Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono*)
Pada 2 April 2018 yang lalu saya melepas “tweet” yang intinya ada tanda-tanda sejarah bakal datangnya perdamaian di Semenanjung Korea. Dua puluh lima hari kemudian, berlangsung pertemuan puncak antara Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Panmunjom, yang disambut hangat oleh masyarakat dunia. Bahkan, berita baik ini berlanjut hingga akan dilakukannya pertemuan puncak yang tidak kalah pentingnya, yaitu antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan Kim Jong Un. Bahkan, waktu dan tempat pertemuannya pun telah direncanakan, yaitu pada 16 Juni 2018 di Singapura.
Sementara itu, pada 7 Mei 2018 yang lalu saya menerima kunjungan Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Kim Chang-beom, di Mega Kuningan Timur, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut saya sampaikan rasa gembira dan dukungan saya sebagai sahabat Korea, atas telah berlangsungnya pertemuan bersejarah antara Moon Jae-in dan Kim Jong Un, dengan harapan mudah-mudahan ini awal yang baik bagi sungguh hadirnya perdamaian di tanah Korea. Saya juga berharap, pertemuan antara Donald Trump dan Kim Jong Un yang ditunggu-tunggu oleh bangsa-bangsa sedunia juga bisa berlangsung dengan sukses. Meskipun, saya katakan, ada sejumlah kecemasan saya jika pertemuan kedua tokoh penting ini mengalami hambatan dan gangguan, alias tidak sukses.
Hambatan dan gangguan apa yang saya maksudkan?
Pertama, banyak pihak yang skeptis atas suksesnya pertemuan Trump-Kim Jong Un ini. Bahkan di Amerika Serikat sendiri tidak semua setuju dan mendukung ide pertemuan puncak itu. Banyak yang meragukan ketulusan dan kesungguhan pihak Korea Utara. Jangan-jangan ada agenda tersembunyi dari Kim Jong Un. Hal begini tidak aneh mengingat rendahnya saling percaya (trust deficit) di antara Amerika Serikat dan Korea Utara akibat permusuhan yang berlangsung begitu lama. Seandainya pertemuan puncak jadi dilaksanakan, diragukan pula apakah benar-benar bisa mendatangkan perdamaian permanen di Semenanjung Korea yang panas itu.
Kedua, jika sasaran yang hendak diraih oleh kedua belah pihak sangat bertabrakan, sehingga sulit dikompromikan, pertemuan itu bisa gagal mencapai kesepakatan. Apalagi kalau ada sasaran atau kepentingan yang dipatok sebagai “harga mati”. Padahal, yang namanya negosiasi atau perundingan itu, kalau memang pertemuan puncak itu diniatkan demikian, harus ada “take and give-nya”. Istilahnya, mestilah “win-win” sifatnya. Misalnya, kalau Trump memaksakan agar dalam pertemuan puncak itu dicapai kesepakatan bahwa Korea Utara menghentikan semua kegiatan nuklirnya, atau sebuah denuklirisasi total, disertai dengan kerangka waktu yang pasti, takutnya pertemuan itu malah kandas. Atau sebaliknya, Kim Jong Un minta secara eksplisit kesediaan Amerika Serikat untuk menarik seluruh pasukan militernya dari tanah Korea, disertai pula dengan “timeline” yang sudah pasti, saya khawatir Trump langsung dengan tegas menolaknya.
Ketiga, justru gangguan terjadi sebelum pertemuan puncak itu digelar. Dalam pertemuan saya dengan Dubes Korea Selatan Kim Chang-beom, saya katakan jika ada pernyataan, utamanya dari pihak Amerika Serikat, yang sangat mengganggu perasaan dan pikiran Kim Jong Un, justru bisa-bisa pertemuan itu batal dilaksanakan. Misalnya pernyataan yang berbunyi, “Kim Jong Un akhirnya mau berunding karena Amerika telah berhasil memberikan tekanan yang efektif, sehingga tak ada pilihan lain baginya kecuali berunding dan menghentikan program nuklirnya.” Atau, juga pernyataan seperti ini, “Kalau Kim Jong Un tidak dengan tegas setuju akan melakukan denuklirisasi penuh, tak perlu ada pertemuan puncak dengan Presiden Trump.” Belakangan, ternyata Korea Utara memang terganggu dengan pernyataan-pernyataan seperti itu.
