DI tengah kegagapan menghadapi pandemi Covid-19, masyarakat Indonesia justru dihadapkan pada wacana kontroversial tentang pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). RUU itu kini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020–2024, dengan status RUU inisiatif DPR.
Berkaitan dengan hal itu, reaksi penolakan sejumlah pihak, mulai Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), hingga sejumlah purnawirawan TNI-Polri, hendaknya sudah cukup menjadi landasan berpikir untuk menolak pembahasan RUU tersebut di tingkat lanjut. Sebab, RUU HIP ini memang memuat sejumlah poin-poin kontroversial dan memiliki kelemahan mendasar yang punya implikasi besar terhadap arah demokrasi dan persatuan bangsa.
Pertama, kehadiran RUU HIP jelas akan memunculkan ketum pangtindihan (overlapped) dalam sistem ketatanegaraan. Sebab, ideologi Pancasila merupakan landasan pembentukan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 atau konstitusi negara, yang melalui RUU HIP ini justru diturunkan derajatnya untuk diatur oleh undang-undang. Jelas ada kekeliruan logika berpikir disini. Jika proses itu diteruskan, Pancasila tidak lagi menjadi sumber nilai-nilai kebangsaan, tetapi justru direduksi menjadi aturan-aturan teknis yang berpotensi memfasilitasi hadirnya monopoli tafsir nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Hal itu, jika terjadi, berpotensi memfasilitasi hadirnya monopoli tafsir Pancasila, yang pada akhirnya akan melegitimasi hadirnya kekuasaan yang antikritik dan tidak demokratis.
Kedua, selain cacat secara yuridis, RUU HIP ini cacat interpretasi karena cenderung mengesampingkan aspek historis, filosofis, dan sosiologis. Salah satu indikator paling sederhana yang mudah dilihat adalah RUU ini tidak memuat Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme. Padahal, hal itu merupakan landasan historis dalam merumuskan bagaimana Pancasila menjaga titik temu perbedaan, membangun persatuan, dan menolak kekejaman akibat penyalahgunaan kekuasaan.
Selama ini, peringatan Hari Kesaktian Pancasila harus dimaknai sebagai peneguhan komitmen bangsa untuk menempatkan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup, dan ideologi yang mempertemukan berbagai macam perbedaan ideologi. Sementara itu, berdasar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, kedudukan Tap MPR berada di atas UU. Artinya, Ketetapan MPRS XXV/1966 seharusnya diletakkan sebagai spirit dan juga lan dasan hierarkis, yang menjadi basis pijakan bagi hadirnya RUU semacam ini.
Ketiga,RUU HIP juga memunculkan keresahan besar, terutama di kalangan umat Islam, yang seolah menciptakan haluan sendiri yang sangat bertolak belakang dengan pokok-pokok haluan Pancasila yang selama ini disepakati para pendiri bangsa. Bahkan, sejumlah pihak dari perwakilan organisasi sosial keagamaan seperti PB NU, PP Mu hammadiyah, MUI, hingga ICMI juga menangkap adanya kecenderungan RUU HIP ini memuat nuansa ajaran sekularistik atau bahkan memfasilitasi ateistik. Pandangan itu berawal dari hadirnya pasal 7 ayat 2 RUU HIP yang berbunyi, ’’ …ketuhanan yang berkebudayaan…”, yang seolah mengingkari kesepakatan yang sudah dibuat oleh pendiri bangsa, untuk tetap memegang teguh NKRI berdasar spirit Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika ruang diskusi ini dibiarkan tidak terkendali hingga menjadi bola liar di akar rumput, substansi yang dibawa RUU HIP berpotensi mendorong munculnya konflik ideologi, polarisasi sosialpolitik, hingga perpecahan bangsa yang lebih besar.
Parlemen dan pemerintah seharus nya mengambil pelajaran penting dari gejala-gejala politik yang tidak sehat yang sempat muncul di masa awal kemerdekaan atau bahkan saat pilkada DKI Jakarta (2016) serta pilpres beberapa waktu lalu, yang seolah memfasilitasi hadirnya pertentangan ideologis dan politik identitas yang jelas tidak sehat bagi tatanan demokrasi bangsa.
“Upaya peneguhan dan pengamalan Pancasila pada RUU HIP ini justru akan menjauhkan diri dari implementasi Pancasila itu sendiri. Selain itu, kontroversi RUU HIP ini mengalihkan perhatian negara dan masyarakat yang seharusnya lebih fokus pada penanganan pandemi Covid-19.”
Keempat, adanya upaya memeras Pancasila menjadi trisila atau ekasila juga jelas bertentangan dengan spirit Pancasila yang seutuhnya. Sebab, hal itu akan membuat negara ini hanya berpijak pada pilar sosial dan politik dan berfokus pada elemen kegotongroyongan saja. Perdebatan yang tidak produktif ini hendaknya dihentikan. Seharusnya bangsa Indonesia lebih fokus pada upaya mengisi dan menjalankan nilai-nilai Pancasila secara nyata, yang disertai keteladanan para penyelenggara negara dan ke taatan seluruh warga negara Indonesia dengan tetap membuka ruang demokrasi dan kebebasan pendapat untuk meng ingat kan satu sama lain (checking and balancing).
Karena itu, upaya peneguhan dan pengamalan Pancasila pada perangkat perundang-undangan (RUU HIP) yang kontroversial ini justru akan menjauhkan diri dari implementasi Pancasila itu sendiri. Selain itu, kontroversi RUU HIP ini justru mengalihkan perhatian negara dan masyarakat yang seharusnya lebih fokus pada penanganan pandemi yang terbukti telah membuat kesehatan public dan ekonomi negara menjadi rapuh. Karena itu, RUU HIP ini merupakan produk RUU yang sama sekali tidak urgen untuk dibahas ke tahapan berikutnya. Sebab, selain tidak banyak manfaatnya, RUU ini justru berpotensi menghadirkan mudarat yang lebih besar berupa pertentangan ideologis yang lagi-lagi bisa membelah masyarakat Indonesia.
Saat ini, konsentrasi negara sebaiknya diarahkan untuk fokus pada upaya penanganan pandemi Covid-19 yang hingga kini belum menunjukkan tren penurunan sama sekali. Kesehatan publik dan penyelamatan ekonomi negara lebih urgen dan bermanfaat daripada perdebatan RUU yang tidak relevan seperti HIP ini. Karena itu, seluruh elemen sosial, politik, dan termasuk ormas keagamaan perlu menyatukan langkah dan gagasan.
Upaya itu perlu dilakukan untuk mengawasi proses politik legislasi di parlemen agar pembahasanpembahasan hal fundamental seperti ini dapat dikawal dengan baik. Sehingga tidak terjadi praktik penyelundupan pembahasan undangundang yang seolah tercerabut dari aspirasi publik karena pembahasan RUU yang tidak melibatkan public atau bahkan substansinya tidak dikehendaki oleh rakyat Indonesia itu sendiri. (*)
Agus Harimurti Yudhoyono
Ketua Umum Partai Demokrat
Dimuat oleh Harian Jawapos