Oleh: Renanda Bachtar*)
Di balik berita pengakuan La Nyalla yang menghebohkan jagad berita nasional karena menyebutkan bahwa dirinya diminta Ketum Gerindra Prabowo Subianto untuk memberikan dana 40 miliar jika mau diusung sebagai cagub Jatim oleh Partai Gerindra, pada hari yang sama, pengajuan Judicial Review Presidential Threshold (PT) 20 persen ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan respons yang “sepi-sepi saja”. Keputusan MK tersebut sesungguhnya memerangi logika, ambigu dan membuat mundur pencapaian demokrasi Indonesia yang sempat dipuji-puji negara-negara maju di dunia internasional.
Untuk menyegarkan ingatan kita mari kita mundur sedikit ke belakang untuk melihat proses perjalanan ditolaknya Presidential Threshold ini.
Adalah pemerintah yang mengusulkan adanya syarat penentuan ambang batas perolehan suara partai politik untuk mengajukan Capresnya dalam Pemilu 2019, yaitu sebesar minimal 20 persen yang diambil dari hasil Pemilu 2014 lalu. Basis argumentasi Mendagri Tjahyo Kumolo sebagai berikut: “PT memastikan bahwa bahwa pasangan terpilih telah mendapat dukungan minimum dari partai politik atau koalisi di parlemen sehingga PT memperkuat pemerintahan presidensial”. Ini sungguh argumentasi yang merendahkan logika, bahkan bagi orang yang tidak cerdas sekalipun. Bagaimana mungkin sistem presidensial bisa diperkuat jika belum apa-apa sejak awal syarat menjadi calon Presiden dipersulit dan dirintangi sehingga hanya bisa dimungkinkan maju berkontestasi jika partai atau koalisi partai dengan total perolehan suara 20 persen suara DPR atau 25 persen suara pemilu bersepakat memberi tiketnya kepada capres tersebut. Tentu saja bukan tiket “gratis” karena “there is no free lunch”.
Secara empiris, dukungan atas Jokowi-JK pada tahun 2014 lalu tidak hanya diperoleh melalui koalisi pengusung awal. Pasca pemilihan Presiden 2014 Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, PKPI) mendapatkan pendukung susulan, yaitu dari PPP dan PAN. Justru dengan dukungan partai politik pasca Pilpres ini, maka Koalisi Indonesia Hebat akhirnya berbalik menjadi mayoritas di DPR, yaitu 295 kursi, dibandingkan dengan Koalisi Merah Putih yang memiliki 204 kursi. Terbukti, dukungan partai politik tidak saja terjadi sebelum pemilu, namun juga pasca Pilpres. There is no big deal.
Dengan fakta empiris ini, argumentasi yang dikemukakan Mendagri Tjahyo Kumolo dan logika hukum MK justru kehilangan rasionalitas. Jadi tidak make sense, serta jauh panggang dari api.
Jika saja Judicial Review PT 0 persen diterima oleh MK maka capres bisa dimajukan oleh setiap masing-masing partai, dan partai dapat mengusung capres yang memiliki survey elektabilitas dan rekam jejak yang baik serta seide dengan platform partai (pasal 6A ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa adalah hak setiap partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan capres). Dalam hal ini bisa saja partai-partai yang memiliki kemiripan platform akan mengusung satu capres yang sama, dan jika ini terjadi, maka koalisi antar partai akan terbentuk secara lebih alamiah, tidak dipaksakan, lebih strategis dan tidak berbasis transaksional. Jangan lupa, MK menyatakan penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan 2009 setelah Pileg ditemukan fakta-fakta, bahwa capres terpaksa harus bernegosiasi politik terlebih dahulu dengan partai politik pendukung yang pada akhirnya mempengaruhi roda pemerintahan. Faktanya lagi, tawar menawar politik itu lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Akibatnya, Presiden sangat tergantung pada partai-partai politik pendukung yang tentu saja mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dan efektif.
Hal lain yang mengusik logika adalah jika ambang batas yang digunakan adalah dari hasil pemilu 2014 dimana kita semua sudah ketahui nilai perolehannya masing-masing, maka konsep agar Pilpres dilaksanakan serentak dengan Pileg di Augustus 2019 sesuai amar keputusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pada Pemilu 2019 pemilihan legislatif (DPR, DPRD & DPD) dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan serentak, makin kehilangan konteksnya. Bukankah esensi pemilu serentak itu agar presiden terpilih bukan dikarenakan hasil perolehan suara partai-partai politik? Jelas sudah, misi penguatan sistem Presidensial justru menjadi pupus dengan adanya putusan penolakan MK ini!
