Oleh: M Zakiy Mubarok*)
The unexamined life is not worth living (Hidup yang tidak dikaji tidak layak untuk dijalani). Ini adalah pernyataan Socrates dalam persidangannya dikutip Charles Moore dalam Margaret Thatcher The Authorized Biography (Bentang : 2014).
Masa jabatan Dr TGH M Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) masih tersisa kurang lebih setahun lagi. Tapi perbincangan tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi NTB 2018, seolah tak bisa dibendung lagi. Ada banyak nama/figur yang muncul untuk melanjutkan kepemimpinan di daerah ini. Satu diantara nama/figur itu adalah Siti Rohmi.
Munculnya Siti Rohmi, lengkapnya Hj Siti Rohmi Djalilah (SRD), patut diperhitungkan secara politik karena beberapa sebab. Antara lain pertama, karena–sampai tulisan ini dibuat–SRD menjadi satu-satunya nama yang muncul dari kalangan perempuan terkait kontestasi Pilkada NTB 2018 mendatang. Kedua, SRD adalah kakak kandung TGB, yang telah memberikan “cita rasa sedap” pada proses pembangunan sosial kemasyarakatan dalam sepuluh tahun terakhir di daerah ini.
Pertanyaannya, mengapa faktor “perempuan” dan “hubungan saudara kandung” dengan TGB, yang melekat pada diri SRD sampai kapan pun, bisa menjadi sebab SRD patut diperhitungkan secara politik? Dan seberapa efektifkah sebab itu menjadi modal awal yang penting bagi SRD untuk menuju kursi NTB 1 di 2018?
Untuk menjawab pertanyaan itu, ada satu artikel opini yang pernah ditulis Arya Budi di Kompas 15 November 2016. Tulisan yang menyoroti kekalahan Hillary Clinton pada Pemilu di AS, itu dikatakan, kekalahan isteri Bill Clinton itu sebagai Paradoks Politik Perempuan. Bahkan jika dikaitkan dengan fenomena bangkitnya politik perempuan di Asia dan dunia, maka kekalahan Hillary adalah kemunduran (untuk tidak mengatakan kegagalan) demokrasi di AS. Dia menyebutkan beberapa contoh pemimpin perempuan sebagai tanda kebangkitan itu. Di Jerman, katanya, ada Angela Markel. Inggris punya Theresia May. Sheikh Hasina Wajed dan Bagum Khaleda Zia (Bangladesh). Chandrika Kumaratunga (Sri Lanka). Indira Gandhi dan Sonia Gandhi (India). Benazir Bhuto (Pakistan). Makiko Tanaka (Jepang). Park Geun-hye (Korea Selatan). Tsai Ing-wen (Taiwan). Corazon Aquino dan Gloria Macapagl Aroyo (Filiphina). Megawati (Indonesia). Wan Azizah (Malaysia). Dan Aung San Suu Kyi (Myanmar).
Masih dalam tulisannya, Arya Budi, menegaskan, secara praktik, mayoritas pemimpin perempuan itu lahir dari rahim dinasti politik. Dalam arti, mereka mewarisi sumber-sumber simbolik kepemimpinan anggota keluarganya.
Nah, kalau kita “rela” merujuk pada tulisan Arya Budi itu, maka munculnya nama SRD menjadi menarik dan pantas untuk dipertimbangkan dalam kontestasi politik Pilkada NTB 2018. Selain perempuan, dalam diri SRD juga melekat sumber-sumber simbolik kepemimpinan itu, baik dari kakek, orang tua maupun saudaranya. Saya menyebut itu sebagai “dinasti berkah”. Atau dengan kata lain, perempuan bukan penghalang. Garis keluarga bukan pantangan.
Buku Natural Leader karya Mark Van Vugt & Anjana Ahuja (KPG : 2015), menyebut, dalam hal analisis kepemimpinan, ada beberapa cara untuk membedahnya. Kita bisa memusatkan perhatian kepada kualitas orang yang memimpin, cara dia berperilaku, situasi yang dihadapinya, atau hubungan antara pemimpin dengan para pengikutnya. Dan secara umum, semua perspektif yang berlainan itu menghasilkan sekitar sepuluh teori berbeda mengenai kepemimpinan yang aspek-aspeknya bisa dipadupadankan untuk menjelaskan pemimpin tertentu. (Kesempatan berbeda akan kita uraikan)
SRD sesungguhnya bukan sekadar “perempuan biasa”. Dan tidak pula hanya sekadar memiliki “keberkahan dinasti” semata. Secara pribadi, SRD memiliki track record yang baik dalam hal kepemimpinan. Baik saat menjadi Ketua DPRD Kabupaten Lombok Timur maupun saat ini sebagai rektor di perguruan tinggi. Beberapa syarat sebagai pemimpin dimiliki oleh SRD antara lain, intelektualitas, kapasitas, dan tegas.
Wallahu a’lam bishawab.
*)Direktur Eksekutif DPD Partai Demokrat NTB 2011-2016