Jansen Sitindaon (Epicentrum/Google))

Oleh: Jansen Sitindaon*)

Saya kira berlebihan menyatakan Neno Warisman telah melakukan pidana penerbangan. Masalah persekusi terhadap Neno di Pekanbaru yang jauh lebih substantif untuk Demokrasi kita, karena terkait langsung dengan kebebasan menyatakan pendapat yang dilindungi konstitusi malah didiamkan Negara. Urusan memakai mikrofon pesawat yang “remeh temeh” malah ganti balik di persoalkan dan dibesar besarkan sampai Kementerian Perhubungan pun ikut “turun gunung” menyatakan itu salah. Bahkan IPW yang biasanya kritis kepada kepolisian, di persoalan ini justru suaranya agak aneh menurut saya, karena malah balik meminta Neno Warisman diproses hukum karena memakai mikrofon ini.

Inilah yang dinamakan soal lebih besar dan substantif diabaikan seakan tidak ada masalah, mikrofon pesawat malah ganti jadi persoalan utama. Dan Neno Warisman dikejar-kejar untuk di proses hukum karena ini. Padahal para penumpang di dalam pesawat itu sendiri baik-baik saja. Pihak luar bukan penumpang yang malah ribut mempersoalkan. Kalau Kementrian Perhubungan ingin berkomentar di persoalan ini harusnya yang lebih substantif ditegakkan mengapa di lingkungan bandara bisa hadir begitu banyak orang yang jelas-jelas mengganggu keamanan bandara. Neno ini sudah membayar airport tax, harusnya hak dia dilindungi sebagai pengguna bandara yang telah membayar. Termasuk juga pengguna bandara lainnnya.

Saya sudah melihat video Neno Warisman bicara melalui Mikrofon dalam penerbangan Lion Air JT 297 rute Pekanbaru-Jakarta. Saya malah melihat pernyataan permohonan maaf dia ke para penumpang ini pada situasi yang bisa saja awak kabin tidak mampu menjelaskan mengapa pesawat itu tertunda keberangkatannya untuk sekian lama. Sehingga mengganggu jadwal penumpang lainnya, misalnya seorang pemuda yang akan melanjutkan penerbangan ke Sorong seperti yang disampaikan Neno di dalam Video tersebut. Untuk itulah dia diberi ruang menjelaskan. Menjelaskan untuk kebaikan malah ganti “dipersekusi” balik dituduh telah melanggar UU Penerbangan.

Karena memakai mikrofon ini Neno dituduh melanggar Pasal 54 huruf a, b dan c UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dimana dikatakan Neno telah melakukan (a). perbuatan yang membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan; (b). pelanggaran tata tertib dalam penerbangan; dan (e). perbuatan yang mengganggu ketenteraman.

Pasal yang sama sekali tidak disitir oleh Kementerian Perhubungan, IPW dan para pengkritik Neno terkait memakai Mikrofon ini adalah ketentuan di Pasal 55 UU Penerbangan. Dimana di pasal ini secara jelas diatur bahwa: “Selama terbang, kapten penerbang pesawat udara yang mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk menjamin keselamatan, ketertiban dan keamanan penerbangan”.

Dalam video tersebut di bagian akhirnya terlihat di belakang Neno Warisman muncul sosok Kapten penerbangan ini yang keluar dari dalam toilet. Ini membuktikan tindakan Neno bicara melalui Mikrofon pesawat ini telah diketahui dan diizinkan oleh Kapten. Berdasar ketentuan Pasal 55, berarti tindakan Neno bicara melalui mikrofon ini menurut Kapten selaku pemegang otoritas dalam penerbangan ini dianggap aman, tidak mengganggu keselamatan, ketertiban dan keamanan penerbangan.

Sehingga tuduhan Neno melanggar Pasal 54 huruf a, b dan c UU Penerbangan (membahayakan keselamatan penerbangan, mengganggu ketentraman dan melanggar tata tertib) tak beralasan dan gugur. Karena Kapten selalu pemegang otoritas penerbangan yang menilai keselamatan, ketertiban dan keamanan penerbangan ini telah mengizinkan. Jadi bukan pihak luar yang tidak ada kaitannya dengan penerbangan yang menilai itu aman atau tidak. Bahkan jika Dirjen Kementerian Perhubungan sekalipun misalnya ada di pesawat itu, dia tunduk kepada apapun keputusan Kapten di pesawat tersebut.

Jika Kapten sebagai pemegang otoritas tertinggi keamanan penerbangan ini telah mengizinkan, terus apa lagi yang mau dipersoalkan? Kaptenlah yang paling tahu apa yang terbaik untuk penerbangan yang sedang dikendalikannya. Buktinya pesawat ini mendarat dengan selamat di Jakarta dan semua penumpang baik-baik saja dan tidak ada yang terganggu. Jangan kemudian kita bertindak menjadi Kapten “kedua” dalam penerbangan yang sudah berjalan selamat dan aman ini, kemudian memberikan penilaian ini salah, harusnya begini, dan lain-lain.

Kemenhub menyatakan PAS cq. Mikrofon itu tidak boleh dipergunakan untuk menyampaikan informasi lain yang tidak terkait dengan operasional penerbangan. Bukankah apa yang disampaikan oleh Neno masih terkait operasional penerbangan menjelaskan mengapa pesawat itu tertunda keberangkatannya untuk sekian lama? Kalau dia kemudian menjelaskan sedikit terkait persekusi yang dialami, itu adalah bagian dari kronologis mengapa dia malam itu terbang bersama pesawat tersebut ke Jakarta dan menyebabkan pesawat ini terlambat terbang.

