Oleh: Ferdinand Hutahaean
Hari Kebebasan Pers Sedunia dimulai pada tahun 1993, ketika Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan 3 Mei sebagai hari untuk memperingati prinsip dasar kemerdekaan pers. Demi mengukur kebebasan pers di seluruh dunia.
Sejak saat itu, 3 Mei selalu diperingati demi mempertahankan kebebasan media dari serangan berbagai pihak dan memberikan penghormatan kepada para jurnalis yang meninggal dalam menjalankan profesinya. Di Indonesia sendiri, Hari kebebasan pers diawali pada tanggal 23 September 1999, ketika Presiden Indonesia BJ Habibie mengesahkan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Pers, yang mencabut wewenang pemerintah terhadap pers.
Indonesia baru saja menjadi tuan rumah memperingati hari kebebasan pers sedunia pada tanggal 3 Mei 2017 yang baru berlalu. Peringatan ini mengambil thema : Berpikir Kritis di Masa Kritis: Peran Media Mempromosikan Kedamaian dengan Masyarakat yang Aktif dan Terbuka”* yang dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Seluruh dunia menginginkan Pers, Media yang bebas dari tekanan kekuasaan, bebas dari tekanan kepentingan pemilik dan tentu bebas dari tekanan pihak manapun.
Dunia menginginkan Pers yang jujur, akurat, faktual dalam memberitakan berita, menjauhi persepsi dan tidak menjadi pembentuk opini demi kepentingan politik tertentu serta tidak menjadi partisan dalam demokrasi.
Begitu jugalah kita di negeri yang kita cintai ini, kita tentu tidak menginginkan media menjadi perusak tatanan demokrasi karena media adalah salah satu pilar demokrasi. Media adalah seharusnya menjadi tiang kebenaran, dan media tidak boleh menjadi alat pembenaran pemutarbalikan fakta.
Akhir-akhir ini, kita harus jujur mengakui bahwa bangsa ini seperti kehilangan fungsi media yang sesungguhnya. Publik terombang-ambing ditengah lautan derasnya informasi. Publik tidak lagi menemukan kebenaran faktual dari berita-berita melalui media. Justru parahnya, media malah turut serta menebar fitnah dan hoax. Terkadang tanpa meminta tanggapan dari subjek berita, media berani melepas berita yang bertujuan membunuh karakter dan menghabisi lawan politik.
Sedikit kebelakang memberi contoh. Salah satu stasiun TV Nasional yang juga dimiliki oleh seorang elit partai politik pendukung salah satu calon gubernur saat Pilkada Jakarta lalu, terlihat dengan kasat mata menjadi partisan politik. Tanpa etika jurnalisme, stasiun TV tersebut menyiarkan berulang-ulang pernyataan Antasari Azhar terpidana pembunuhan terhadap almarhum Nasrudin. Antasari menuding SBY sebagai sosok yang berada dibalik kriminalisasi kasusnya, dan tanpa meminta tanggapan SBY. Sang stasiun TV memamfaatkan momentum itu untuk kepentingan politik pada Pilkada.
Tidak bisa dipungkiri, hal seperti ini adalah contoh buruk pers yang jujur, ber etika dan menghormati nilai-nilai jurnalisme. Pemberitaan yang tidak berimbang berakibat kerugian bagi pihak lain.
SBY dan Demokrat telah berulang kali menjadi korban dari keganasan fitnah dan hoax. SBY juga pernah dituduh berada dibalik aksi-aksi Umat Islam yang distigmakan radikal oleh rejim berkuasa. Padahal sesungguhnya semua itu hanya fitnah.
SBY sebagai seorang Muslim, wajar dan manusiawi jika turut serta merasa tersinggung agama yang dianutnya dinistakan oleh siapapun. Dan semua manusia yang mencintai agamanya pasti tidak senang jika agamanya dinistakan tanpa adanya penegakan hukum.
Lantas mengapa rejim ini menuduh SBY sebagai dalang aksi yang diikuti oleh jutaan umat Islam secara sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun? Media telah turut andil dalam ketidak adilan tersebut, media telah turut serta membesarkan kebohongan untuk keoentingan politik.
Atas dasar itu jugalah sebagian yang melatar belakangi SBY dan Demokrat disela-sela acara Rakernas Partai Demokrat yang akan berlangsung di Lombok Mataram Nusa Tenggara Barat, kota Seribu Mesjid tanggal 7 Mei 2017 akan melaksanakan aksi nyata bersama rakyat NTB melakukan penandatangan kain bertuliskan dukungan kepada Pers yang bebas, anti fitnah dan hoax.
SBY dan Demokrat mendukung kembalinya Pers, Media sebagai Pilar Demokrasi, sebagai sarana publik untuk mendapatkan kebenaran, mengawal demokrasi dan menjadi tiang kebenaran.
Media adalah milik publik secara umum karena itu media harus bebas, independen, jujur dan mengikuti etika jurnalisme.
Lombok Mataram Nusa Tenggara Barat akan menjadi saksi, bagaimana SBY bersama Demokrat dan puluhan ribu masyarakat menyatakan perang terhadap fitnah dan hoax. Dari Kota Seribu Mesjid inilah SBY, Demokrat, saya, anda dan kita semua akan berjuang mengembalikan pers dan media yang memberitakan kebenaran faktual tanpa rekayasa opini, menjadi pers dan media yang jujur serta anti terhadap fitnah dan hoax.
Ini tentu bukanlah pekerjaan main-main atau iseng atau bahkan sekedar pembentukan opini. Ini pekerjaan serius dan pekerjaan berat yang tidak mudah. Ini hal sangat serius bagi SBY dan Demokrat.
Maka itu, mari kita dukung Pers yang Merdeka, Adil dan Bertanggung jawab.
Lombok, 06 Mei 2017
*)Komunikator Politik Partai Demokrat