Jakarta: Anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrat Bambang Purwanto, S.S.T., M.H menegaskan menghentikan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) bukanlah persoalan mudah. Karena permasalahan karhutla sudah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu.
“Lebih jauh lagi, sebagian kebakaran yang terjadi erat kaitannya dengan persoalan kultural di masyarakat. Di Kalimantan, misalnya, ada sebagian masyarakat yang membuka lahan dengan cara membakar hutan karena sudah menjadi adat istiadat mereka untuk menyediakan stok pangan di lumbung. Uniknya panganan pokok yang disimpan tersebut dipergunakan untuk kebutuhan keluarga. Tidak untuk dijual,” ujar Bambang, yang duduk di Komisi IV DPR-RI, kepada website demokrat di ruang kerjanya, Gedung DPR-RI, Jumat (1/11).
Sulitnya, Bambang Purwanto menjelaskan, pemerintah tidak bisa mengambil solusi dengan cara memasok kebutuhan panganan pokok. Hal ini dikarenakan masyarakat tersebut, ketika mengadakan acara atau ritual adat, mereka hanya bisa melakukannya dengan menggunakan panganan pokok dari hasil panen yang mereka tanam di desa sendiri.
Sebagian masyarakat di Kalimantan dalam mengelola lahan pertanian, yang sudah dilakukan turun-temurun, biasanya melakukan pembukaan lahan.
Awalnya mereka, secara turun temurun, akan menebas semak-semak yang ada di sekitar pepohonan, lalu menebas pepohonan kecil, pepohonan sedang, hingga yang paling akhir pepohonan besar. Lewat cara itu maka semak-semak akan tertimbun kayu dari pepohonan kecil, lalu pepohonan kecil tertimbun pepohonan sedang dan pepohonan sedang tertimbun pepohonan besar. Langkah selanjutnya mereka menunggu sampai gulma dan pepohonan, yang ditebas, menjadi kering.
Di sela penantian itu, masyarakat membersihkan lingkaran lahan bekas penebangan dalam radius lima meter. Ketika seluruh pepohonan yang ditebang telah kering, dan menjelang musim tanam, maka pembakaran dilakukan dengan melawan arah angin. Alhasil api yang membakar semak dan pepohonan akan merambat pelan dan tidak menghasilkan terbangnya kayu-kayu yang membawa api karena terbawa angin (kerap disebut”api terbang”) yang bisa jatuh di areal hutan dan wilayah sekitarnya.
Lewat sistem penebangan bertahap seperti itu, masyarakat mampu menghindari timbulnya kebakaran yang dapat meluas. Mereka mampu mencegah lahirnya “api terbang”.
Masyarakat juga membuka lahan dengan sistem rotasi. Setelah sebidang lahan dikelola dengan baik maka tahun selanjutnya mereka mengelola bidang lainnya. Pengelolaan lahan yang bergilir ini dilakukan secara turun temurun.
Bambang Purwanto menyampaikan, sistem pengelolaan lahan yang dilakukan masyarakat sesungguhnya bisa dipahami. Dengan kondisi lahan yang topsoil (lapisan tanah subur) yang sangat tipis dan keasaman tanah yang tinggi, maka langkah masyarakat menempuh pengelolaan lahan dengan pola seperti itu sesungguhnya masuk akal. Karena keasaman lahan bisa dinetralisir dengan adanya abu pembakaran sehingga pertumbuhan tanaman cukup bagus.
Dalam konteks persoalan kultural, Bambang Purwanto menguraikan, masih banyak masyarakat perdesaan di Kalimantan (terutama Kalimantan Tengah/Kalteng) memandang, larangan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar dinilai tidak memperhatikan kearifan lokal setempat. Membuka lahan dengan cara membakar bagi masyarakat adat merupakan kearifan lokal yang dilakukan masyarakat adat secara turun temurun. Dalam persfektif masyarakat adat, membuka lahan dengan cara membakar sangat efisien dan hanya cara itu yang bisa mereka lakukan karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan.
Larangan keras pemerintah untuk membuka lahan pertanian dengan cara membakar malah membuat masyarakat menjadi serampangan dalam menebang dan membakar semak serta pepohonan. Mereka menjadi tergesa-gesa dan berusaha secepat mungkin membakar pepohonan untuk membuka lahan. Akibatnya “api terbang” terjadi di banyak tempat. Sebagian “api terbang” yang terbawa angin jatuh di hutan dan membakar pepohonan yang dilindungi.
Sekalipun pemerintah melakukan penindakan tegas, upaya masyarakat mengelola lahan dengan cara turun temurun tetap dilakukan. Sebab berkaitan dengan kebutuhan pangan dan tuntutan adat yang mereka yakini.
Pada tahun 2015, Pemerintahan Jokowi menerapkan aturan main, yakni akan mencopot jajaran kepolisian dan TNI di daerah jika tidak mampu mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Aturan main itu membuat jajaran Polri dan TNI bertindak sangat tegas kepada siapa pun yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan. Tetapi ketakutan masyarakat pada ketegasan aparat, faktanya, hanya berlangsung pada tahun 2016, 2017, dan 2018. Ketika masyarakat kehabisan stok pangan maka mereka kembali membuka lahan dengan membakar secara diam-diam. Semata-mata untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka dan memenuhi tuntutan adat.
Terhadap persoalan ini, ujar Bambang Purwanto, langkah yang paling bijak adalah melakukan pembinaan serta pendampingan ke masyarakat.
Pemerintah memberikan pembinaan serta pendampingan ke masyarakat dengan sistem terpadu melibatkan lintas kementerian. Minimal selama lima tahun. Bentuk pembinaan dan pendampingan sesuai dengan kewenangan kementerian masing-masing. Beberapa hal konkret yang harus dilakukan antara lain, mengubah pola tanam, memberikan bibit unggul, kapur dolomit, pupuk berkualitas, peralatan pertanian modern dan teknologi pertanian; perkebunan; dan kehutanan secara terpadu sehingga panen yang dihasilkan baik. Masyarakat pada akhirnya bisa memaksimalkan lahan pertanian tanpa harus menebangi dan membakar pepohonan untuk membuka lahan.
Persoalan karhutla memang menjadi persoalan yang tidak hanya meresahkan bangsa Indonesia tetapi juga negara-negara tetangga bahkan dunia.
Singapura dan Malaysia kerap menerima kabut asap kiriman akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan peningkatan titik api di Sumatera dan Kalimantan.
Setelah kabut asap mereda pada 2016 hingga 2018, pada 2019 asap akibat karhutla di Kalimantan dan Sumatera kembali menyelimuti sebagian wilayah Singapura serta Malaysia hingga memicu protes dari kedua negara itu.
Lebih tragis, seperti diberitakan dalam https://foto.kompas.com/photo/read/2019/10/13/1570961781a83/1/Kala-Kebakaran-Ancam-Paru-paru-Manusia-hingga-Dunia
“berdasarkan studi terbaru dari 12 peneliti asal Universitas Harvard dan Columbia, Amerika Serikat, yang dipublikasikan di jurnal Environmental Research Letters (2016) menyebutkan pada kurun waktu bulan September-Oktober 2015, ada sedikitnya 90 ribu kasus kematian di Indonesia akibat kabut asap karhutla dengan kerugian mencapai Rp 221 triliun berdasarkan riset Bank Dunia.
Di tahun 2019 ini bencana Karhutla pun kembali terjadi dengan jumlah titik panas paling banyak sejak kebakaran tahun 2015. Hal tersebut terjadi akibat pola cuaca El Nino yang memperburuk musim kering tahunan.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulanan Bencana (BNPB) yang dipublikasikan pada Senin, 30 September 2019, luas karhutla di seluruh Indonesia telah mencapai 328.724 hektare dan terus meluas yang mengakibatkan kabut asap pekat dengan aroma menyengat melanda kota dan kabupaten di sejumlah provinsi di Indonesia.”
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa persoalan karhutla bahkan hingga membuat dunia tersentak dan berusaha semaksimal mungkin menyelamatkan Indonesia sebagai paru-paru dunia.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), ujar Bambang Purwanto, bukannya tidak berusaha semaksimal mungkin menghentikan karhutla yang terjadi terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Masih segar dalam ingatan Bambang Purwanto ketika Jokowi menerapkan aturan main pada 2015, yakni akan mencopot jajaran kepolisian dan TNI di daerah jika tidak mampu mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Hingga saat ini, aturan main tersebut masih berlaku.
Aturan main itu kembali diingatkan Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2019 di Istana Negara, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
“Aturan main kita tetap masih sama. Saya ingatkan Pangdam, Danrem, Kapolda, Kapolres. Aturan main yang saya sampaikan 2015 masih berlaku,” kata Jokowi saat itu.
“Ketegasan Presiden tentu akan dilaksanakan para bawahannya semaksimal mungkin. Pemerintahan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kini dilanjutkan Presiden Jokowi juga sudah cukup tegas menindak perusahaan-perusahaan besar yang terlibat dalam karhutla. Hanya saja persoalan karhutla memang tidak hanya terjadi karena kesalahan berbagai perusahaan besar tetapi ada juga yang menyangkut persoalan kultural masyarakat dalam membuka lahan pertanian,” ujar Bambang Purwanto.
Berikut petikan berita tentang penindakan terhadap berbagai perusahaan di link: https://m.detik.com/news/berita/d-4717503/korporasi-tersangka-karhutla-jadi-9-perusahaan-33-perusahaan-disegel
“Polisi menangani 262 kasus terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di berbagai wilayah. Dari korporasi, ada 9 perusahaan yang sudah ditetapkan jadi tersangka.
“Korporasi saat ini yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, Bareskrim menetapkan 1 tersangka, Riau 1 tersangka, Sumsel 1 tersangka, Jambi 1 tersangka, Kalsel 2 tersangka, Kalteng 1 tersangka, Kalbar 2 tersangka. Total 9 tersangka,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (23/9/2019).”
(didik)