M.A. Hailuki, MSi (dokpri)

Oleh: M.A. Hailuki, MSi*)

Ada yang bilang, politik nasional Indonesia itu sampai kapanpun masih ditentukan oleh peranan militer. Khususnya dalam hal ini adalah TNI Angkatan Darat (AD).

Jika menilik kepada lembaran sejarah, preposisi itu memang ada benarnya. David Jenkins dalam risetnya tentang politik militer di Indonesia selama masa Orde Baru memberikan gambaran betapa aktor utama sistem politik Indonesia adalah tentara.

Begitu juga pada masa Orde Lama, peranan politik tentara begitu kentara. Tumbangnya Demokrasi Parlementer dan berdirinya era Demokrasi Terpimpin berkat sokongan moncong meriam angkatan perang di bawah komando Jenderal A.H. Nasution.

Presiden Sukarno mendirikan Dewan Nasional sebagai payung politik bagi para jenderal penyokong kekuasaannya. Di Dewan Nasional angkatan bersenjata bersama wakil golongan memainkan peranan strategis sebagai penyelamat negara. Ibarat Mahapatih Gadjah Mada mendirikan Andika Bhayangkari yang mempersatukan tentara dengan rakyat, begitu kata Peter Kasenda.

Kemudian memasuki Era Reformasi, kaum militer perlahan mulai mundur dari arena percaturan politik. Namun tetap saja peranannya tak bisa diabaikan, di dalam kabinet Presiden Gus Dur dan Megawati memberi peran kepada sejumlah jenderal sebagai menteri.

Jika pada masa lalu jenderal aktif bisa berpolitik dalam balutan Dwifungsi ABRI, maka kini mereka menjadi barisan para mantan alias pensiunan. Para bintang serdadu berganti baju, berhijrah dari barak tentara ke partai politik.

Hampir semua partai politik di Indonesia dimasuki oleh para pensiunan tentara. Bahkan semenjak dihelat pemilihan langsung pada 2004, setidaknya selalu ada tokoh tentara yang menjadi kontestan dalam pemilihan presiden.

Pada Pilpres 2004 ada Jenderal (Purn) SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla, Jenderal (Purn) Wiranto bergandengan dengan Gus Solah, dan Jenderal (Purn) Agum Gumelar menjadi pendamping Hamzah Haz. Pada Pilpres 2009 muncul penantang baru Letjen (Purn) Prabowo Subianto sebagai pendamping Megawati. Kita semua tahu kedua perhelatan itu dimenangkan oleh SBY.

Lalu pada Pilpres 2014, Letjen (Purn) Prabowo tampil kembali namun bukan sebagai pendamping melainkan capres. Mantan Pangkostrad dan Danjen Kopassus ini sebelumnya pada 2012 dan 2013 sukses mengusung Joko Widodo menjadi Gubernur DKI, Ridwan Kamil menjadi Walikota Bandung, dan Bima Arya sebagai Walikota Bogor.

Tapi ironis, Jokowi yang diusungnya malah berbalik menjadi lawan Prabowo dan tampil menjadi pemenang. Kala itu Jokowi disokong oleh tiga jenderal senior yaitu Jenderal (purn) Hendropriyono, Jenderal (purn) Wiranto, dan Letjen (purn) Luhut Pandjaitan.

Kini Pilpres 2019 keduanya kembali berhadapan. Jokowi masih disokong oleh barisan jenderal yang sama, sedang Prabowo kali ini didukung oleh SBY beserta barisan jenderalnya. Mereka antara lain Marsekal (purn) Djoko Suyanto (mantan Panglima TNI), Jenderal (purn) Pramono Edhie Wibowo (mantan KSAD). Mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Djoko Santoso didapuk menjadi ketua tim perjuangannya. Di luar itu, Letjen (purn) Suryo Prabowo telah lama berdiri pasang badan sebagai ‘tameng hidup’ untuk menghadapi barisan jenderal pendukung Jokowi.

Lalu apa relevansi cerita semua ini? Saya ingin mengatakan bahwa militer masih tetap menjadi kekuatan politik di republik ini. Kita tentu masih ingat pada 2014, Presiden SBY pernah menyitir bahwa ada jenderal aktif yang memihak salah satu kontestan pilpres. SBY kecewa, sebagai tokoh reformis militer mewanti agar para jenderal ‘oportunis’ yang masih aktif itu kembali ke doktrin profesionalisme agar tidak tergoda dengan politik praktis.

Lalu bagaimana dengan netralitas militer pada hari ini? Tentu kita berharap TNI/Polri tetap pada garisnya sebagai garda republik, bukan garda politik. Harap dicatat, bukan deklarasi dukungan ratusan purnawirawan TNI/Polri terhadap Jokowi yang patut kita risaukan.

Karena itu merupakan hak konstitusional mereka sebagai warga negara yang telah beralih status menjadi sipil. Tapi yang kita risaukan adalah jangan sampai ada jenderal aktif di TNI/Polri yang berpihak kepada salah satu kontestan Pilpres. Tentara harus tetap di garis juangnya.

Sebagaimana doktrin Panglima Besar Jenderal Soedirman, “Pelihara TNI, pelihara Angkatan Perang kita, jangan sampai TNI dikuasai oleh partai politik manapun juga.” Merdeka!

*)Kader Muda Partai Demokrat/Tenaga Ahli DPR-RI