Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono*)

Penyebaran virus korona di seluruh dunia makin meluas. Saat ini, 17 Maret 2020, yang terinfeksi mencapai 180.000 orang lebih. Sementara yang meninggal sudah berjumlah 7.000 orang lebih. Angka ini jauh melampaui korban Avian Flu, SARS dan MERS. Mudah-mudahan tak sebesar korban Russian Flu tahun 1889, dengan korban jiwa 1 juta orang. Juga semoga jauh di bawah korban Spanish Flu tahun 1918-1920, yang memakan korban 50 juta orang meninggal.

Bisa kita simpulkan, pandemi virus korona ini serius. Kita juga belum tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Kalau dunia ingin nasibnya tidak seburuk ketika terjadi Russian Flu dan Spanish Flu di masa lampau, bangsa-bangsa sedunia harus sungguh bersatu dan bekerja sama untuk mengatasi pandemi virus korona yang ganas ini.

Untuk Indonesia, negara kita, jumlah penduduk yang terinfeksi jumlahnya belum tergolong besar. Alhamdulillah. Namun, yang mencemaskan jumlahnya makin bertambah. Kita tidak ingin pada saat negara-negara lain sudah susut jumlahnya, justru kita yang meningkat. Jangan sampai Indonesia menjadi “epicenter baru” setelah saat ini bergeser dari Tiongkok ke Eropa.

Saya gembira, saat ini negara-negara di seluruh dunia makin serius dan makin efektif dalam menangani pandemi virus korona ini. Yang dilakukan juga makin terarah, tegas dan nyata. Sejumlah kota di berbagai negara, bahkan di seluruh negara, dilakukan “lockdown”. Artinya, penduduk dilarang meninggalkan rumah masing-masing atau sangat dibatasi kegiatannya. Tempat-tempat yang mengundang atau membuat manusia berkumpul, termasuk rumah makan, toko-toko dan tempat-tempat hiburan misalnya, ditutup. Kota dan negara yang di “lockdown” juga dinyatakan tertutup dari kedatangan penduduk negara lain. Tujuannya satu, menyelamatkan masyarakat dan manusia. Orang-seorang. Tentu masyarakat menjadi tidak nyaman dan kebijakan ini juga ada risiko-risikonya, termasuk kerugian dari sisi ekonomi. Tetapi kebijakan dan tindakan itu harus diambil. Keselamatan dan kelangsungan hidup manusia di atas segalanya.

Saya, dan saya kira juga masyarakat Indonesia, menyambut baik langkah-langkah pemerintah untuk meningkatkan upaya penanganan virus korona. Langkah yang lebih serius, atau sangat serius, memang diperlukan. Secara jujur harus saya katakan bahwa pemerintah harus melakukan koreksi dan perbaikan atas langkah-langkah awal yang dilakukan. Mungkin awalnya terlalu percaya diri (over-confident), menganggap ringan (under-estimate), sementara pernyataan sejumlah pejabat saya nilai tidak tepat (misleading). Tapi itu sudah lewat. Yang positif, tindakan pemerintah kini makin nyata.

Rakyat akan merasa tenang dan tak akan panik, seperti yang selalu diinginkan oleh pemerintah, apabila rakyat yakin pemerintahnya melakukan langkah-langkah yang benar, tepat dan kredibel. Sebagaimana yang dilakukan oleh negara lain, yang dinilai berhasil. Rakyat juga tenang, jika mereka terus diberikan informasi yang diperlukan, disertai apa yang pemerintah harapkan untuk dilakukan oleh masyarakat dan warga. Apa yang boleh dan harus dilakukan, dan apa yang tak boleh. Tentu semua sesuai dengan protokol korona yang berlaku secara internasional. Inilah yang disebut “guidance” dan “direction”. Masyarakat juga mengharapkan “guidance” yang diterima dari pemerintah klop satu sama lain. Tidak ada perbedaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Ini pandangan saya. Yang jelas saya mendukung penuh langkah-langkah pemerintah untuk meningkatkan semua upaya mencegah virus korona semakin menyebar di negeri kita.

