuju harga non subsidi pada 1Juli 2017 Nanti di harga Rp.1467,28/KWh atau harga non subsidi. Kenaikan yang lebih dari 200% secara bertahap.
Yang mengusik kita sesungguhnya adalah, apakah Pemerintah sudah mengkaji dampak dari penyesuaian tarif tersebut terhadap sosial ekonomi masyarakat dan ke mana subsidi yang dicabut itu dialihkan? Nilainya mungkin sekitar Rp2 trilliun setiap bulan.
Menaikkan harga Listrik, BBM, Gas atau apa pun itu bisa dilakukan bila memang keadaan fiskal kita sedang tidak baik atau darurat. Dan untuk menyelamatkan fiskal tersebut, maka kenaikan harga harus ditempuh. Namun kenaikan itu harus dengan proses yang mengkalkulasi semua dampak. Pertimbangan utama adalah beban ekonomi sosial ketika harga dinaikkan. Menaikkan harga tanpa kompensasi ke rakyat kecil adalah tidak manusiawi.
Maka itulah dulu ketika SBY menaikkan harga BBM, Pemerintah SBY telah menyiapkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk menyangga dan menjadi bantalan bagi beban hidup rakyat supaya kemiskinan tidak meningkat.
“Saya tidak mau mencekik rakyat dengan kebijakan. Saya selalu perintahkan menteri-menteri untuk benar-benar siap dengan kebijakan bantalan atau penyangga sebelum menaikkan harga Listrik atau BBM,” begitulah SBY menyampaikan dalam sebuah diskusi tentang proses pengambilan kebijakan semasa pemerintahan SBY.
Apakah pemerintah sudah memperhitungkan dampak pencabutan subsidi Listrik tersebut? Yang pasti jumlah orang miskin akan bertambah, dan ironinya adalah pemerintah ternyata tidak punya kebijakan penyangga untuk menghambat peningkatan jumlah kemiskinan.
Dengan kondisi tersebut, kita jadi patut bertanya, untuk apa dan apa dasar kebijakan pencabutan subsidi tersebut? Jika memang untuk menyelamatkan fiskal, mengapa pemerintah selalu gembar gembor ekonomi baik? Cadangan devisa tinggi? Pertumbuhan ekonomi terbaik?
Fakta dalam kebijakan justru mencerminkan bahwa ekonomi kita tidak sehat, tidak baik, sehingga rakyat harus menanggung beban tersebut. Negara lari dari kenyataan bahwa negara harus memelihara rakyat, padahal harga Minyak Dunia sedang rendah saat ini sebagai komponen utama perhitungan harga produksi.
Berapa sesungguhnya harga Biaya Pokok Produksi listrik kita saat ini?
Mari coba kita membandingkan sedikit masa Pemerintahan SBY dengan Pemerintahan Jokowi. Harga Biaya Pokok Produksi listrik /KWh sangat dipengaruhi oleh harga Minyak Mentah Dunia. Kompenen kedua yang sangat berpengaruh adalah Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar. Kemudian ditambah dengan komponen lainnya hingga keluar harga Biaya Pokok Produksi.
Pada era SBY, harga minyak mentah mencapai rekor tertinggi di angka USD 120/barel dan Nilai Tukar Tupiah terhadap Dolar di kisaran 9 ribuan hingga 10 Ribu. Bandingkan sekarang harga Minyak Mentah di kisaran rata-rata USD 45/barel dengan nilai tukar di 13 ribuan/dolar. Pertanyaan besarnya adalah mengapa harga listrik justru naik? Mengapa subsidi justru dicabut padahal dengan rendahnya harga minyak dunia justru harga dasar listrik selayaknya turun?
Mari kita lihat harga Biaya Pokok Produksi saat ini adalah Rp. 983/kWh (7.39 Sen USD/kWH) sesuai dengan Siaran Pers Kementerian ESDM Nomor: 00042.Pers/04/SJI/2017 tanggal 27 Maret 2017 tentang BPP PLN yang akan berlaku hingga Maret 2018.
Jika Biaya Pokok Produksi sekarang berada di angka Rp.983/KWh, lantas mengapa Pemerintah menjual listrik sebesar Rp.1467,28/KWh? Artinya ada Margin bagi Pemerintah sebesar Rp.484,28/Kwh.
Ini keterlaluan mengambil untungnya. Mirip zaman kompeni era VOC Belanda. Negara harusnya menjual listrik lebih murah dari era SBY dengan turunnya harga minyak dunia. Nikmat yang selalu didustakan rezim berkuasa.
Poinnya adalah harga TDL jauh lebih tinggi dari Biaya Pokok Produksi. Pemerintah mengambil margin sebesar 49% dari Biaya Pokok Produksi. Manusiawikah rezim ini? Sementara dampak sosial ekonominya sangat tinggi yaitu menambah jumlah kemiskinan? Membebani rakyat, sementara pemerintah mengambil untung yang cukup besar dari rakyatnya dari yang seharusnya negara memelihara rakyat.
13 Juni 2017 (di atas Kereta Api Ciremai Menuju Semarang)
*)Komunikator Politik Partai Demokrat