Oleh: Jansen Sitindaon*)
Kali ini, serial tulisannya saya beri judul:
–“KLENIK” JAKARTA!!
Lama tidak menyapa akun FB “Jansen Sitindaon” ini. Sesudah sibuk benar selama 1 tahun ini sehingga tidak sempat menulis, hari ini saya kembali punya waktu bisa menulis lagi. Sehingga bisa “mencicil” menuntaskan utang saya kebanyak para pembaca di FB khususnya di akun Jansen Sitindaon. Awal dimana tulisan serial ini mulai muncul. Karena saya punya 2 akun FB. Yang satunya lagi bernama “Jansen Sitindaon Goarna” dimana isinya khusus untuk temanΒ² saya di Dairi, Pakpak Bharat dan Sumatera Utara. Jadi bahasannya lebih “lokal”.
Bagi pembaca budiman yang tidak mengikuti dari awal, ini adalah serial tulisan #MenaklukkanJakarta. Tentu versi saya ya. Tidak ada ukuran benar salah disini. Sekedar ingin berbagi cerita saja khususnya bagi teman-teman perantau dibelakang saya. Jika belum mengikuti #Bagian1 dan #Bagian2 nya silahkan buka link ini:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10213109899447702&id=1400494851
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10213247464366739&id=1400494851
*****
Judul diatas jangan dipolitisir ya. Namanya kita politisi broo.. Jaga-jaga aja. Nanti dipikir kita pemuja klenik lagi. Hehee.. Dibaca dulu sampai habis baru disimpulkan. Jangan-jangan sesudah membacanya, malah temanΒ² akan ikutan menirunya. π
——
Sekarang mari kita masuk ke tulisan:
Tiap orang pasti butuh sebuah keyakinan untuk bisa sukses di perantauan. Keyakinan ini sumbernya bisa dari diri sendiri, bisa juga faktor dari luar. Saya kebetulan tipe “mix”. Perpaduan ke duanya. Selain percaya pada modal kemampuan didalam diri dengan modal kuliah di Airlangga dan Univ. Indonesia, saya juga percaya adanya faktor dari luar.
****
Seperti sudah saya jelaskan diawal tulisan, ini kaitannya spesifik dengan #MenaklukkanJakarta. Kota yang dulu sangat asing bagi saya dan mungkin juga bagi banyak teman-teman diluar sana. Berpikir akan hidup di kota ini saja tidak pernah ada di bayangan. Bahkan dalam mimpi terliar sekalipun. Bisa saja kita semua sama. Dan jikapun ingin ke Jakarta, memulainya tidak tahu harus dari mana.
Memang Jakarta ini ibukota Republik. Tapi dari 260 juta orang Indonesia, setengahnya saja saya yakin belum pernah “nginjak” kota ini. Jakarta bagi anak daerah dan banyak orang Indonesia diluar sana kadang hanya mimpi. Paling jauh hanya bisa dilihat di TV. Atau diceritakan perantau yang pas pulang. Jenis terakhir ini yang sering menjebak. Namanya cerita, isinya pasti beda-beda. Tergantung penuturnya.
Ada yang cerita di Jakarta banyak jambret dan copet. Itu maka kalau tiba Jakarta barang bawaan harus dijaga seketat mungkin, karena disekitar kita itu semua maling mengintai. Ada lagi yang cerita kalau naik Taxi, di Jakarta yang aman hanya Bluebird. Jika naik taksi lain akan di bawa mutar-mutar dan dibawa lari, dll. Tidak sepenuhnya Hoax sih, tapi belum tentu juga benar. Dan banyak cerita lainnya.
Terkait cerita banyaknya copet di Jakarta ini, malah saya sendiri pernah jadi “korban” dan mempraktekkannya. Ketika itu.. pagi di bulan Februari 2005 (awal pertama saya tiba di Jakarta), berarti 14 tahun lalu, kereta api Gumarang yang saya naiki dari Surabaya tiba di Stasiun Gambir, Jakarta. Karena pengaruh cerita tersebut, semua orang yang ada di Gambir ketika itu saya anggap copet. Jadi tas dan kardus-kardus bawaan saya pegang erat. Tidak lepas sedikitpun dari tangan. Seakan emas permata saja isinya. Hahaa..