Gejolak ekonomi juga serius, diperlukan “policy response” dan tindakan pemerintah yang sigap dan tepat.

Gejolak perekonomian global akibat pandemi korona saat ini juga serius. Sudah sebulan ini, terutama seminggu terakhir, saya mengikuti dinamika dan perkembangan ekonomi dunia. Termasuk negara kita. Saya simpulkan ini juga serius. Simak rontoknya harga-harga saham, minyak dan nilai tukar. Juga berbagi pukulan yang menggoyahkan pilar dan fundamental perekonomian banyak negara. Termasuk Indonesia.

Saya jadi teringat krisis ekonomi global tahun 1998 dan tahun 2008. Tahun 1998 ekonomi Indonesia tidak selamat, sementara tahun 2008 kita selamat. Dalam arti, kita dapat meminimalkan dampak krisis ekonomi global tahun 2008.

Banyak pakar ekonomi, pemimpin dunia usaha dan bahkan elemen pemerintah di banyak negara yang khawatir gejolak ini bisa membuat dunia jatuh ke dalam “resesi yang dalam dan panjang”. Bahkan ada yang mencemaskan kalau krisis ini jauh lebih berat dibandingkan krisis tahun 1998 dan tahun 2008 dulu.

Kemarin, bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) telah menjalankan kebijakan moneter dan tindakan “berskala besar”. Antara lain mengalirkan dana 700 milyar dolar AS dan sejumlah tindakan moneter (bagian dari Quantative Easing). Yang mengerti ekonomi, kalau The Fed sudah “menembakkan peluru kendali” seperti ini, berarti situasi sudah serius. Berbagai bank sentral di seluruh dunia juga melakukan langkah-langkah yang serupa. Bahkan para pemimpin G7 telah meminta agar IMF dan Bank Dunia membantu negara-negara yang memerlukan.

Terhadap itu semua, secara pribadi saya jadi ingat apa yang terjadi di tahun 2008 dan tahun-tahun setelah itu. Memori saya jadi hidup lagi. Betapa untuk menghadapi krisis berskala besar kala itu jalannya tak selalu mudah. Jangan dikira berbagai “policy response” yang dilakukan secara kolektif oleh dunia, baik moneter maupun fiskal, bisa serta merta menenangkan dan “menjinakkan” pasar. Ternyata tak segampang itu. Untuk meredakan badai ekonomi diperlukan penanganan bersama yang serius dan terus-menerus. Tentu termasuk kebijakan dan tindakan yang dilakukan secara nasional, di masing-masing negara.

Melalui artikel ini saya hanya ingin mengingatkan agar Indonesia tidak terlambat menjalankan “policy response” dan aksi-aksi nyata yang diperlukan. Jangan “too little and too late”. Selamatkan ekonomi kita, selamatkan rakyat. Di samping ekonomi dunia dan kawasan nampaknya benar-benar kelabu dan terus bergejolak, ekonomi kita juga memiliki sejumlah persoalan yang fundamental. Kalau ekonomi kita kuat, semua fundamentalnya kokoh dan tak memiliki risiko apapun, kita boleh agak tenang. Pohon yang kuat, sehat dan akarnya kokoh akan selamat manakala taufan dan badai datang menerjang. Mungkin sempat terhuyung-huyung, namun tak akan roboh. Tetapi akan berbahaya jika…. badainya terlalu kuat dan pohon yang kita miliki tak sekokoh yang kita duga.

Saya termasuk orang yang optimistis. Namun, juga realistis. Selalu ada jalan ketika kita menghadapi kesulitan. Setiap masalah selalu ada solusinya. Yang penting jangan terlambat untuk berbuat. Pilihlah solusi yang paling tepat. Kemudian jalankan dengan segala daya upaya. Insya Allah berhasil.

Cikeas, 17 Maret 2020

*) Presiden Indonesia ke-6