Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin (tribunnews)

Jakarta: Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin menilai keputusan Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, lebih kuat aroma politiknya.

Pasal 222 UU Pemilu menyatakan, pasangan calon Pemilu 2019 diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya.

“Bukan putusan negarawan! Menurut hemat saya, putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan konstitusi dan akal sehat,” kata Didi lewat pesan singkat, Senin (15/1/2018).

Dirinya mengingatkan, bahwa tahun 2019 adalah pemilu serentak, baik untuk memilih presiden dan anggota dewan.

“Tidak mungkin ambang batas pemilu legislatif tahun 2014 dipakai dua kali. Digunakan lagi untuk tahun 2019. Analoginya kalau orang nonton bioskop, tidaklah mungkin karcis yang sudah disobek dipakai untuk nonton dua kali,” kata Didi.

Menurutnya, semua partai politik tidak akan pernah tahu jumlah suara akan diperoleh masing-masing pada pemilu tahun 2019.

“Tentu bisa lebih besar, bisa lebih kecil. Bahkan bisa saja ada partai yang tidak mencapai ambang batas parliamentary threshold. Oleh karenanya tentu jauh dari akal sehat andai ada partai yang tidak lolos lalu dipakai juga suaranya, menjadi dasar untuk penentuan ambang batas bagi syarat presidential threshold. Sungguh absurd dan sesat jadinya,” kata Didi.

Dirinya mengatakan, secara akal sehat pemilu serentak, yang perolehan kursi anggota DPR-nya belum diketahui bagi masing-masing partai. Maka tidak mungkin presidential treshold akan menjadi syarat bagi parpol dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Saya yakin masyarakat luas berharap penuh nasibnya kepada Mahkamah Konstitusi sebagai ‘pengawal penegakan konstitusi di negeri ini.”

“MK diharapkan tetap adil dan jernih. Tetapi MK ternyata menghasilkan keputusan yang hemat saya justru jauh dari semangat yang adil dan konstitusional, padahal di sana konon negarawan semua. Tetapi mengapa putusannya lebih kental aroma politiknya,” katanya.

Didi menilai, putusan Mahkamah Konstitusi saat ini merupakan salah satu putusan yang sangat mengecewakan.

“Masih pantaskah yang mulia hakim-hakim yang memutus itu dijuluki sebagai negarawan?” Katanya.

Dirinya memberikan saran, meskipun putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap, perlu kajian akademis dan debat publik, agar menjadi pelajaran berharga bagi masa depan berdemokrasi di negeri ini kelak.

“Saya yakin kita semua ingin menjaga marwah reformasi dengan sebaik-baiknya demi membangun demokrasi yang terbaik bagi Indonesia ke depan,” katanya.

“Tadinya kami semua berharap banyak pada hakim-hakim di Mahkamah Konstitusi tersebut, agar bisa menghasilkan putusan yang benar-benar merupakan cerminan dari seorang negarawan sejati. Sungguh ironis,” kata Didi.

(tribunnews/dik)