Kemarin, 16 Mei 2018, saya ikuti pemberitaan media internasional, apa yang saya cemaskan sungguh terjadi. Dengan tegas Korea Utara mengatakan pertemuan Kim dengan Trump batal jika Amerika Serikat memaksakan denuklirisasi Korea Utara sebagai agenda utama dalam pertemuan mendatang. Ini jelas sebuah ancaman. Bahkan, secara sepihak Korea Utara juga membatalkan pertemuan lanjutan dengan pihak Korea Selatan sebagai protes atas berlangsungnya latihan bersama (military drill) antara tentara AS dengan Korsel.
Memang banyak faktor yang membuat sebuah pertemuan sukses atau gagal. Demikian juga sebuah resolusi konflik ataupun “peace process”. Tapi, berdasarkan pengalaman yang saya miliki, ada dua faktor penting yang harus ada atau dimiliki, yaitu niat baik (goodwill) dan kesabaran (patience).
Niat baik perlu ditunjukkan dalam sikap dan tindakan nyata. Tentunya dari kedua belah pihak. Dunia menyimak apa yang dilakukan oleh Kim Jong Un akhir-akhir ini, misalnya mengirimkan delegasi Korut yang dipimpin oleh adik kandungnya Kim Yo-jong menyertai kontingen Korut dalam Olimpiade Musim Dingin di Pyongchang, yang akhirnya juga bertemu dengan Presiden Korsel Moon. Kemudian disusul oleh kesediaan Kim Jong Un menyaksikan pagelaran musik pop dari Korsel di Pyongyang. Akhirnya berlanjut dengan pertemuan puncak antara Kim dan Moon di DMZ Panmunjom beberapa saat yang lalu.
Menjelang pertemuan puncak AS dan Korut yang mulai dirancang, Kim Jong Un mengatakan akan menutup pusat peluncuran peluru kendali Korut. Bahkan beberapa saat yang lalu tiga warganegara AS yang ditahan di Korut telah dilepaskan. Terlepas apakah ini hanya merupakan taktik Kim Jong Un untuk mencapai tujuannya yang utama, atau kesemuanya itu benar-benar merupakan bukti keseriusan dan niat baik Kim Jong Un, dunia menilainya sebagai langkah yang positif.
Sebaliknya di pihak Amerika, latihan militer AS dan Korsel yang tentu memiliki sensitivitas yang amat tinggi menjelang pertemuan puncak Trump-Kim tetap dilaksanakan. Sebagian masyarakat dunia turut menyayangkan tetap dilaksanakannya latihan militer AS-Korsel itu, karena dianggap tidak memiliki sensitivitas, dan juga kurang menunjukkan “goodwill” yang merupakan faktor penting dalam sebuah proses perdamaian.
Faktor kesabaran juga sangat penting. Sejarah akan menilai apakah baik Trump maupun Kim Jong Un cukup sabar manakala pertemuan puncak itu, jika tetap dilaksanakan, belum mencapai sasaran yang diharapkan. Apakah kemudian patah dan kembali ke “business as usual”, atau dicoba lagi di masa selanjutnya, hingga akhirnya benar-benar sukses. Tentu sukses menurut kedua belah pihak.
Saya pribadi, barangkali juga banyak pihak, berharap pertemuan kedua pemimpin dunia itu sukses. Sukses dalam arti datangnya perdamaian yang abadi di Semenanjung Korea pada khususnya, dan Asia Timur pada umumnya.
*)Presiden ke-6 RI dan Ketua Umum Partai Demokrat
(disalin ulang dari website detik.com/dik)