Ferdinand Hutahaean (rmol/google)

Oleh:  Ferdinand Hutahaean*)

Menjelang Ramadan berakhir dan menyisakan hanya beberapa hari saja, ternyata tidak mampu juga Pansus RUU Pemilu DPR-RI menyelesaikan tugasnya merampungkan RUU untuk kemudian disepakati menjadi UU.

Tampaknya semangat Ramadan, bulan penuh berkah, bulan yang harusnya berpuasa dari segala nafsu duniawi, bulan yang seharusnya puasa dari trik dan intrik nafsu kekuasaan duniawi, ternyata tidak membuat Pemerintahan Presiden Jokowi bersama partai pendukungnya seperti Golkar, PDIP dan Nasdem untuk berpuasa dari trik politik kekuasaan. Ternyata nafsu duniawi dan kekuasaan duniawi tidak dipuasakan oleh Pemerintahan Jokowi dan partai pendukungnya. Alhasil, RUU Pemilu yang sudah hampir setahun tidak kunjung usai dibahas.

Nafsu duniawi untuk tetap berkuasa itulah yang kemudian menjadi ganjalan bagi penyelesaian RUU Pemilu yang sudah cukup lama dibahas oleh DPR. Tadinya Rakyat tentu berharap di bulan Ramadan yang mempuasakan segala nafsu duniawi, RUU itu akan rampung. Nyatanya akal sehat dalam berpuasa tidak mampu mengalahkan nafsu berkuasa Presiden Jokowi dan partai pendukungnya.

Kekuasaan di dunia itu memang nikmat. Namun kenikmatan itu tentu berbeda dan tidak sama bagi setiap pemimpin dengan karakter jiwa dan nurani. Ada pemimpin yang tentu memaknai kenikmatan kekuasaan itu sebagai jalan menuju kesemena-menaan. Berkuasa dan menjadi sombong serta mengintimidasi siapa saja. Menikmati kekayaan dan merasa tak berdosa memperalat lembaga negara untuk memuaskan nafsu politik kekuasaannya. Seperti memperalat penegak hukum untuk mengkriminalisasi lawan politiknya, atau menekan penegak hukum untuk tidak mengganggu kawan politiknya. Merasa puas dan bangga serta merasa sukses membangun meski dengan meniadakan sejarah pembangunan atau menghilangkan kinerja pendahulunya dan mengklaim sepihak dengan bantuan framming media yang tidak jujur.

Namun bagi sebagian pemimpin, kenikmatan kekuasaan itu adalah pengorbanan. Kenikmatan karena diberi kesempatan melayani untuk mengangkat kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara. Kenikmatan kekuasaan dalam semangat tulus berkorban. Meski dicaci, dimaki, namun pantang membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Rakyat adalah pemilik sah negara ini dan seluruh isinya, maka rakyat harus dipelihara dan menikmati hasil bumi lewat subsidi, program ekonomi kerakyatan dan tidak memajaki rakyat secara ugal-ugalan. Setidaknya kondisi ini mirip dengan era SBY dengan segala kekurangannya dalam memimpin bangsa. Namun satu hal yang pokok, SBY tidak pernah berniat menjatuhkan beban kepada rakyatnya, namun selalu ingin mengurangi beban rakyat.

Kembali kepada akal sehat vs nafsu kekuasaan di dalam RUU Pemilu. Pemerintahan Jokowi dengan para pendukungnya seperti Golkar, PDIP dan Nasdem adalah koalisi yang sangat ngotot untuk mempertahankan kekuasaan yang sesungguhnya rapuh dan tidak lagi diinginkan rakyat. Sikap ngotot mengajukan syarat pencapresan atau yang sering disebut dengan istilah “presidential threshold” sebesar 20-25% adalah bentuk pembungkaman hak demokrasi setiap warga negara. Usulan tersebut juga bertentangan dengan keputusan MK tahun 2013 yang telah memutuskan Pemilu Serentak 2019 dan menyatakan ketidakrelevanan syarat ambang batas pencalonan. Sikap inilah yang menunjukkan bahwa betapa demi melanjutkan kekuasaan yang rapuh, tanpa dukungan rakyat, maka secara politik disusunlah agenda untuk menghambat calon presiden lain sebagai kompetitor bahkan ada upaya menjadikan calon tunggal secara politik. Memalukan sebetulnya sikap pemerintah ini, karena bertolak belakang dengan klaim masih didukung rakyat. Andai masih didukung rakyat, maka Jokowi tak perlu takut berhadapan dengan capres manapun di dalam Pilpres 2019.

Logika memang sering terbalik dan dibalik di era rezim ini. Nafsu kekuasaan yang tak padam di saat bulan suci Ramadan ini ternyata mampu mematikan akal sehat meski nasib bangsa dan nasib demokrasi dipertaruhkan dengan risiko kerusakan yang lebih jauh. Jika di bulan Ramadan saja Pemerintahan Jokowi dengan pendukungnya Golkar, PDIP dan Nasdem tidak mampu mempuasakan nafsu duniawi untuk berkuasa, apalagi yang terjadi setelah bulan suci Ramadan berlalu? Tampaknya akan lebih buruk lagi. Mengapa mereka itu tidak mengikuti logika waras dan menggunakan akal sehat untuk mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi dan ruh demokrasi? Tampaknya kekuasaan yang nikmat itu menjadi satu-satunya alasan, mereka sedang menikmati memajaki rakyat ugal-ugalan, mereka sedang menikmati jeritan rakyat atas mahalnya harga listrik, mereka sedang menikmati jeritan lawan politik yang dikriminalisasi, mereka sedang menikmati siulan merdu kawan politik yang diperintahkan untuk tidak diganggu.

Tuan Presiden… tak bisakah akal sehat dengan mempuasakan nafsu duniawi termasuk mempuasakan nafsu berkuasa menyelesaikan RUU Pemilu dengan menetapkan syarat pencapresan pada angka 0%? Tidak perlu takut berhadapan dengan calon presiden lain karena Tuan masih didukung rakyat bukan?

Jakarta, 23 Juni 2017

*)Pimpinan Rumah Amanah Rakyat dan Wakil Sekjen Bela Tanah Air