Padahal isi kardus indomie yang saya ikat itu sebenarnya baju saja. Itupun baju yang sudah lusuh. Biasalah, jenis bajunya anak kuliahan. Lucu juga ingat kejadian itu. Karena bisa saja, orang di Gambir ketika itu yang malah nganggap saya malingnya. Gimana tidak, rambut masih agak gondrong kribo, lusuh lagi. Hehee. Inilah yang dinamakan wajah copet tapi malah was-was dicopet. π
****
Sensasi masuk Jakarta ini sebenarnya ketika pertama kali kita datang dan tiba di kota ini! Ingat itu. Jadi bagi yang akan masuk kota ini untuk pertama kali, ingatlah sensasi yang dirasakan badan dan pikiranmu.
Kalau sensasi awalnya takut dan cemas, menurut saya bagus! Berarti start masukmu di Jakarta dimulai dengan rasa waspada. Dan ini baik. Karena hidup di Jakarta ini memang harus selalu waspada. Semisal harus selalu waspada “disrempet” saingan yang lebih baik dari kita dan akhirnya kita tercampak pulang. Jadi teruslah cemas dan waspada seperti pertama kali kamu menginjak kota ini. Bersama rasa cemas itu kamu akan bertahan di kota ini.
****
Kembali ke cerita “Klenik Jakarta”. Karena itulah thema utama dari tulisan ini. Tidak tahu apa yang terpikir di kepala saya ketika itu, kalau mau sukses di Jakarta ini harus melakukan 3 (tiga) hal dulu. Inilah yang saya katakan faktor dari luar yang mempengaruhi kepercayaan diri. Walau ini “ritual” aneh, tapi jika tidak melakukannya seperti ada yang kurang di badan.
Berikut penjelasannya:
Yang PERTAMA, pergi ke tugu pancoran dan pegang tiangnya. Mungkin terkait ini, secara tidak langsung saya kena pengaruh lagu bang Iwan Fals “Sore Tunggu Pancoran” kali ya. Dimana di lagu ini diceritakan “si Budi kecil yang bekerja menjajakan koran di sekitar tugu Pancoran untuk membiayai sekolahnya”.
Saya ketika itu berpikir, tiap perantau yang masuk ke Jakarta ini adalah “si Budi kecil” itu. Termasuk saya! Kitalah anak kecil yang diceritakan di lagu itu. Yang berkelahi dengan waktu demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu. Jadi “menziarahi” tempatnya si Budi ini (jiarah dalam tanda kutif ya) menurut saya ketika itu wajib dilakukan agar sukses di kota ini. Minimal minta doa restunya Budilah. Yang dalam lagu itu diceritakan berjuang memperbaiki hidupnya.
Walaupun dikemudian hari saya baru tahu, apa yang saya lakukan ini ternyata secara kesejarahan tepat banget! Karena dulu, dulu sekali.. Pancoran inilah tugu pertama yang menyambut para “imigran” ibukota yang masuk dari Bandara Halim Perdanakusuma. Pancoranlah yang pertama menyapa mereka. Karena saya masuknya tidak lewat Halim, maka “pura-puranya”, saya lewat tugu inilah untuk menyapa dia dan dia menyambut saya. Hehe..
Tugu Pancoran ini ketika dulu digagas Bung Karno adalah simbol kuatnya Dirgantara Indonesia. Tentang bangsa yang terbang perkasa di udara. Dan menyapa tugu ini (di alam pikiran saya ketika itu) wajib dilakukan untuk membuat saya selaku perantau bisa juga terbang perkasa di langit Jakarta dan bahkan Indonesia.
Dan sampai sekarangpun jika saya pas lewat tol tengah kota dan melewati tugu ini, dari dalam mobil selalu saya usahakan melihatnya sepintas. Dan tersenyum kepadanya. Dan diapun dalam imajinasi saya tersenyum juga kepada saya.π
****
Yang KEDUA, dikesempatan pertama tiba di Jakarta wajib ke Monas. Dan jika bisa, ambil apapun yang berbau Monas atau yang ada disekitar Monas untuk disimpan. Tapi tidak boleh terlalu jauh dari tempat berdirinya Tugu ini ya. Nanti energi “ke-Monasannya” tidak kuat. Hehe..
Contohnya: bisa rumputnya, batu yang ada disekitarnya, atau apapunlah yang bisa digenggam, dibawa dan disimpan. Keyakinan saya ketika itu: Monas inilah Jakarta itu. Jakarta ya Monas. Dengan menggenggam apapun yang berbau Monas, berarti kita telah menggenggam minimal sedikit bagian Jakarta. Namanya keyakinan brooo… jangan dirasionalkan. Hehee..