Niat MK terdahulu untuk memperkuat sistem presidensial serta upaya penyelamatan politik nasional agar terbebas dari era “penyanderaan” Presiden oleh partai-partai politik besar digagalkan oleh para petinggi MK yang sekarang. Perlu diketahui dari 9 hakim MK, hanya dua diantaranya, yaitu Saldi Isra dan Suhartoyo yang menyampaikan perbedaan pendapat atau dissenting opinion. Suhartoyo menilai, mempergunakan hasil pemilu legislatif sebagai syarat mengisi posisi eksekutif merusak logika sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem presidensial, melalui pemilu langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah kepada legislatif dan eksekutif (Presiden).
“Mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan legislatif belum tentu sama, bahkan sejumlah fakta empirik membuktikan acapkali berbeda dengan mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif”, ujarnya.
Saldi Isra menambahkan, pemberian kursi sekurangnya 20 persen dari jumlah kursi DPR tidak menjamin terjadinya stabilitas pemerintahan. Apalagi, tidak ada jaminan hasil di Pemilu 2019 akan sama dengan Pemilu 2014.
Cukuplah dengan bukti betapa lemahnya argumentasi Mendagri serta tidak konsistennya MK dengan hasil temuannya sendiri, yaitu bahwa adanya PT berapapun besarnya hanya akan “menyandera” Presiden pasca terpilih.
Sekarang, mari kita pahami apa dampak PT 20 persen bagi rakyat Indonesia?
Pertama, dengan pembatasan sebesar 20 persen dan mengingat bahwa yang bisa mencalonkan Presiden hanyalah partai-partai besar saja, maka rezim pemilu 5 tahunan hanya akan menyisakan calon pemimpin yang “itu-itu saja”. Dengan demikian maka sudah barang tentu kesempatan bagi tampilnya lebih banyak alternatif Capres yang baik dan berkualitas pada pemilu tahun 2019 serta pada pemilu-pemilu selanjutnya menjadi sesuatu yang muskil.
Siapa yang dirugikan dengan situasi seperti ini? Rakyat tentunya! Semua tahu bahwa banyaknya pasangan Capres akan mendorong adanya kontestasi ide serta gagasan-gagasan alternatif yang bisa memicu tingkat kekritisan rakyat dalam menilai dan memilih pemimpin yang lebih berkualitas dibandingkan dengan pilihan yang “itu-itu saja” tadi. Padahal, sesuai niat awalnya, penghapusan PT diyakini akan meningkatkan partisipasi warga negara sebagai pemilih, karena Capres/Cawapres menjadi lebih banyak pilihan. Pembatasan calon berarti membatasi opsi pemilih, yang padahal berpotensi menaikkan voters turn out (golput) yang biasanya disebabkan terbatasnya pilihan yang ada dan kurang sesuai dengan keinginan pemilih.
Kedua, harap diingat bahwa normalnya rezim pemilu di Indonesia berlangsung 5 tahunan dan dengan digunakannya hasil pemilu 2014 (yang telah menghasilkan Presiden Jokowi dan JK) untuk pemilu 2019, maka koreksi rakyat atas pilihannya kepada partai baru dapat secara efektif digunakan di pemilu 2024!
Konsekuensi dari adanya PT 20 persen ini, semisal harapan rakyat ingin menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi Presiden, hanya bisa terjadi di 2024 dan itupun jika Partai Demokrat menjadi partai yang minimal meraih suara minimal 20 persen pada pemilu 2019 nanti. Jika perolehan suara Partai Demokrat di 2019 kecil, maka angan-angan untuk menjadikan AHY sebagai pemimpin Indonesia di 2024 harus rela dilupakan. Nasib yang sama akan dialami oleh alternatif-alternatif pemimpin baru lainnya.
Apakah rakyat mengerti tentang situasi ini? Sepertinya, masih banyak yang belum sadar apa yang akan mereka hadapi sebagai dampak putusan MK ini. Inilah era kali pertama kita memilih untuk diperhitungkan di 5 tahun mendatang atau baru berdampak 5 tahun kemudian. Apakah ini bagian dari anomali politik nasional? Penulis lebih melihat hal ini sebagai upaya manipulasi dan tarik ulur kepentingan politik, yang patut diduga disesuaikan dengan selera dan kepentingan penguasa.
Semoga saja pemilih di Indonesia semakin memahami dan memanfaatkan sebaik-baiknya hak politiknya dan melakukan koreksi dukungannya kepada partai-partai politik yang terlihat kinerja dan konsistensinya dalam membela kepentingan rakyat selama kurun waktu 2014 – 2019.
Terakhir, karena putusan MK mengenai PT 20 persen ini bersifat final dan mengikat, maka penulis ingin mengingatkan bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan pemimpin alternatif yang kita inginkan di 2024, adalah dengan cara memenangkan partai pengusungnya di 2019 nanti.
*) Wakil Sekjen Partai Demokrat; Komunikator Politik Partai Demokrat