Oleh: Annisa Tyas Palupi*)
Perdebatan peran gender perempuan saat ini masih sangat ramai, ada yang sangat mendukung, namun tidak sedikit pula yang mempertanyakan tentang kapabilitas seorang perempuan untuk menjadi seorang pemimpin.
Acap kali perempuan mendapat stigma sebagai kelompok kelas dua saat berhubungan dengan ranah publik, proses subordinasi dan marginalisasi terhadap kaum perempuan menjadi tantangan untuk membuktikan bahwa perempuan bukan hanya bisa bekerja di tempat domestik (kasur, dapur, kakus) melainkan perempuan saat ini juga mulai bisa menjadi bagian dari birokrasi.
Kesetaraan Gender
Keterwakilan perempuan di parlemen, sangat tidak mencerminkan kesetaraan gender, hal ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, sehingga perlunya melakukan akselerasi peningkatan perwakilan perempuan di parlemen. Memperhatikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di calon legislatif memberikan secercah harapan semangat baru bagi kaum perempuan untuk turut menjadi bagian dari meriahnya pesta demokrasi. Namun keterwakilan perempuan di parlemen masih jauh dari harapan, masih harus menghadapi berbagai tantangan di internal maupun di eksternal.
Mulainya bermunculan pedatang-pendatang baru perempuan memberikan semangat untuk saling membantu dan membuktikan bahwa tidak adanya perbedaan gender dalam pesta demokrasi. Tidaklah mudah menjadi pemimpin perempuan karena tidak hanya kepentingan orang banyak yang diperjuangkan, peranan rumah tangga pun harus tetap dilaksanakan. Hal ini menjadi kerja ganda bagi perempuan, yang mana prestasi di ranah publik harus seimbang dengan kodrat sebagai malaikat keluarga.
Perjuangan perempuan bukan hanya masalah kesetaraan yang melupakan kodrat melainkan perempuan juga harus menyadari kodratnya sebagai bagian dari keluarga. Sudah menjadi perbincangan akademik hari ini saat banyak perempuan berideologi feminis menuntut haknya dan melupakan kodratnya, persoalan feminis bukan hanya persolan perempuan melainkan juga persoalan budaya.
Proses kemunculan gerakan feminis liberal di Amerika menjadi tidak cocok saat kita duplikasi dan terapkan di Indonesia, sebab terdapat perbedaan konstruksi budaya, oleh karenanya meskipun kita bersuara atas dasar feminisme tetapi kita juga harus kritis terhadap feminisme tersebut agar kita tidak terjebak pada utopia ideologi tersebut.
Kesetaraan gender bisa saja terjadi pada perempuan maupun laki-laki, namun ketidakadilan ini lebih sering dialami oleh perempuan. Perempuan mengalami subordinasi, marginalisasi, beban kerja ganda, hingga kekerasan. Bukankah hal ini dapat menciutkan semangat para perempuan yang baru memulai terjun di dunia politik, selama ini kita mengenal dunia politik lekat dengan laki-laki, politikus negeri ini seolah menjadi represenasi budaya patriaki yang melangskap nusantara.
Nyanyian burung camar tentang tidak sahnya perempuan menjadi seorang pemimpin menjadi nyanyian yang sangat indah bagi kelompok tertentu untuk menghegemonikan ketidaksetaraan gender ini. Namun banyak pula yang tidak berani untuk memulai ataupun mengemukakan gagasan baru, sedangkan mereka hanya butuh diasah bagaikan pisau untuk dapat menggali potensi yang dimiliki, namun sayangnya kurang perempuan yang sadar untuk ikut berpolitik.
Oleh karenanya upaya pertama yang dapat dilakukan perempuan sebagai juru selamat, pertama harus peka terhadap keadaan dan sadar akan posisi nya sehingga perempuan bisa menyuarakan keadilan. Perempuan harus saling bahu-membahu, saling mempengaruhi, saling membantu untuk membuktikan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Jika hal ini dibiarkan maka perempuan akan semakin terdiskriminasi dan jauh dari kata merdeka. Kiprah perempuan di masa depan haruslah berintektual untuk menampilkan kualitas dan menjadi kekuatan yang sangat luar biasa. Perempuan haruslah diakui sebagai subyek hukum yang mempunyai hak politik seperti halnya laki-laki.
Meski terlihat adanya calon-calon perempuan disana-sini, presentasinya masih sangat kecil. Sedangkan ada beberapa kebijakan publik yang hanya bisa dimengerti oleh perempuan. Perempuan yang berani maju, berani memulai merupakan perempuan gerakan perubahan, visioner, panutan yang dapat di contoh.
Perempuan Memimpin
Banyak diantara perempuan tidak sadar bahwa mereka mampu dan sanggup untuk menjadi seorang pemimpin, sedangkan kita tidak akan mengatahui batas kemampuan kita jika tidak mencoba. Tidak ada kata tidak bisa yang ada kata tidak mau belajar. Dengan tidak melupakan kodrat nya sebagai perempuann, harus adanya upaya untuk meningkatkan kualitas pemberdayaan perempuan. Melalui jalur pendidikan formal maupun non formal.
Telah banyak upaya pemerintah maupun organisasi perempuan guna meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Namun harapan proporsi keterwakilan kuota 30 persen perempuan masih belum dapat tercapai sesuai harapan. Jumlah legislatif yang terpilih menjadi anggota DPR periode 2014-2019 atau setara dengan 17,32 persen.
Jumlah perempuan pada periode saat ini menurun dibanding periode sebelumnya, 2009-2014 terpilih 103 perempuan anggota DPR. Walaupun tidak dapat dipungkiri untuk itu membutuhkan modal besar, dalam hal ini tidak hanya elektabilitas dan popularitas. Semua itu dapat dibangun dan dipupuk seperti tanaman di halaman rumah kita. Kita juga harus melewati batas untuk mencapai impian.
Janganlah fokus terhadap yang buruk, tetapi fokuslah terhadap yang baik. Untuk menjadi seorang pemimpin haruslah peka dengan masalah-masalah yang ada dan bijak dalam mencari solusi dalam meyelesaikannya. Dan haruslah mempunyai komitmen politik yang tinggi untuk merealisasikan aspirasi masyarakat.
Tidak ada sedikitpun yang membedakan hak antara perempuan dan laki-laki. Namun saat ini kuota 30 persen perempuan belum tercapai. Ketika pesta demokrasi itu tiba, perempuan harus dapat membuktikan akan maju paling depan membawa solusi.
*)Pengurus DPD Demokrat Provinsi Sulawesi Selatan
(terkini.id/dik)