Oleh: Ferdinand Hutahaean*)
ADA yang menarik perhatian sedari kemarin hingga pagi ini di jagad media sosial. Ditambah perbincangan kami dengan sekelompok pengemudi ojek yang sedang duduk sambil menikmati sarapan pagi di sebuah warung pinggir jalan.
Kenikmatan luar biasa karena ada kebersamaan hangat antara kami dalam perbincangan yang sesungguhnya menambah rasa penasaran tentang kondisi kebatinan di tengah publik.
Ada kerinduan terucap atas sosok bernama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI ke-6 (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014) yang saat ini menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
Sambil menyeruput kopi dan melepaskan asap rokok ke atas, lelaki di sebelah saya bekata kepada temannya, “Apa-apa semua di masa sekarang serba sulit, nyari makan susah, hukum dipermainkan, lebih enak dulu zaman SBY. Ke mana ya sekarang Pak SBY?”
Bagi saya pertanyaan terakhir itu adalah wujud kerinduan pada sosok SBY dan era di masa 10 tahun SBY.
Saya menjadi teringat ketika dua hari lalu bertemu dengan SBY. Beliau juga menyatakan beberapa kalimat yang sangat menggugah rasa. Kalimat kecintaan kepada semua. Kecintaan kepada bangsa dan kecintaan kepada rakyat. Namun karena alasan tertentu, SBY belum bisa hadir selalu bersama rakyat untuk menunjukkan kecintaannya.
Ini hanya masalah waktu. Akan ada dan tiba waktunya SBY berada di tengah kerumunan masyarakat untuk saling menguatkan. Menjadi rantai kuat untuk mengikat bangsa dalam bingkai kebersamaan, keadilan, kebhinnekaan, kebebasan, makmur dan sejahtera. Itulah cita-cita Demokrat.
Ini menjadi seperti gayung bersambut. Kecintaan SBY kepada rakyat dan kerinduan rakyat kepada SBY menjadi energi positif untuk semakin memacu kita dekat dengan rakyat, memacu kita untuk semakin melayani rakyat, memacu kita untuk semakin perduli, dan memacu kita untuk menjadi solusi bagi rakyat.
Lewat tulisan singkat ini, saya ingin meneruskan kerinduan rakyat kepada SBY. Saya ingin menghantarkan kerinduan rakyat kepada SBY. Saat ini kerinduan besar dari rakyat untuk SBY tersampaikan dari lorong dan gang sempit, dari desa dan dusun, dari lembah dan bukit, dari balik tembok tinggi dan dari antara kesusahan rakyat. Kerinduan itu kuhantarkan melalui tulisan ini.
Dan melalui tulisan ini jualah, saya ingin mengirimkan pesan kecintaan SBY kepada semua. Pesan kerinduan SBY untuk rakyat. SBY tidak pernah melupakan rakyatnya yang dicintainya dengan sangat.
Saya yakin, SBY akan hadir menyapa dan mengunjungi rakyat sebagai wujud cinta kepada rakyat. SBY akan hadir membaur bersama rakyat karena SBY datang dari rakyat dan akan tetap bersama rakyat untuk menjadi solusi. Peduli kepada rakyat dan akan selamanya dekat dengan rakyat.
Kembali kepada lemparan kalimat lelaki di sebalah saya, saat ini kita memang menyaksikan bagaimana kondisi ekonomi, politik, dan hukum sedang menghadapi cobaan dan ujian. Ekonomi sedang melambat. Politik menjauh dari nilai demokrasi. Hukum meninggalkan kebenaran.
Menjadi wajar kemudian jika publik merasa saat ini adalah sebuah era dimana perjuangan mencari hidup semakin berat. Perjuangan dalam berkompetisi semakin berat karena kompetitor tidak hanya berasal dari dalam, akan tetapi juga dari luar.
Saya bisa memaklumi kerisauan jagad publik atas kondisi ini. Saya menjadi bisa menerima, mengapa rakyat dan publik kemudian menjadi rindu situasi masa lalu, di era SBY 10 tahun. Bahkan tidak sedikit yang kemudian menjadi rindu era 32 tahun Soeharto. Kondisi sulit telah menjadikan kerinduan itu beralasan.
Di sela kewajiban politik untuk mengawal dan mensukseskan pemerintahan ini hingga 2019 dengan baik, SBY bersama Partai Demokrat, yang menjadi partai penyeimbang saat ini, memastikan akan hadir untuk rakyat, untuk semakin dekat dengan rakyat, semakin peduli dengan rakyat dan bersama-sama seluruh kader dan simpatisan Demokrat akan menjadi solusi bagi rakyat, solusi bagi bangsa.
Akhir kata… kerinduan kepada SBY dan Kecintaan SBY kepada semua menjadi satu dalam tulisan ini. Publik tentu menunggu SBY menyapa rakyat dengan bahasa cinta dan bahasa seorang negarawan.
*)Komunikator Partai Demokrat
(dik)