Pertanyaannya kemudian, benda apa berbau Monas ini yang saya bawa pulang? Disinilah unik sekaligus mungkin beruntungnya saya. Ketika saya ke Monas 14 tahun lalu, ternyata pas ada keramiknya yang copot dan pecah. Pecahan keramiknya inilah yang saya bawa pulang dan simpan. Pecahan keramik yang menempel langsung di badan Monas. Itulah mungkin yang membuat saya sekarang kukuh dan kuat seperti batu keramik itu. Haha.. sok pede namanya ini. π
*****
Yang KETIGA, mandi dikolam Bundaran HI. Jika tidak mungkin dilakukan, minum airnya dikit. Jika itupun masih ragu dilakukan, minimal duduklah dipinggir kolamnya itu walau sebentar dan pegang-peganglah airnya.
Keyakin saya ketika itu, “Danau Indonesia” itu ya kolam Bundaran HI ini. Jika bisa berenang disini berarti kita sudah “me-renangi” Indonesia. Hehe..
Jangan dikira kolam bundaran HI tidak dalam lo brooo.. FYI: dalamnya kolam HI ini sekitar 1,8 Meter! Hari ini, karena lokasinya, inilah mungkin kolam penampung air paling mahal di Indonesia. Harga semeter tanahnya saja mungkin sudah ratusan juta.
Terkait “ritual” kolam Bundaran HI ini saya menjalaninya 2 tahap. Tidak bisa sekali jalan langsung tuntas semua. Mengambil air bundaran HI untuk diminum dikit dan duduk dipinggir kolamnya, ketika itu saya lakukan sekaligus.
Tapi untuk mandi atau nyebur di kolam ini, saya harus menunggu waktu hampir 1 atau 2 tahun lebih. Baru bisa menuntaskannya. Saya lupa, apakah di perayaan tahun baru 2006 atau 2007. Tapi yang pasti momentnya di perayaan tahun barulah saya akhirnya bisa nyebur di kolam Bundaran HI ini. Karena bebas. Kalau semisal sekarang kita sendirian kesana dan tiba-tiba nyebur, dipikir orang gila kita broooo.. bukannya untung malah buntung. Bisa-bisa malah ditangkap dan diamankan Satpol PP nya pak Anies Baswedan. π
Tapi bagi yang keyakinannya untuk sukses di Jakarta ini malah harus ditangkap Satpol PP dulu, silahkan saja sekarang coba nyebur ke kolam Bundaran HI. Nanti saya tunggu beritanya di TV. hahaa.. ππ Kalau saya sih tidak se-ekstrim itu ya.
Jadi tuntas sudah “ritual” saya menjalani 3 tempat ini dan melakukan segala hal sebagaimana ada dalam pikiran saya ketika itu.
*****
Saya baru sadar, ternyata 3 tempat yang saya jalani itu, semua “peninggalan” yang digagas dan dibangun oleh Bung Karno. Monas, Tugu Pancoran dan Bundaran HI Tugu Selamat Datang.
Saya yakin 3 tempat ini bukan hanya melekat di pikiran saya, namun juga di ratusan juta orang Indonesia di luar sana yang bahkan belum pernah ke Jakarta. Karena 3 tempat ini memang sangat sering masuk TV. Dan gambarnya terpampang dimana-mana. Diluar macetnya, bicara “top of mind” mengenai Jakarta, orang daerah pastilah akan menjawab salah satu dari 3 tempat itu. Utamanya Monas.
Mungkin itu jugalah yang mempengaruhi pikiran saya ketika itu mengapa harus ke 3 tempat itu dulu sebelum memulai aktifitas di perantauan Jakarta ini. Karena di kepala, 3 tempat ini memang melekat. Dan mendatanginya menjadi sebuah keharusan. Karena jikapun resiko paling buruk terjadi semisal saya gagal dan terusir dari Jakarta, minimal 3 tempat “landmark-nya” Jakarta bahkan Indonesia ini sudah pernah saya jalani. Minimal sudah bisa jadi modal cerita di kampung lah. Hehe..
*****
Bagi yang membaca tulisan ini, ayo angkat tangan siapa yang sudah pernah ke Monas? Atau berdiri dibawah tugu Pancoran megang tiangnya? Atau duduk dipinggir kolam Bundaran HI sambil minum kopi “starling”, starbuck keliling yang banyak beredar di sekitaran HI itu?
