Agus Harimurti Yudhoyono (instagram)

Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono*)

Asia Pasifik adalah rumah dari lebih dari setengah penduduk dunia dan kawasan yang paling dinamis. IMF memproyeksikan kawasan ini terus akan menjadi pemimpin pertumbuhan ekonomi dunia, dengan pertumbuhan mencapai 2% di 2017 dan 5,4% di 2018.

Jalur ekonomi laut Asia-Pasifik memainkan peranan vital dalam perdagangan global. Hampir setengah dari perdagangan laut dunia melewati jalur-jalur ini tiap tahunnya dan 8 dari 10 pelabuhan tersibuk di dunia terletak di kawasan ini.

Tingginya permintaan pasar domestik dan pasar keuangan yang relatif tangguh, terutama di negara-negara dengan perekonomian yang maju, membuat kita dapat bertahan ketika terjadinya turbulensi ekonomi global akhir-akhir ini.

Meskipun secara keseluruhan trennya positif, gambaran secara jangka pendek dan jangka panjang masih dipenuhi ketidakpastian dan risiko. Beberapa tantangan ini diantaranya termasuk reformasi struktur ekonomi untuk mendukung pertumbuhan, perdagangan dan investasi; faktor demografi seperti menajemen urbanisasi yang efektif dan begitu juga populasi yang menua, serta faktor-faktor geopolitik.

Dalam beberapa dekade terakhir, kawasan Asia Pasifik tengah menikmati periode yang relatif damai atau tidak adanya konflik besar antar-negara di kawasan. Meskipun begitu, ketegangan tetap ada.

Saat ini, Asia Pasifik menjadi rumah dari empat negara dengan senjata nuklir, yaitu; Tiongkok, India, Pakistan, dan Korea Utara. Di tahun ini saja, kita sudah menyaksikan eskalasi ketegangan di Semenanjung Korea, di mana Pyongyang telah melaksanakan uji coba misil hampir selusin.

Amerika Serikat meresponsnya dengan mengirimkan kapal induk mereka, melakukan latihan gabungan militer dan membuat sistem anti-misil canggih di Korea Selatan. Situasi seperti ini menimbulkan risiko eskalasi militer yang nyata.

Hal ini menambah masalah dari sekian banyak isu yang ada di Asia Pasifik, khususnya isu saling klaim wilayah di Laut Tiongkok Selatan. Masalah ini tidak hanya menjadi perhatian negara-negara yang terlibat langsung, tapi juga juga seluruh negara di kawasan.

Inilah tantangan-tantangan kompleks yang harus dihadapi generasi muda Asia Pasifik pada hari ini dan masa mendatang.

Ada tiga rekomendasi untuk masa depan Asia Pasifik agar ada landasan yang sama untuk kita dapat bekerja sama dalam perdamaian dan keamanan wilayah.

Pertama, revitalisasi dan mengembangkan bentuk pendekatan kerjasama multilateral.

Situasi dunia yang mana ultra-nasionalisme dan populisme sempit tengah meningkat, membuat kita perlu terus diingatkan pentingnya kerjasama antar-negara–khususnya dalam konteks ekonomi yang mengglobal dan saling terkoneksi satu sama lain. Digitalisasi telah membawa perubahan drastis dimana orang-orang berinteraksi dengan teman dan keluarganya melintasi jarak dan zona waktu yang berbeda; di mana pemerintah dituntut untuk dapat memberikan pelayanan publik dan menerima tanggapan dari masyakarakat, dan juga bagaimana negara-negara berinteraksi satu sama lain.

Di antara organisasi-organisasi yang ada di Asia-Pasifik, ASEAN telah terbukti menjadi salah satu yang paling sukses sejauh ini. ASEAN secara rutin menggelar dialog, inisiatif dan forum yang tidak hanya melibatkan sepuluh negara anggota tapi juga mitra-mitra dialog baik dari dalam maupun dari luar kawasan yang membentuk East Asia Summit.

Meskipun multilateralisme tidak secara langsung berdampak pada ketertiban di kawasan, kerangka seperti ASEAN telah secara konsisten dalam mempromosikan tradisi untuk berdialog, bekerjasama dan berkompromi di antara negara-negara anggota dengan cara yang informal, pragmatis dan konsultatif.

