Aksi “kartu kuning” Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa kepada Presiden Jokowi (repro: politiktoday)

Oleh: Ridwan Sugianto*)

Pasca aksi “kartu kuning” Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa kepada Presiden Jokowi, publik dikejutkan dengan wacana menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam draft UU KUHP yang sedang dibahas oleh DPR.

Secara pribadi, saya menolak pasal ini dihidupkan kembali karena beberapa alasan.

Pertama, pasal ini bukan hanya tak berguna tetapi berpotensi menjadi alat represi pemerintah. Pasal ini sangat mungkin digunakan untuk menekan kritik dan pendapat terhadap presiden dan wakil presiden.

Pasalnya, belum ada standar baku mengenai hal-hal yang dianggap menghina sehingga berbagai macam perbuatan selama dirasa bertentangan dengan kedudukan presiden dapat dianggap sebagai penghinaan.

Ambil contoh begini. Pasal 263 draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, menyebut seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana penjara paling lama lima tahun.

Namun, konten yang disebarluaskan tidak bisa dikategorikan sebagai penghinaan apabila dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran dan pembelaan diri. Hal tersebut ditegaskan sebagai upaya untuk melindungi kebebasan berekspresi dalam berdemokrasi. Pertanyaannya, apa kategori “penghinaan”, “kepentingan umum”, “demi kebenaran” dan “pembelaan diri” tersebut.

Kedua, pasal ini pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya MK melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP. Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.

Kedua, pasal penghinaan terhadap presiden adalah peninggalan kolonial Belanda. Secara historis pasal penghinaan teradap presiden adalah sebagai pasal lesse majeste, yang bertujuan melindungi martabat keluarga Kerajaan Belanda dari serangan rakyat yang tidak sepakat dengan kebijakan mereka. Namun, kita sama-sama paham, Indonesia sekarang adalah Negara republik, bukan kerajaan.

Presiden dan wakil presiden bukan negara, dan tidak pernah menjadi simbol Negara. Sama seperti lembaga tinggi lainnya, presiden dan wakil presiden adalah bagian dari penyelenggara Negara. Sehingga mengkritik atau menghina seorang presiden tidak bisa dipaksakan sebagai kejahatan melawan Negara.

Sementara yang disebut sebagai simbol Negara adalah burung garuda, bendera merah putih. Dua hal ini yang tak boleh dihina jika tak mau bersangkut-paut dengan hukum negara. Berbeda statusnya dengan seorang presiden. Apabila seorang presiden dikritik maka yang menjadi objek kritik adalah manusia secara personalnya. Karena itu, bila terdapat hinaan, dapat melaporkan kepada pihak berwajib secara pribadi.

Ilustrasinya begini. Apabila Jokowi misalnya dihina dengan sebutan “anak PKI” atau “orangtuanya tak jelas” maka yang dihina adalah Jokowi secara personal, bukan presiden RI. Urusannya hukumnya sudah termaktub dalam pasal pencemaran nama baik seseorang yang sudah diatur dalam KUHP. Tidak perlu ada pasal-pasal baru.

Ketiga, pasal penghinaan terhadap presiden adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHP masih memuat pasal-pasal penghinaan terhadap presiden.

Pasal-pasal tersebut sejatinya melanggar prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi dan prinsip kepastian hukum.

Dari sini saya berpandangan tidak ada landasan nalar yang membenarkan dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden dan wakil presiden—apalagi jika hendak diperluas dengan pasal penghinaan terhadap pimpinan lembaga tinggi, bahkan menteri.

Hal ini adalah kemubaziran karena setiap person yang kebetulan tengah menjabat itu bisa membela dirinya berbasiskan pasal pencemaran nama baik yang sudah diatur oleh KUHP. Saya berasumsi hal ini tak lebih dari bentuk kekhawatiran, wujud paranoid sehingga mencoba mencari cara untuk membentengi diri dari kritik masyarakat.

Lagipula, presiden dan wakil presiden, atau pimpinan lembaga tinggi lainnya bukan malaikat. Mereka juga bisa salah. Jokowi misalnya pernah mengaku tidak membaca berkas negara yang ditandatanganinya, sementara Setya Novanto terindikasi terlibat kasus korupsi e-ktp dan “papa minta saham” PT Freeport itu. Bagaimana dengan Aqil Moctar atau Irman Gusman yang sudah meringkuk di tahanan?

Presiden dan wakil presiden memang dipilih oleh rakyat. Tapi bukan berarti keduanya harus menjadi lembaga sakral.

*)Pegiat Komunitas Indonesia Emas

(politiktoday)