foto ilustrasi unjuk rasa menolak Perpu Ormas (metro.tempo.co)

Oleh: Ferdinand Hutahaean*)

Perpu Nomor 2 Tahun 2017 resmi sudah diterbitkan oleh Pemerintah RI pada 10 Juli 2017 sebagai pengganti UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas dan akan dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai hari ini.

Perpu tersebut dalam usianya yang baru lahir telah juga menelan korban pembubaran yaitu Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan atas persepsi pemerintah yang menyatakan HTI tidak sesuai dengan Pancasila atau anti-Pancasila atau tidak Pancasilais. Kita hormati upaya pemerintah dalam mengambil langkah kebiajakan tersebut, namun tentu kita tidak bisa mendiamkan adanya upaya penegakan hukum yang justru tidak mengindahkan kaidah-kaidah hukum yang seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi seperti UU Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Penyampaian Pendapat di Depan Publik serta paling tinggi menghormati Konstitusi UUD 45 yang harus menjadi dasar dari semua UU yang ada dan berlaku di negara ini.

Kita dan siapa pun tentu tidak menghendaki adanya organisasi massa yang ingin mengganti ideologi negara yaitu Pancasila dengan ideologi lain, apakah itu ideologi agama atau ideologi komunis. Kita dan tentu siapa pun tidak ingin adanya pertumbuhan organisasi massa yang menjadi radikal bahkan menyebar kebencian serta permusuhan terhadap kelompok lain yang tidak sepaham dengan kelompoknya. Kita dan tentu siapa pun tidak menginginkan adanya kekerasan antara ormas tertentu dengan kelompok lain. Kita dan tentu siapa pun tidak ingin adanya perpecahan bangsa karena adanya ormas yang tidak menerima perbedaan dan tidak menerima kemajemukan bangsa ini, yang justru merupakan anugerah terindah dari Tuhan Yang Maha Esa untuk Indonesia.

Namun demikian, pemerintah dalam mengelola negara tidak bisa bertindak semena-mena dan menjadi sewenang-wenang terhadap kelompok mana pun. Pemerintah tidak boleh melangkahi dan meniadakan atau mengabaikan proses pembinaan ormas dan proses penegakan hukum untuk menegakkan hukum atau menegakkan aturan. Pemerintah tidak boleh menjadikan dirinya sebagai pembuat aturan sekaligus menjadi hakim dan menjadi pengambil peran sebagai eksekutor atas aturan yang dibuatnya. Mengapa hal itu tidak boleh dilakukan? Karena bila hal itu terjadi, artinya pemerintah sama saja menghilangkan trias politica yang kita anut yaitu meniadakan proses hukum dalam ranah judikatif.

Pemerintah menjadi berpotensi sewenang-wenang dalam menilai sebuah ormas atau kelompok yang tidak disenangi atau tidak disukai oleh pemerintah sebagai ormas yang anti-Pancasila dan langsung mengambil langkah membubarkan ormas tersebut. Sementara bila kita telusuri bunyi pasal-pasal dalam Perpu No 2 Tahun 2017 tersebut, ada sanksi pidana yang berlaku bagi yang terbukti sebagai pengurus atau anggota ormas yang dibubarkan dengan  pidana penjara. Bukankah itu akan menjadi ancaman serius bagi masyarakat untuk dipidana tanpa proses pengadilan? Mengapa tanpa proses pengadilan? Karena ormas dibubarkan sepihak tanpa pengadilan, secara otomatis maka pengurus dan anggotanya juga adalah terbukti anti-Pancasila dan bisa dipidana penjara sesuai Perpu No 2 tahun 2017 tersebut. Bukankan hal tersebut sangat mengancam kebebasan berserikat? Melanggar Hak Asasi Manusia? Bahkan Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tersebut amatlah identik dengan UU Subversif era Orde Baru. Jika demikian, pemerintahan ini bisa saja disebut sebagai Neo Orde Baru atau Orde Baru Jilid Baru.

Di atas semua itu, yang menjadi titik fokus utama adalah, apa makna atau definisi baku Pancasilais dan apa definisi baku dari anti-Pancasila? Ini menjadi sangat penting karena tidak boleh ada yang sembarang merasa berhak mendefinisikan Pancasila dan mendefinisikan Anti Pancasila sekehendak hati dan sesuai persepsi sendiri. Bahkan UUD 1945 tidak pernah menyebut Pancasila, akan tetapi hanya mencantumkan sila-sila yang terkandung dalam Pancasila di dalam Pembukaan UUD 1945. Lantas, Perpu No 2 Tahun 2017 yang menyebut anti-Pancasila mengacu kepada definisi yang mana dan dibuat oleh siapa? Jika mengacu kepada UUD 1945, maka hanya MPR yang berhak melakukannya. Memasukkan kata Pancasila ke dalam konstitusi dan sekaligus membuat definisi Pancasila serta definisi anti-Pancasila ke dalam konstitusi sehingga jelas yang seperti apa yang disebut Pancasilais dan anti-Pancasila. Pemerintah tidak berhak menyentuh konstitusi, tidak berhak mengubahnya atau menambahkan sesuatu kepadanya karena itu menjadi wewenang dan hak dari Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lantas dengan demikian, mengapa pemerintah di dalam Perpu No 2 Tahun 2017 berani menjadi pihak yang mendefinisikan Pancasila dan anti-Pancasila?

Semua kekeliruan itu tentu harus diperbaiki, tidak bisa dibiarkan pemerintah keliru dalam melakukan sesuatu yang berdampak kepada kehidupan berbangsa dan bernegara. Semangat Perpu No 2 Tahun 2017 tersebut terlalu mengandung semangat kebencian dan kemarahan kepada kelompok tertentu sehingga menghilangkan objektifitas dalam menilai sebuah kelompok bersalah atau tidak terhadap Pancasila, terhadap bangsa, terhadap negara atau terhadap aturan lain dalam Undang-Undang.

Kita dan siapa pun tentu akan mendukung upaya pemerintah menjaga keutuhan bangsa, menjaga kesatuan bangsa yang berbineka, tapi tentu kita tidak akan biarkan pemerintah melakukannya dengan cara yang salah apalagi dengan cara otoriter. Untuk itulah kita meminta kepada pemerintah agar tidak serampangan dalam menjustifikasi ormas atau melabeli ormas sebagai anti-Pancasila sementara defenisi resmi Pancasilais dan anti-Pancasila tidak atau belum pernah ada. Alangkah baiknya bila pemerintah melakukan revisi terhadap UU No. 17 Tahun 2003 melengkapi upaya-upaya yang dianggap perlu oleh pemerintah, tanpa harus mengabaikan kaidah-kaidah penegakan hukum dan mengesampingkan hak-hak publik yang diatur UU Hak Asasi Manusia. Atau menyempurnakan Perpu No.2 Tahun 2017 dengan mengakomodir proses penegakan hukum serta kaidah-kidah yang menyangkut Hak Asasi Manusia dan sikap tidak memusuhi rakyatnya sendiri.

Jakarta, 16 Oktober 2017

*)Pimpinan Rumah Amanah Rakyat