Ferdinand Hutahaean (facebook)

Oleh  : Ferdinand Hutahaean*)

Masa kecilku di sebuah desa nun jauh dari keramaian kota, desa yang hijau, asri, sejuk dan subur tanahnya. Setiap jengkal tanah dengan suburnya menumbuhkan tumbuhan hijau yang membuat masa kecilku nyaman bermain tanpa kebisingan.

Di desa kecil itu, di sebuah sekolah dasar negeri aku mengenal Indonesia. Dari buku-buku pelajaran aku mengenal negeri bernama Indonesia. Dari buku PSPB aku belajar tentang Nusantara dan sejarahnya. Dari buku PMP aku belajar budi pekerti, moral dan ke binekaan. Dari buku itu semua aku mengenal Indonesia dengan identitas yang identik dengan toleransi, kaya perbedaan tapi satu jiwa terbungkus merah putih, negeri yang ramah, murah senyum dan jiwa sosial yang tinggi dengan gotong royongnya. Sebuah negeri yang damai, makan enak, tidurpun nyenyak.

Kisah 30 tahun lebih yang lalu itu kini berubah, berganti dengan dahsyat. Negeri itu kini tak lagi punya senyum, tak lagi terlihat menyatu, tak lagi terlihat ramah, tak lagi terlihat toleran. Negeri itu kini dihuni kemarahan, dihuni kebencian, dihuni ketakutan, dihuni caci maki, dan dihuni demokrasi yang kehilangan jiwa.

Mengapa Indonesia tak seperti Indonesia yang saya kenal dulu? Setidaknya sampai Presiden Republik Indonesia ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia itu masih ada dengan ke-Indonesiannya. Tidak ada yang terusik dengan ketakutan bersuara, tidak ada  kekuatiran akan bubarnya Indonesia, dan tidak ada ketakutan tidak mendapatkan kehidupan. Semua masih melihat Indonesia yang besar dengan masa depan gemilang.

Kisah-kisah indah tentang Indonesia itu kini sepertinya tinggal catatan sejarah yang tinggal di koran-koran lusuh dan buki-buku kumal tak terawat. Indonesia yang sekarang menjadi identik dengan permusuhan, isu intoleransi tubrukan dengan isu Pancasila, isu lapangan kerja tubrukan antara tenaga kerja lokal dengan tenaga kerja asing, isu ekonomi tubrukan antara kemiskinan dengan konglomerasi, isu politik tubrukan antar para elit, isu hukum tubrukan antara pendukung penguasa dengan oposisi. Dan banyak lagi yang saling tubrukan di tengah publik, terutama tubrukan antara kebohongan dengan kejujuran.

Kemana hilangnya Indonesia dengan ke-Indonesiaan itu? Kemana perginya rasa persaudaraan itu kini? Semua hilang sekejap hanya karena nafsu kekuasaan yang melampui kecintaan kepada bangsa. Kita sedang dipimpin sebuah era yang tak mampu merawat ke-Indonesiaan itu. Hilang menyisakan bara yang siap terbakar.

Berapa lama lagi akan kita biarkan ke-Indonesiaan itu pergi dan hilang dari Nusantara?

Jogja, 10 April 2018