Ferdinand Hutahaean (twitter/@Revolusi1977)

Oleh : Ferdinand Hutahaean*)

Presiden Republik Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono melalui Kantor Staf Presiden RI ke 6, berkantor di Cikeas, kemarin 22 Maret 2017 secara resmi melaksanakan rencana tertunda sejak lama: mengembalikan mobil kepresidenan. Mobil itu diberikan atau dipinjamkan Negara pasca-SBY menyerahkan estafet kepemimpinan nasional kepada Presiden RI ke-7 Joko Widodo.

Mobil kepresidenan yang dipinjamkan Negara kepada SBY, sejak periode akhir 2014, terakhir digunakan SBY sekitar September 2016. Mobil dikembalikan secara resmi Staf Kepresidenan RI ke-6 kepada pemerintah melalui komunikasi dengan Pasukan Pengamanan Presiden dan diteruskan kepada Sekretariat Negara. Sebuah rencana tertunda karena mobil tersebut harus menjalani perbaikan. Sebab memang ada gangguan fungsi operasi hingga mobil tersebut tidak bisa digunakan.

Mengulang sejarah riwayat mobil tersebut digunakan oleh Presiden RI ke-6 adalah menyampaikan fakta kebenaran. Mobil kepresidenan tersebut diantar secara langsung oleh negara ke kediaman pribadi SBY di Cikeas periode akhir 2014; pasca-SBY tidak lagi menjabat sebagai Kepala Negara-Pemerintahan.

Mobil tersebut dipinjamkan negara. Diberikan negara. Bukan dipinjam secara pribadi apalagi dikuasai secara tidak sah oleh SBY. Atas amanat UU No 7 tahun 1978, Pemerintah yang belum mengadakan dan menyediakan mobil bagi SBY berinisiatif meminjamkan mobil tersebut kepada Presiden RI ke-6 SBY, melalui staf kepresidenan yang bertanggung jawab dan menerima mobil tersebut.

Apakah serah terima tersebut perlu berita acara atau administrasi? Tentu pihak negara yang lebih tahu karena mobil tersebut bukan dikuasai secara pribadi oleh SBY. Mobil tersebut berada di bawah penguasaan dan di bawah komando operasi Pasukan Pengamanan Presiden yang mengawal SBY.

Fakta harus disampaikan. SBY tidak pernah meminjam atau menguasai mobil kepresidenan secara tidak sah.

Dengan dikembalikannya secara resmi mobil kepresidenan yang menjadi kemelut 2 hari terakhir, maka saat ini Presiden RI ke-6 SBY tidak mendapat fasilitas mobil dan pengemudinya dari Negara, sesuai amanat Undang-undang.

Meski demikian, tampaknya, SBY tidak mempermasalahkan hal tersebut dan tidak akan meminta mobil dari Negara. SBY memahami kondisi perekonomian bangsa kita saat ini sedang berjuang untuk bangkit. Di samping itu, Presiden RI ke-6 SBY memiliki kendaraan pribadi yang cukup layak digunakan sehingga tidak perlu menambah beban Pemerintah yang sedang bekerja keras membangun ekonomi kita.

Kemelut tentang mobil kepresidenan tersebut sesungguhnya tidak perlu menjadi berita besar dan menghebohkan publik, andai semua pihak terutama Dharmansjah Djumala, sebagai Kepala Sekretariat Presiden, tidak mengumbar pernyataan yang tidak perlu disampaikan.

Tidak ada urgensinya mobil tersebut diumbar kepublik gara-gara mobil yang digunakan Presiden Jokowi mogok. Semestinya mobil itu bisa diambil kembali dengan menghubungi Staf Kepresidenan RI ke-6 atau melalui Paspampres yang mengawal SBY.

Di situlah letak kekeliruan Dhamansjah Djumala. Sebagai Kepala Sekretariat Presiden, ia harusnya bisa lebih bekerja dengan baik dan benar. Bukan mengumbar berita salah ke publik.

Semangat pertemuan Presiden RI ke-7, yang saat ini memimpin negara, yaitu Joko Widodo dengan Presiden RI Ke 6 SBY harusnya dirawat dan dijaga dengan baik oleh semua pihak. Termasuk oleh Dharmansjah sebagai staf yang bekerja untuk Presiden. Ia harusnya tidak membuat hubungan Jokowi dan SBY kembali tidak baik hanya gara-gara sesuatu yang tidak penting untuk dipermasalahkan.

Hubungan baik Jokowi dengan SBY jauh lebih penting untuk dijaga karena hubungan baik tersebut demi kebaikan bersama dan demi kepentingan lebih besar yaitu: bisa bersama-sama membangun bangsa ini supaya bisa menjadi bangsa besar, yang kesejahteraan rakyatnya bisa ditingkatkan.

Apa pun motif yang mungkin ada di balik kemelut mobil tersebut (semoga motifnya bukan untuk merusak hubungan yang sudah baik antara Jokowi dan SBY) sudah selayaknya dan sepatutnya berita tersebut diakhiri, dihentikan, dan ditutup. Sebab tidak bermanfaat sama sekali untuk bangsa. Justru malah berpotensi mengakibatkan kegaduhan tidak penting. Semua pihak harus menjaga bangsa ini supaya lebih kondusif, damai, dan tenang, terlebih oleh pihak-pihak yang bekerja untuk Presiden.

Adalah tidak elok dan tidak patut jika justru seorang staf presiden merusak hubungan presiden yang baik dengan pihak lain. Ini tidak boleh terjadi.

Apa pun alasannya, kemelut ini harus diakhiri. Cukup kegaduhan yang tidak perlu. Presiden RI ke-6 SBY juga sudah memaafkan pihak-pihak yang menjadikan isu ini jadi kemelut dan menyerang pribadi SBY. SBY juga sudah cukup nyaman menggunakan mobil pribadinya sebagai kendaraan sehari-hari. Tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan.

Mari kita rawat hubungan baik para pemimpin bangsa, demi kejayaan Indonesia.

Jakarta, 23 Maret 2017

*)Pimpinan Rumah Amanah Rakyat dan Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia

(dik)