Indra Denni (dokpri)

Oleh: Indra Denni*)

Perjalanan negara bangsa republik ini genap mencapai usia 73 tahun di 2018 nanti, beragam dinamika terkadang gembira kadang pula menangis perih.

Hujan telah reda dari balik jendela, renungan melintas era kemerdekaan 1945 para pejuang berhasil menendang jauh kolonialisme Belanda, Jepang dan sekutu dari Ibu pertiwi.

Kegembiraan seluruh rakyat masa itu mampu dirasakan saat ini, belum lima tahun merasakan kegembiraan, pada tahun 1948 terjadi penghianatan yang dilakukan Muso cs dari Partai Komunis Indonesia.

Belum genap satu tahun nafas lega dihirup, kembali terjadi pemberontakan Darul Islam (DI/TII) pada tahun 1949 yang dilakukan Kartosuwiryo cs.

Menyusul pada tahun 1957 terjadi kembali pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sumatera dan Sulawesi.

Pemberontakan susul menyusul tanpa jeda, seakan negeri ini tanpa ada harapan untuk dapat bersatu membangun perabadan yang lama hancur akibat penjajahan bangsa asing.

Puncak tragedi penghianatan kembali menerpa bangsa yang tersohor ramah ini, pada tahun 1965 Partai Komunis Indonesia (PKI) kali ini dipimpin DN. Aidit kembali melakukan penghianatan terhadap negara bangsa.

Presiden RI pertama Ir. Soekarno jatuh bangun tanpa ada kesempatan untuk membangun negeri, pemberontakan terus menerus bermunculan masa kepemimpinan Bung Karno. Masa itu adalah politik menjadi panglima.

Revolusi yang memakan anak kandungnya sendiri, bukan persatuan ataupun kemakmuran yang terwujud justru malapetaka didapat.

Angin semilir dari balik jendela rumah, cukup melenakan mata menjadi sedikit redup.

Kopi hangat sudah diselimuti dingin, sebatang kretek dan alunan musik instrumental Richard Clayderman lumayan mampu mengusir rasa kantuk.

Yah…Pasca penghianatan Gerakan 30 September (G30S/PKI) negeri merasakan “zaman tenang” dan anak bangsa menikmati ketenangan serta terlindungi dari perpecahan selama kurun waktu 32 tahun lamanya.

Stabilitas nasional adalah “pakem” untuk membangun negeri yang telah tertinggal peradabannya, ekonomi adalah panglima bukan politik. Terkenal dengan semboyan “Politik no, ekonomi yes” ketika itu.

Tahun 1998 krisis moneter melanda dunia, negeri 17.509 pulau pun tak luput dari hantaman gelombang panas tersebut.

Pada akhirnya presiden RI ke-dua  Jenderal Besar Soeharto mundur digantikan Sang Profesor BJ. Habibie, kegembiraan “sebagian” rakyat menyambut kedatangan alam reformasi.

Memasuki pintu gerbang “babat reformasi” kembali politik menjadi panglima, keterpurukan ekonomi nasional dari presiden ke-tiga sampai ke-lima tak kunjung bernasib baik.

Waktu tak terasa sudah menunjukan setengah dua dini hari, sudah memasuki tanggal 1 Oktober 2017, Selintas pikiran lewat mengingat kejadian 52 tahun yang lalu, malam penculikan kusuma bangsa tujuh pahlawan revolusi.

Angin segar mulai tampak, keterpurukan ekonomi rakyat mulai sirna dan bangkit dalam kepemimpinan Presiden RI ke-enam Jenderal (purn) DR. Soesilo Bambang Yudhoyono.

Stabilitas nasional membaik, politik dan ekonomi sebangun berjalan tanpa ada hambatan.

Model demokrasi yang belum pernah ada di negeri ini dapat terwujud, politik dan ekonomi bisa seiring seirama tanpa ada gejolak tidak seperti sejarah masa lalu dimana politik dan ekonomi tidak pernah “akur” sejak pasca kemerdekaan.

Dan Indonesia mampu terlepas dari IMF dan Bank Dunia, pada tahun 2016 utang piutang kepada lembaga tersebut dapat dilunasi dan Indonesia berdiri tegap sama tinggi dengan negara lainnya serta masuk di dalam negara-negara maju G20.

Serangan kantuk kembali datang merayap tanpa bentuk, kopi digelas dominan ampas yang terlihat pertanda harus takluk kepada kantuk.

Padahal masih tersisa sedikit cerita legenda babat reformasi yang belum didongengkan, era Presiden RI ke-tujuh Ir. Joko Widodo yang sudah memasuki tiga tahun mengelola negara bangsa.

Terlalu dini untuk menilai karena belum masuk masa pensiun, untuk sementara belum masuk ke ranah kesimpulan, sudah terlihat “signal” kemunduran demokrasi dan ekonomi.

Semoga ke depan negara bangsa tidak lagi mengalami keterpurukan seperti sejarah masa lalu yang suram kelam. Kita masih memiliki “utang moral” kepada para founding fathers.

*)Pengurus Departemen Koordinasi Perekonomian DPP Partai Demokrat