Bagi perantau.. kalau selama bertahun-tahun anda tinggal di kota ini hanya sekedar melewatinya saja, maka saya katakan anda belum sah ber-Jakarta brooo.. haha.. Enggaklah.. guyonnn. Jangan dimasukkan hati. Namanya keyakinan, tiap orang bebas punya keyakinan masing-masing. Keyakinan saya ketika itu, ya harus datang ke 3 tempat itu. Itu saja!
Apakah sampai saat ini saya masih bertahan di Jakarta akibat telah mendatangi 3 tempat itu? Jawaban jelas tidaklah! Kunci utama bertahan di Jakarta ini tetap kerja keras dan cerdas, serta jangan gampang terikut gaya hidup Jakarta atas nama “mau sok gaya”.
Jika kondisi kantong anda masih pas-pasan, belum stabil-stabil banget, jalani saja keadaan itu secara normal dulu. Tak usah mau “sok-sok”an parlente. Kalau hanya untuk sekedar “kebutuhan hidup”, saya jamin Jakarta akan mencukupkannya. Itu pengalaman saya!
Warteg yang bertebaran diseluruh Jakarta ini sudah lebih dari cukup untuk buat kita tetap hidup. Sekali makan cuma 10 ribu rupiah. Dengan lauk mimimalis tapi menyehatkan sudah bisa buat kita bugar kembali mengejar mimpi! Tapi kalau untuk menopang “gaya hidup”, berapapun yang diberikan Jakarta ini tak akan pernah cukup. Ini penting dicatat oleh para perantau yang baru datang.
Saya saja sesudah tinggal 5 atau 6 tahun di Jakarta ini, baru menyentuh makanan yang namanya “steak”. Yang jenisnya bermacam-macam itu. Dari terderloin-lah, sirloin dan berbagai jenis lainnya yang sampai sekarang saja masih sulit diucapkan oleh mulut saya dan bahkan tidak tahu perbedaannya dimana.
Gimana tidak, sekali makan steak apalagi yang dagingnya impor, minimum kita sudah harus keluar uang diatas 300 ribu. Belum lagi ditambah minumnya dan lain lain. Kalau duit itu dipakai makan di warteg, sudah bisa untuk 20 kali makan bro! Dan jelas lagi kenyangnya. Bukan kenyang “tipu-tipu” seperti makan steak. Hehee.
Tapi itu kan dulu. Kalau sekarang sih, makan steak 2 kali seminggupun sudah mampulah saya. Tapi ya tetap tidak kenyang juga. Ujungnya pasti tetap lari ke warteg atau padang lagi seperti dulu ketika awal merantau. Sungguh beruntung saya punya perut yang doyannya hanya padang dan warteg ini. Tidak berat di ongkos.. Hahaa π
*****
Penutup:
Ditahap awal, seperti sudah saya sampaikan diatas dan disemua tulisan serial, jalani saja hidup anda di Jakarta ini apa adanya. Tak usah “neko-neko” sok bergaya gaya. Perantau dari kampung memang harus mengurangi bergaya gaya ini. Nanti aja itu kalau sudah sukses. Tahap awal kalau mau minum kopi misalnya, minum aja kopi kapal api 2 ribu perak itu. Murah meriah dan daya tahan tidak ngantuknya juga sama kok dengan yg mahal-mahal merek Amerika itu. Dan terakhir, kunci Jakarta ini adalah: konsistensi dan daya tahan. TemanΒ² jangan gampang rubuh dan “cengeng” karena diterjang keadaan. Sedih itu boleh saja, tapi cukup didalam kamar ketika kita berdoa kepada Tuhan. Diluar kamar kita harus terlihat garang kembali.
****
Terakhir dari saya, ini untuk perantau yang udah lama-lama.. Jika anda sudah kerja keras bertahun-tahun di Jakarta ini, hidup tidak juga beranjak dari titik awal, mungkin perlu juga anda pikirkan untuk “menziarahi” 3 tempat yang saya sebutkan diatas. Ini mah namanya ke anjuran klenik lagi brooo.. hahaa.. πππ
Salam sehat untuk kita semua..
Horassss..
JANSEN SITINDAON
NB: ditulisan berikutnya saya akan bercerita tentang “LIKA LIKU MENCARI KERJA DI JAKARTA”.
#AnakSidikalang
#AnakDairi
*) Jansen Sitindaon adalah Komunikator Politik DPP-PD dan Ketua Departemen Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum DPP-PD
Tulisan ini sudah dimuat di
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=411853163049977&id=100026758892770