Dalam kasus mikrofon pesawat ini, Neno juga dituduh melanggar ketentuan Pasal 344 huruf a UU Penerbangan yang bunyinya: “setiap orang dilarang melakukan tindakan melawan hukum (acts of unlawful interference) yang membahayakan keselamatan penerbangan dan angkutan udara berupa: (a). “menguasai secara tidak sah pesawat udara yang sedang terbang atau yang sedang di darat”.

Berlebihan menurut saya tuduhan melanggar Pasal 334 huruf a ini. Masak memakai mikrofon disamakan dengan Neno telah menguasai pesawat ini secara tidak sah! Maksud dari pasal ini tentu kaitannya dengan tindakan kekerasan, pembajakan pesawat, atau hal lainnya yang berkaitan dengan serangan dimana menyebabkan kapten, awak kabin, dll yang harusnya berkuasa terhadap pesawat ini menjadi tidak berkuasa lagi. Dalam kasus ini faktanya: Kapten tetap berkuasa penuh terhadap pesawat yang dia “kaptenin”. Dan sama sekali tidak ada ancaman yang mengarah ke awak kabin, penumpang ataupun pesawat itu sendiri sehingga dikuasi oleh pihak lain.

Untuk itulah maka di Pasal 345 ayat (2) ditegaskan bahwa tindakan melawan hukum menguasai secara tidak sah pesawat ini penanggulangannya masuk dalam kategori keadaan darurat. Baca: KEADAAN DARURAT. Dan di Pasal 346 dijelaskan lagi, dalam hal terjadi tindakan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf a ini (menguasai pesawat secara tidak sah) Menteri berkoordinasi serta menyerahkan tugas dan komandan penanggulangannya kepada institusi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang keamanan.

Apakah memakai mikrofon sampai harus disikapi dengan menaikkan status keadaan darurat dan penanggulangannya diserahkan kepada institusi keamanan karena pesawat dikuasai oleh pihak lain? Jawabnya jelas tidak! Karena tidak ada attack atau serangan atau ancaman menguasai pesawat secara tidak sah dalam kejadian memakai mikrofon ini.

Kesimpulan:

Jadi tidak tepat kemudian Neno Warisman dituduhkan dan dikenakan Pasal 412 ayat (1) karena membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan (Pasal 54 huruf a); Atau Pasal 412 ayat (2) karena melakukan perbuatan melanggar tata tertib penerbangan (Pasal 54 huruf b); Atau Pasal 412 ayat (4) karena mengganggu ketenteraman di pesawat (Pasal 54 huruf e). Karena penilaian terhadap semua ini ada dipundak Kapten pesawat sebagaimana ketentuan Pasal 55 UU Penerbangan yang menyatakan “selama terbang, kapten yang mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk menjamin keselamatan, ketertiban dan keamanan penerbangan”. Ketika Kapten menyatakan tidak ada masalah atau malah mengizinkan penggunaan Mikrofon ini, maka dengan sendirinya semua ketentuan pidana di Pasal 412 ini gugur tidak bisa digunakan.
—-

Dalam konteks Neno Warisman berbicara menggunakan mikrofon di pesawat ini, menurut saya malah itu menunjukkan kerendahan hati seorang Ibu dan perempuan yang tidak tega menyusahkan orang lain khususnya penumpang pesawat lion air yang menjadi terhambat penerbangannya berjam-jam karena dia. Inilah bentuk rasa empati dan sensitivitas Neno Warisman terhadap orang lain yang terganggu karena menunggu dia.

Mari kita kembalikan masalah ini ke persoalan utamanya yaitu: soal kebebasan menyatakan pendapat yang “menjelang malam” di Indonesia ini padahal itu dilindungi konstitusi di Pasal 28E ayat 3 UUD. Bukan malah dibalik soal Neno Warisman memakai mikrofon pesawat ini yang diminta diproses hukum. Inilah yang dinamakan “gajah di pelupuk mata tidak tampak, semut di seberang lautan kelihatan”. Urusan besar ditenggelamkan, hal kecil remeh temeh malah jadi diutamakan.

NB: Sebagai perbandingan untuk contoh pemakaian mikrofon pesawat bukan oleh awak kabin penerbangan, Ibu Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan juga pernah melakukannya dalam peringatan Hari Kartini 2018. Ketika itu dalam penerbangan Garuda Indonesia. Ini malah sama sekali tidak ada hubungannya dengan operasional penerbangan sebagaimana disampaikan Kementerian Perhubungan terkait penggunaan mikrofon. Untuk keadilan karena kejadiannya persis sama, silahkan diproses juga Bu Susi. Dan Kemenhub meng-grounded awak maskapai Garuda dalam penerbangan ini seperti yang dilakukan terhadap Lion Air dalam kasus Neno Warisman.

Berikut saya sertakan link video youtube Ibu Susi memakai mikrofon pesawat ini:

https://youtu.be/SCKlubHgb4Y

Menurut saya mari kita hentikan polemik pemakain mikrofon pesawat yang tidak penting ini. Dan teruslah berjuang Bu Neno Warisman. Walau dalam beberapa hal mungkin kita berbeda namun terkait penggunaan mikrofon ini kebenaran harus diluruskan.

Horas!!

Ketua Departemen Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum DPP-PD; Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI)