Oleh: Ferdinand Hutahaean*)
Pagi ini, jujur saya harus mengakui, dan ini mungkin cuma saya yang merasakan, karena belum tentu orang lain turut merasakan apa yang saya rasakan. Saya pun tidak berani melakukan klaim mewakili perasaan rakyat atau publik, sebagaimana yang dilakukan oleh Bapak Presiden terhadap peresmian proyek-proyek peninggalan Bapak SBY, Presiden RI Ke 6, salah satu presiden yang paling berprestasi sejak Indonesia merdeka.
Saya, biarlah kali ini menulis hanya mewakili pikiran dan perasaan saya saja, namun jika ada atau bahkan banyak yang juga merasa sama, mungkin saja itu kebetulan atau jangan-jangan mungkin perasaan saya sama dengan ratusan juta rakyat Indonesia. Entahlah…!
Kemarin saya menulis memberi peringatan kepada siapa saja agar menjaga jarak aman nalar dari pemerintah ini. Artikel singkat yang mungkin membuat panas hati pemerintah dan pendukungnya atau justru malah cekikikan tak perduli, Saya pun tak tahu. Ternyata benar peringatan saya, memang nalar kita harus kita jaga betul-betul dari tabrak lari oleh pemerintah. Bahaya, nalar bisa cacat.
Pagi ini saya baru mencermati betul pernyataan Presiden Jokowi di hadapan Pengurus Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) kemarin. Nalar saya serasa ditabrak lagi oleh Presiden Jokowi karena Jokowi tampak tidak merasa salah dengan nafsu berutangnya selama 2,5 tahun yang menyamai utang negara selama 10 tahun di era SBY. Jokowi bahkan terlihat menyalahkan masa lalu yang mewariskan utang padanya.
Nalar saya tertabrak, dan untuk tidak cacat, saya ingin menuliskan dua hal saja yang saya anggap sebagai upaya perusakan nalar yang dilakukan oleh pemerintah. Dan atas dasar itulah saya ingatkan publik agar menjaga jarak aman nalar dari supir yang ugal-ugalan.
Pertama, utang negara yang menggunung di era Jokowi. Jokowi sangat tampak menyalahkan masa lalu dengan warisan utang tersebut. Padahal SBY mewariskan situasi negara yang cukup stabil dan utang yang stabil kepada Jokowi. Jokowi tidak bisa menyalahkan masa lalu yang ternyata mewariskan kondisi stabil padanya. Itu sama saja merusak nalar bangsa, karena tidak ada negara yang tidak mewariskan utang. Jika Jokowi ingin menjadi Presiden tanpa utang warisan, mungkin Pak Jokowi harus dirikan bangsa sendiri dan bukan memimpin Indonesia.
Nalar bangsa terkait utang ini jangan dirusak dengan argumen-argumen yang tidak mendidik dan cuma mengandalkan ilmu ngeles. Inti masalahnya bukan pada utang warisan akan tetapi terletak kepada besarnya utang negara yang dibuat Jokowi hanya dalam kurun waktu 2,5 tahun. Intinya di situ, jangan dirusak nalar bangsa dengan cerita utang warisan. Kalau mau cerita, mungkin lebih baik Pak Jokowi cerita tentang penjualan Indosat era Megawati yang dijanjikan dibeli kembali oleh Jokowi. Itu lebih membangun nalar bangsa daripada mengalihkan kegagalan kepada masa lalu.
Kedua, UU Pemilu dengan Presidential Thershold 20%. Jokowi dan jajarannya tampak tidak memiliki argumen yang bisa membenarkan dalilnya tentang syarat harus 20% PT. Argumen yang disampaikan hanya sebatas kalimat, dulu juga 20% kenapa ributnya sekarang? Sungguh ini ibarat bajaj yang belok sesukanya dan berhenti semaunya tanpa peduli nalar pihak lain. Atas argumen ini pun, nalar saya merasa ditabrak oleh pemerintah.
Pertanyaan yang tidak akan bisa dijawab oleh pemerintah atas PT 20% adalah, atas dasar apa dan aturan mana yang mengatur dan membenarkan PT 20% diambil dari Pemilu 2014? Mengapa bukan Pemilu 2009? Bukankah siklus pemilu kita 5 tahunan dan bukan 10 tahun? Belum lagi ditambah bahwa dulu pemilu bertahap antara pileg dan pilpres, sementara 2019 adalah pemilu serentak antara pileg dan pilpres. Perbedaan ini saja seharusnya menutup pintu menggunakan pemilu dulu sebagai argumen pembenaran dari lelucon politik yang menipu rakyat (meminjam istilah Pak Prabowo).
Pak Jokowi harusnya memahami bahwa inti permasalahan utamanya bukan pada 20% nya. Akan tetapi pada logika apa yang digunakan untuk memilih hasil Pemilu 2014 sebagai dasar PT itu yang tidak masuk akal karena itu sudah digunakan pada Pemilu 2014 lalu dan sudah kadaluarsa. Siapa yang bisa menjamin suara PDIP dan Golkar 2019 nanti masih sama dengan 2014? Bagaimana kalau ternyata PDIP dan Golkar cuma dapat 3% total? Lantas apakah presidensial jadi kuat? Ahh logika Pak Jokowi tidak masuk akal.
ukuplah 2 hal ini yang saya bahas sebagai ungkapan perasaan saya yang merasa nalar saya sedang ditabrak oleh pemerintah. Meski masih banyak kejadian dan argumen yang justru merusak nalar bangsa seperti sosok Prabowo yang diungkit ungkit masa lalunya pasca-pertemuan diplomasi nasi goreng di Cikeas.
Saya sangat berharap agar Pak Presiden menjaga nalar bangsa agar tidak rusak. Mestinya Revolusi Mental sejatinya mengubah nalar rusak jadi baik, bukan justru mengubah nalar baik jadi rusak.
Selamat bertugas, Pak Presiden. Tolong siapkan Pemilu 2019 yang adil dan jujur agar nalar publik tidak semakin rusak.
Jakarta, 01 Agustus 2017
*)Pimpinan Rumah Amanah Rakyat