Foto Ilustrasi: sejumlah anggota DPR berdiskusi ketika skors Rapat Paripurna ke-9, antara lain membahas Perpu Ormas, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (24/10/2017). (ANTARA /Wahyu Putro A)

Oleh: Ferdinand Hutahaean*)

Pertarungan kekuatan politik dan pertarungan diplomasi di DPR serta di ruang publik kemarin pada akhirnya tiba di muara politiknya. Perpu Ormas No 2 tahun 2017 akhirnya resmi disahkan oleh DPR menjadi UU.

Perdebatan pemikiran, gagasan dan prinsip tercurah di hampir semua lini masyarakat terkait pengesahan Perpu Ormas. Lobi antar-fraksi di DPR serta diskusi terbuka di publik pun pada akhirnya tiba di muara politiknya. Diwarnai unjuk rasa sebagai pernyataan sikap dan aspirasi di depan Gedung DPR pun harus juga tiba di ujung jalan politiknya. Sah! Perpu Ormas jadi UU. Langkah awal berakhir sementara. Yang mendukung Perpu merasa berhasil dan yang menolak Perpu mungkin merasa kalah, meski ini bukan akhir segalanya.

Yang menarik dari semua pertarungan dan perdebatan itu, adalah sikap Partai Demokrat yang paling dilihat dan dicermati publik. Meski dengan banyak pertanyaan yang bernada miring dan negatif, tapi tidak sedikit juga yang memuji langkah Demokrat. Hal ini terjadi karena memang publik atau masyarakat terbelah menyikapi Perpu Ormas yang secara nyata memang banyak mengandung pasal-pasal yang tidak mengindahkan HAM, Hak Berserikat dan kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip penegakan hukum.

Polarisasi masyarakat inilah yang mungkin menjadi pertimbangan bagi Demokrat untuk mengambil langkah memunculkan opsi baru dalam Pandangan Fraksi kemarin pada Paripurna DPR. Dari berbagai diskusi yang sering kami ikuti dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, memang sering terlontar kegelisahan atau keresahan akan timbulnya perpecahan dan konflik horizontal di tengah masyarakat yang memang semakin terpolarisasi belakangan.

Pertarungan stigma “Pancasila vs anti-Pancasila” serta “NKRI vs anti-NKRI” yang dikumandangkan pemerintah turut menyumbang percepatan polarisasi masyarakat. Stigma itu kemudian sekarang gayung bersambut dengan munculnya istilah “pribumi”. Ini bukan sesuatu yang muncul begitu saja, semua ini muncul karena ketidakadilan yang selama ini makin meningkat.

Polarisasi yang harus diwaspadai dengan sangat oleh semua pihak. Apa pun itu, saat ini stigma “Pancasila vs anti-Pancasila” telah dianggap atau dinilai kelompok bukan pemerintah adalah istilah karya penguasa dan kaum minoritas suku maupun kaum minoritas agama. Sementara istilah “pribumi” dinilai adalah stigma kaum mayoritas untuk psywar atau perang psikologis dengan kelompok stigma “Pancasila vs anti-Pancasila”. Ini bahaya. Masyarakat dipecah oleh pihak yang justru harus menyatukan. Pancasila seharusnya menyatukan, bukan memisahkan. Pribumi harusnya mengayomi hukan menakuti. Konflik berbasis identitas sangat potensial terjadi, dan ironisnya pemerintah menjadi bagian dari percepatan polarisasi tersebut.

Inilah yang mungkin dilihat Demokrat. Ada polarisasi yang akan makin tajam dan keras terutama akibat Perpu Ormas. Demokrat tidak ingin masuk menjadi bagian polarisasi tapi ingin tetap di tengah untuk menyatukan kiri dan kanan. Menyatukan seluruh komponen bangsa dengan berusaha menempuh langkah bijak meski dengan taruhan politik yang tak kecil, salah satunya dicap abu-abu dalam bersikap. Penilaian yang tentu bisa dimaklumi karena muncul dari kekurangpahaman tentang posisi Demokrat sebagai partai tengah yang nasionalis-religius.

Dari Pandangan Fraksi Demokrat jelas bahwa ada beberapa hal yang dianggap tidak sesuai kaidah oleh Demokrat dalam Perpu maka harus direvisi. Dengan pertimbangan, andaipun langsung menolak, Perpu tetap akan disahkan karena kalah jumlah dengan pendukung Perpu. Maka Demokrat mengambil sikap jalan tengah, mengajukan revisi beberapa poin yang tidak disetujui oleh Demokrat, dan Pemerintah menyatakan setuju untuk merevisi dalam Prolegnas 2018 dan menjadikannya prioritas.

Sikap inilah yang kemudian menjadi perdebatan di luar. Banyak yang bertanya, ada apa dengan Demokrat? Bukankah awalnya Demokrat menolak Perpu? Tentu hingga saat ini Demokrat menolak sebagian isi Perpu sehingga minta direvisi. Ini wajib hukumnya. Demokrat juga melihat bahwa perlu ada UU yang menjaga kebinekaan dan menjaga Indonesia dari upaya apapun yang tidak sesuai Pancasila atau bahkan yang ingin mengganti ideologi negara.

Di satu sisi Demokrat mendukung pemerintah menjaga kebinekaan. Di sisi lain, Demokrat juga tidak ingin pemerintah otoriter dalam menindak pelanggaran apalagi memberangus ormas tanpa proses penegakan hukum selayaknya. Demokrat tidak ingin Ormas apa pun dibubarkan tanpa proses pengadilan. Itulah mengapa Demokrat mengambil sikap setujui Perpu dengan Revisi.

Pertanyaannya, bagaimana jika Pemerintah tidak juga melakukan revisi? Ini akan menjadi pertarungan politik yang menarik dan akan mengejutkan. Kita tunggu langkah politik dari Demokrat yang akan menjawab keraguan publik, dan sekaligus pembuktian apakah sikap Demokrat salah atau tepat.

Berpolitik memang penuh langkah strategis dan taktis yang tentu tidak mungkin menyenangkan dan memenuhi hasrat politik semua pihak karena politik selalu bertarung dalam ruang atmosfir perbedaan antara kawan dan lawan politik.

Tidak mungkin politik tanpa perbedaan, karena hanya kediktatoran yang memaksa keseragaman dalam politik.

Jakarta, 25 Oktober 2017

*)Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat