Oleh: Abdul Gafar*)
Satu per satu kenyataan terkuak ke permukaan. Gerakan 212 yang melibatkan seluruh unsur masyarakat dari seluruh pelosok negeri untuk memperjuangkan agamanya, akhirnya kini dijadikan barang dagangan politik. Aksi simpati bela islam pada 2 Desember 2016 itu dijadikan barang dagangan kampanye oleh pihak-pihak tertentu untuk melegetimasi gerakan politiknya.
Jika kita boleh jujur, apakah seluruh peserta aksi 212 bersedia menitipkan kepentingan politiknya kepada orang perorang, ormas tertentu, atau partai tertentu?
Bisa dipastikan jawabannya tidak. Namun apa dikata, seperti yang dikatakan Muhammad Gatot Saptono atau lebih dikenal Al Khathat selaku Sekjend FUI, semangat umat seperti di Pilkada DKI Jakarta harus dilanjutkan di daerah lain. Menurutnya ini sesuai dengan pesan Habib Rizieq kepada partai-partai yang mendukung 212.
Ia juga menerangkan bahwa, Habib Rizieq juga meminta jalur khusus kepada partai pendukung 212 untuk memberikan rekomendasi kepada calon yang diusung ulama 212. Dirinya juga meminta kepada partai yang telah dititipkan pesan oleh Rizieq untuk tidak mempersulit rekomendasi kepada calon yang mereka usung. Pernyataan ini merupakan dampak dari kenyataan La Nyalla tidak didukung oleh Gerindra, PKS, dan PAN untuk maju Pilgub di Jawa timur.
Menariknya, secara legal standing siapa dan apa gerakan 212, sehingga bisa diberikan jalur khusus oleh partai-partai terntenu? Atau jangan-jangan selama ini memang ada niat untuk menjual suara umat ini dengan mengakali simpati umat pada kasus Pilkada DKI?
Selama ini pentolan 212 dengan gahar memastikan gerakan 212 ini merupakan kebangkitan umat. Gerakan ini tidak ditunggangi kepentingan politik apapun. Toh kalau ini gerakan kebangkitan umat, berarti umat telah cerdas dan sadar seperti apa pemimpin yang akan dipilihnya.
Jika hari ini masih juga ada penggiringan opini pemimpin sesuai rekomendasi gerakan 212 atau ulama, maka terang benderanglah, aksi 212 hanya merupakan syahwat politik segelintir orang dengan memanfaatkan simpati umat.
Sebagai ulama, tokoh panutan, sebaiknya kita berjujur-jujur saja. Jika memang ada syahwat untuk berpolitik, mari kita besarkan negeri ini dengan cara-cara yang sesuai dengan kaidah hukum yang ada. Jangan jadikan umat sebagai bola yang dioper kian kemari.
Ulama seharusnya menempatkan diri sebagai oase di tengah padang gurun yang gersang. Bukan malah ikut memperkeruh suasana pesta rakyat yang sedang berlangsung. Apalagi jika ulama dengan terang-terangan menakar kadar keislaman seseorang untuk layak dipilih sebagai pemimpin.
Jikalau pentolan aksi 212 ingin berpolitik, kita tidak bisa melarangnya, karena itu haknya untuk dipilih sesuai dengan konstitusi. Seperti contohnya Al Khaththat yang pernah gagal nyaleg melalui Partai Bulan Bintang di daerah pemilihan DKI Jakarta III yang meliputi wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu. Jika dirinya ingin kembali berpolitik, silahkan, tapi jangan seret-seret nama umat Islam atas kepentingan individu tersebut.
Jika spirit politik identitas ini yang dimunculkan, apalagi dengan sepihak mengklaim suara umat berada di tangan mereka, tentu ini jauh dari perjuangan ulama-ulama nusantara ketika menegakkan NKRI. Seharusnya jika seorang ulama ingin menjadi pemimpin umat, dia harus rela meletakkan jabatan ulamanya agar dia tidak menjadi anti kritik atas ilmunya. Karena sejatinya pemimpin dan ulama juga ladang salah sebagai manusia. Karena kebenaran mutlak itu hanya milik pencipta alam.
*)Aktivis Aliansi Pembela Ideologi Umat
(politiktoday.com/dik)