Oleh: Ferdinand Hutahaean*)
Entah dari mana saya harus memulai tulisan ini supaya mampu menggugah hati para anak bangsa, yang saya yakini saat ini dalam keadaan sedang risau akan masa depan bangsa yang kita cintai ini. Mungkin saja akan ada yang menilai pilihan judul artikel ini terlalu berlebihan karena mungkin terlalu dramatis. Atau mungkin saja judul artikel ini akan dimaknai sebagai sebuah realita yang bisa menggambarkan bangsa saat ini secara utuh.
Merah Putih terkoyak, kebhinnekaan terusik, persatuan terganggu, toleransi beranjak menuju intoleransi, bangsa sungguh bergejolak. Adakah satu saja di antara kita yang saat ini tidak merasa risau dengan kondisi yang dihadapi bangsa akhir-akhir ini?
Saya meyakini tentu tidak ada yang tidak resah, karena sesungguhnya kita bukanlah anak bangsa yang memiliki karakter bangga melihat bangsa ini gaduh apalagi masuk ke dalam sebuah gelanggang perpecahan bermotif Suku, Agama dan Ras tertentu.
Konflik identitas adalah konflik yang daya rusaknya sangat dahsyat. Perseteruan berbasis identitas hanya akan melahirkan kematian nilai-nilai kehidupan, dan membinasakan diri serta membenamkan hidup ke dalam lembah penderitaan yang teramat menyakitkan. Adalah kita rela semua itu terjadi dalam kehidupan kita?
Keragaman hidup di sekitar kita tentu harusnya menjadi keindahan karena kita akan bisa saling belajar dan mengenal khasanah Nusantara yang majemuk. Namun semua itu kini seperti menjadi luluh lantah ketika Jakarta menelurkan konflik yang tidak seharusnya ada.
Bermula dari kepentingan politik, bermuara pada kemarahan antar kelompok, dan berujung pada perlawanan atas proses penegakan hukum. Ditambah kelemahan negara yang dipimpin oleh Presiden Jokowi dalam mengelola bangsa, maka semakin menjadilah konflik yang tidak perlu ada tersebut.
Tekanan massa menjadi bola liar yang membuat pemerintah linglung mengatur ritme pemerintahan, linglung menentukan arah dan akhirnya pemerintah tak mampu mengendalikan situasi.
Melihat kondisi saat ini yang amat mengkhawatirkan, di sela pengajuan banding oleh terhukum Basuki Tjahaja Purnama atas vonis yang diterimanya dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara, tampaknya masih akan terus mengoyak kebersamaan, karena dua kutub pro dan kontra masih terus berhadap-hadapan dengan amarah yang meningkat. Vonis yang dijatuhkan di atas tuntutan Jaksa, menjadi bola panas bagi sebagian pihak namun sekaligus bagai embun sejuk di pihak lain. Polarisasi publik tak terhindarkan dan berpotensi semakin tajam ke depan bila tidak segera ditangani secara tepat, baik, konkret dan bijaksana.
Sekelompok orang berharap agar Ahok bebas, sekelompok lain berharap juga agar vonis Ahok tidak dikurangi apalagi bebas. Lantas apa yang harus dilakukan oleh negara? Persepsi terhadap pengadilan terlanjur terbentuk. Bagi sekelompok, vonis Ahok adalah kematian hukum dan bentuk ketidakadilan dan bagi sekelompok lain itu adalah hukum masih ada di negeri yang gaduh ini.
Saya ingin mengajak kita berandai-andai sejenak. Andai nanti di pengadilan banding ternyata vonis Ahok diturunkan mengacu kepada tuntutan Jaksa, maka Ahok akan keluar dari tahanan dalam artian bebas dari penjara sepanjang tidak mengulangi atau melakukan perbuatan pidana lainnya. Apakah kelompok yang berbeda akan menerima vonis tersebut sebagai sebuah produk supremasi hukum atau akan berbalik menuding hukum telah mati? Lantas akan kembali turun ke jalan melakukan aksi-aksi seperti sebelumnya? Jila demikian, kapan semua ini akan berakhir? Kapan kita akan berhenti melukai Indonesia?
Demikian juga, kita berandai-andai tentang sebaliknya. Ketika vonis pengadilan banding nantinya memutuskan menguatkan keputusan pengadilan tingkat pertama, atau bahkan menjatuhkan vonis lebih berat lagi. Apakah keputusan itu akan diterima oleh kelompok pendukung Ahok yang terlanjur memberikan label hukum telah mati? Lantas apakah kelompok ini akan terus melakukan aksi-aksi seperti saat ini? Kapan semua ini akan berakhir? Apakah kita akan terus mencabik cabik merah putih?
Dilema sungguh berat, namun bukan berarti tidak bisa diatasi. Tergantung cara penanganan dari pemerintah apakah penanganannya tepat atau justru akan membuat situasi lebih buruk.
Melihat cara-cara yang digunakan sekarang oleh pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini, saya justru memiliki kekhawatiran bahwa ini akan berujung pada kedua kelompok menjadi musuh bagi pemerintah, kedua kelompok menjadi berlawanan dengan pemerintah. Ini justru akan lebih berbahaya bagi keselamatan rezim ini dalam memerintah. Risikonya jatuh di tengah jalan.
Rekonsiliasi dan dialog nasional harus segera dilakukan oleh pemerintah. Presiden harus mengundang seluruh komponen bangsa menyelesaikan masalah ini secara konkret, baik, bijaksana dan damai. Presiden harus melakukan dialog dengan semua pihak. Dialog nasional mengundang semua pihak, termasuk pihak-pihak yang berada di luar pemerintahan, yang berada di garis berlawanan dengan pemerintah dan para tokoh serta elite politik bangsa. Kita carikan jalan bersama agar semua ini berlalu segera.
Kita ini adalah bangsa yang berbudaya luhur tinggi, bangsa yang pemaaf dan penuh kekeluargaan. Mengapa kita meninggalkan Pancasila, musyawarah untuk bermufakat demi kebaikan bangsa dan demi kebaikan semua pihak. Dialog nasional untuk mencari dan menemukan sobekan merah putih. Kita satukan kembali merah putih, kita rajut dan rekatkan kembali, kita satukan Nusantara dalam bingkai kebhinnekaan yang sejati.
Tidak boleh ada yang menang-menangan, tidak boleh ada yang bangga menghukum siapa pun, tidak boleh ada yang senang memenjarakan siapa pun. Kita harus malu jika kita menjadi bagian dari konflik yang turut serta mengoyak merah putih.
Yang mulia Presiden Jokowi, bersegeralah memimpin dialog nasional demi merajut merah putih, sebelum bangsa ini semakin porak poranda.
Makassar, 17 Mei 2017
*)Pimpinan Rumah Amanah Rakyat dan Wakil Sekjend Bela Tanah Air