Kedua, mendorong seluruh negara di kawasan untuk bekerjasama bersama dalam mekanisme resolusi konflik yang damai.

Sementara pertikaian soal isu perbatasan dan wilayan di kawasan masih belum terselesaikan, konfrontasi militer adalah jalan yang paling tidak diinginkan. Ini berlaku pada setiap kawasan. Bahkan Tiongkok pun, yang pertumbuhan ekonomi dan militernya sangat luar biasa, akan setuju pada hal ini.

Harga dari terjadinya perang terlalu tinggi. Kita membutuhkan mekanisme untuk berdiskusi dan menegosiasikan isu-isu strategis tanpa memicu terjadinya perlombaan senjata di kawasan, yang hanya akan berisiko pada eskalasi yang lebih tinggi.

Dalam hal ini, bentuk kerjasama multilateral seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dapat menjadi landasan dasar bagi interaksi di antara negara-negara, tidak hanya di Asia Tenggara tapi juga dengan mitra-mitra dialognya termasuk AS, Tiongkok, Jepang dan Rusia.

Konsep ASEAN tentang “Kerjasama Keamanan” dapat membantu distribusi kekuatan yang tidak setara di antara pihak-pihak yang terlibat. Hal ini mengikat negara-negara yang lebih kuat untuk menjalankan peraturan yang sama dengan negara-negara yang lebih lemah, dan memberikan semua pihak legitimasi sebagai aktor internasional yang bertanggung jawab.

Tantangan utama, yang berkaitan dengan pertanyaan Tiongkok, adalah bagaimana mengakomodir Tiongkok dan negara adidaya lainnya (AS, Rusia, dan Jepang secara khusus) berada dalam arsitektur keamanan kawasan yang stabil. Ini tidak hanya untuk mencegah terjadinya perang di antara mereka, tapi juga melindungi ketertiban hubungan luar negeri serta norma-norma dan aturan-aturan yang disetujui.

ARF, dengan prinsip ‘inclusivity’, secara unik ada untuk memungkinkan adanya keberlanjutan upaya-upaya menuju ‘dynamic equilibrium’ yang baru. Perdamaian harus berarti stabilitas di kawasan dipelihara melalui tanggung jawab bersama.

Akhirnya, melihat ke depan untuk berbagai kesempatan bersama di antara negara-negara Asia Pasifik dan bagaimana kita dapat memaksimalkan masa depan untuk perdamaian dan kesejahteraan.

Banyak yang berpendapat bahwa untuk memperkuat interaksi yang konstruktif di kawasan, kita perlu memperluas perdagangan dan kepentingan ekonomi bersama antara negara-negara Asia-Pasifik. Trans-Pacific Partnership (TPP) sekarang kehilangan momentumnya setelah AS menarik diri. Dengan absennya AS, akan sulit untuk mengabaikan tawaran dari inisiatif One Belt One Road (OBOR) Tiongkok.

Hal ini menghubungkan Tiongkok ke Asia Tengah dan Eropa dengan jalur darat; dan ke Afrika melalui Asia Tenggara melalui rute laut. Ini melibatkan investasi infrastruktur senilai 900 miliar US Dollar yang melintasi 65 negara. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah inisiatif ini digunakan sebagai alat pengaruh politik. Implikasi dari intensi Tiongkok secara jangka panjang juga masih belum terlihat.

Kendati adanya OBOR, kawasan Asia-Pasifik akan terus memiliki kesempatan untuk memiliki kerjasama berdasarkan besarnya pasar yang ada, besarnya jumlah sumber daya alam yang ada, begitu juga potensi luar biasa melalui perdagangan dan interkonektivitas dengan seluruh dunia.

Semua ini akan membuat kawasan Asia Pasifik dapat terus berkembang dan sejahtera. Bagaimanapun, penekanannya harus tetap pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan, yang memperhatikan lingkungan bagi generasi-generasi kita dan yang didukung oleh semua negara.

*)Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute, Jakarta

Dimuat di harian The Jakarta Post, Senin, 12 Juni 2017.

Versi terjemahan bebas